Jumat, 11 Januari 2008

Setelah Berdemo, Apa Lagi?

Selain menurunkan hasil liputan mengenai bertanam semangka, pembuatan tiwul instan, dan keberhasilan pengusaha salon yang merintis bisnisnya dari sebuah gang sempit nan becek, Majalah Peduli edisi Januari 2007 [sedang ngantri di percetakan ketika tulisan ini dibuat] juga menurunkan hasil liputan tentang para buruh di Jawa Timur yang berdemo, menuntut revisi UMK [Upah Minimum Kabupaten/Kota] 2007. Ada yang menarik dari kenyataan ini.

Orang kadang mengeluhkan pendemo yang menimbulkan kemacetan lalulintas, mengakibatkan kerusakan pagar, tanaman, dan lain-lain, selain tak jarang memicu kekerasan, bentrok antara pendemo itu sendiri dengan aparat. Tapi, lihatlah para penjual es cendol, tukang bakso, dan para pengasong, mereka dapat peluang mengais rezeki dari kerumunan yang timbul karena adanya demo.

Nah. Kalau demo mengakibatkan kemacetan lalulintas dan lain-lain hal yang tidak mengenakkan, tepatkah rasa tidak senang itu dialamatkan langsung kepada para pendemo? Apakah mereka pernah berpikir bahwa negara, perusahaan, boleh jadi adalah alamat yang paling tepat untuk sasaran ketidaksenangan, kejengkelan, dan bahkan kemarahan itu? Apakah ketika buruh telah mendapatkan hak-haknya secara pasti, telah sejahtera [walau istilah ini terlalu lentur] mereka masih perlu berdemonstrasi, nglurug ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat, Ke Kantor Bupati, Kantor Gubernur, dan bahkan ke Istana Negara?

Tetapi, kapan keadaan dimana kaum buruh tidak perlu berdemo itu akan jadi kenyataan? Bukankah telah jadi kebiasaan, si kuat akan cenderung memerdayai si lemah? Kaum buruh selama ini diremehkan, bahkan nilainya hanya diukur dengan harga-harga: ikan asin, beras, gula, dan cabe merah berkualitas rendah. Oke, mungkin akan ada yang menimpali, ’’Kalau upah buruh dinaikkan, perusahaan merugi, pemodal mana mau berinvestasi di Indonesia?’’ Maka, tidak perlu ilmu ekonomi tingkat tinggi, lihatlah kenyataan ini: banyak tenaga kerja asal Indonesia bekerja di perusahaan-perusahaan, di perindustrian di luar negri, dibayar berlipat-lipat kali bayaran di negeri sendiri untuk memroduksi barang-barang yang pada akhirnya dilempar ke pasar Indonesia. Bagaimana hal ini bisa terjadi, jika kita masih menganggap bayaran mereka di negeri sendiri terlalu mahal? Bukankah begitu nalarnya?

Seperti dikutip Peduli, sebuah tim melakukan survei harga pasar sebelum UMK itu ditetapkan. ’’Asisten Kesejahteraan Masyarakat [Kesra] Pemerintah Propinsi Jatim Drs Endro Siswantoro MSi menegaskan, UMK ditetapkan setelah dilakukan survei oleh Dewan Pengupahan dan unsur Tripartit [pengusaha, pekerja, dan buruh] yang diketuai Badan Pusat Statistik [BPS] dari masing-masing kabupaten/kota. Mereka melakukan survei harga pasar dengan mengacu mekanisme yang ditetapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigasi [Menakertrans] No 17 Tahun 2005 tentang Survei Harga Pasar untuk Menentukan Kebutuhan Hidup Layak [KHL].’’

Dengan laporan ini, sayangnya, kita masih punya pertanyaan: berapa orang anggota keluarga yang ditanggung oleh seorang buruh yang diasumsikan penentu kebijakan penetapan UMK ini? Lalu, seberapa longgar rentang antara ’’kebutuhan hidup layak’’ dengan kemungkinan kenaikan harga-harga, termasuk inflasi? Bukankah beras yang awal bulan lalu seharga kurang dari Rp 5 ribu/kg kini sudah lebih dari Rp 5 ribu/kg? Pertanyaannya lagi, apakah seorang buruh hanya diupah sebesar kebutuhan hidupnya dalam sebulan, dan tak sedikit pun diberi kesempatan untuk menabung demi hari tua? Jangan jawab pertanyaan terakhir ini, tetapi ingatlah bahwa pemutusan hubungan kerja [PHK] biasanya adalah ’bencana’ bagi seorang buruh. Jika buruh bisa menabung, tentu hantaman PHK itu tak sedahsyat seperti yang biasa kita saksikan selama ini.

Jadi, demonstrasi adalah perbuatan yang diperbolehkan, dimungkinkan oleh tatanan pemerintahan yang demokratis, tetapi tampaknya memang dibenci oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan dengan segenap aparatnya.

Jika buruh merasa ada hak-haknya yang terlanggar dan diam saja, itu sama halnya dengan menzalimi diri sendiri. Tetapi, jika bisa, demo bukanlah satu-satunya cara untuk memerangi ’’ketidakadilan dunia’’ ini. Banyak contoh [ada pula yang tampil di Peduli edisi Januari 2007] orang-orang yang mendapatkan hikmah dari kenyataan pahit bernama PHK itu. Ternyata mereka bisa keluar dari krisis, dan bahkan serta-merta muncul kreativitasnya yang tanpa ’kejutan’ bernama PHK itu bisa jadi akan tetap tumpul. Mereka berusaha sendiri, berbisnis sendiri, dan kemudian mendapatkan penghasilan jauh lebih besar daripada saat mereka menjadi buruh. [Bonari Nabonenar, Pimred Peduli]

Sumber: BI

0 komentar: