Kamis, 10 Januari 2008

Kemerdekaan

Yang lebih tinggi nilainya daripada hidup ini adalah kemerdekaan. Yang lebih tinggi nilainya daripada kemerdekaan adalah cinta.

Marilah kini kita lihat, bagaimana wajah kita yang sebenarnya, apakah menyiratkan kepahaman kita mengenai kemerdekaan, dan lebih dari itu: apakah kita masih punya cinta?

Mari becermin di jalan raya, jalan raya kita, jalan raya di kota-kota Indonesia (yang kini sedang mempersiapkan atau tengah larut dalam ingar-bingar pesta ulang tahun). Para pejalan kaki sudah dirampas hak-haknya oleh negara dan bahkan oleh kawan sendiri pula. Apalagi pemakai kursi roda, tampak sering dianggap tidak ada. Para pengendara menjejalkan pemandangan ke mata kita bahwa mereka hanya patuh pada hukum rimba: yang (kendaraan) besar melahap yang kecil. Yang kecil sesuka hati menggasak yang lebih kecil lagi. Dan pembunuhan yang sering diatasnamakan ketidaksengajaan menjadi pemandangan sehari-hari di jalan-jalan raya. Tidak ada kemerdekaan di jalan-jalan raya kita, apalagi cinta.

Beberapa waktu lalu beberapa orang secara interaktif melapor melalui Radio Suara Surabaya bahwa gara-gara kehabisan formulir –bahkan ternyata masih ditenderkan-- pengurusan KTP (Kartu Tanda Penduduk) di wilayah Sidoarjo menjadi terkatung-katung. Padahal, para pelapor itu adalah orang-orang bisnis yang sering terlibat urusan yang memerlukan KTP.

Kadang-kadang, yang lebih menjengkelkan, sudah urusan tidak beres, pegawai yang menanganinya tak sedikit pun menunjukkan sikap sebagai pelayan rakyat.

’’Kenapa sih, ngurus KTP saja sebulan gak selesai?’’

’’Sekarang formulirnya lagi habis, dan masih ditenderkan. Kalau memang sudah ada formulirnya, apa pula kepentingan kita mengulur-ulur pembuatan KTP?’’

Begitulah susahnya jadi rakyat di Zaman Merdeka yang sudah dapat pula gelar Dr (Direformasi) ini. Tak punya KTP bisa ditilang, salah-salah dijebloskan ke dalam sel tahanan. Mau ngurus, enak aja pejabat bilang: formulirnya masih ditenderkan. Nah, jika terlambat membayar tagihan listrik rakyat mesti didenda, apakah pejabat yang teledor sampai hitungan bulan terjadi kekosongan formulir KTP tidak bisa diperkarakan?

Maka, apakah artinya kemerdekaan bagi rakyat jika para pemimpin dan segenap aparaturnya masih bermental pangreh praja, bermental penguasa, dan mengaku melayani rakyat hanya di bibir saja?

Itulah sebabnya, saya selalu sedih ketika berada di kota ini dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan (Agustusan). Banyak gang, dan bahkan jalan ditutup untuk menggelar pesta bernuansa gembira-ria: berpawai, bernyanyi, berjoget, dan bakar-bakar kembang api.

Saya tidak antiperingatan Hari Kemerdekaan. Tetapi, saya kira untuk saat ini diperlukan suasana yang lain. Suasana yang lebih khidmat, bukannya hiruk-pikuk, tentu dengan upacara, dengan mengibarkan Bendera Merah-Putih, Lagu Indonesia Raya, dan jangan lupa: pembacaan Pancasila. Itu tidak mahal, kok. Tidak perlu menarik iuran Rp 25.000 – Rp 100.00/keluarga.

Cobalah itung, berapa biaya Pesta Agustusan di tingkat RT, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kotamadya, Provinsi. Kita akan mendapatkan angka yang sangat besar. Hanya untuk berpesta, menikmati hiruk-pikuk, dan melupakan esensinya. Itulah yang sungguh-sunguh menyedihkan. Bangsa macam apakah kita ini, yang tega bersuka-ria, sementara setiap hari, bahkan setiap detik, media menyorongkan ke depan mata kita pemandangan yang mengenaskan: balita yang kehilangan keluarganya, orang-orang yang kehilangan sanak-saudara, harta-benda, termasuk rumah dan isinya karena banjir, gunung meletus, gempa, semburan lumpur, kecelakaan angkutan darat, sungai, laut, udara. Mereka adalah saudara-saudara kita, saudara sebangsa dan setanah air.

Mestinya kita tidak akan setega itu. Sebab cinta itu nilainya sebegitu tingginya, bahkan lebih tinggi daripada kemerdekaan itu sendiri.[]

Peduli Agustus 2007

0 komentar: