Kamis, 10 Januari 2008

Mery

[1]

Kadang aku merasa tak sanggup lagi menikmati indahnya sinar mentari pagi. Maka, jika aku tersenyum, sering itu hanya di bibir saja, bukan senyum yang meletik dari dalam perasaanku yang sesungguhnya. Senyum yang hanya kubuat untukmenunjukkan bahwa aku masih bisa hidup yang sebegini getir. Getir dan pahit. Dan perih!

Rasanya aku juga inginmenutup telinga dari suara-suara ejekan dan cemoohan orang-orang sekitar.

Apakah aku memang sebodoh itu? Apakah salah orang menyinta? Aku menyintai Burhan. Dan sekarang ia telah jadi suamiku. Tetapi ia bukan milikku, melainkan milik kami. Ya, kami berempat memilikinya bersama-sama. Aku istrinya yang keempat itu, yang, telah mendapatkan seorang putri kecil dari perkawinan kami.

[2]

Oh, Mery! Ada apakah dengan matamu? Dengan otakmu? Dengan rasamu? Mengapa kau sebegitu menggebu menikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi kakekmu? Kau masih tujuh belas, sedangkan ia sudah di atas lima puluh. Karena ia memanjakanmu? Tidakkan ada laki-laki yang jauh lebih muda yang bersedia memanjakanmu? Kumbang mana yang tahan tak hinggap di kelopak yang mekar menguarkan keharuman khas putik yang meminta dibuahi?

Karena aku miskin. Dan nyaris tak pernah disayangi. Ibu mati ketika aku masih balita. Adikku masih balita juga saat itu. Ayah lalu menikah lagi, dan tak suka membawa kami. Dua bocah kecil yang masih bau bayi mesti ikut neneknya yang miskin pula. Kakek sudah lama tiada. Rumah kecil itu pun sudah sedemikian rapuh luar dan dalamnya.

[3]

Malam tiba-tiba terkoyak. Angin berkesiut dan makin mengencang. Makin mendesis. Barangkali dari hamparan langit menjulur berjuta lidah raksasa, mendesis bersama, dan siap menyemburkan bisa. Petir pun menyahut. Lalu bersahut-sahut. Dan hujan pun turun. Pada saat seperti itulah rumah rapuh itu kedatangan tamu yang kelak kita kenal bernama Burhan. Yang kelak menjadi suami Mery. Air hujan yang sukses menerobos genting jatuh ke cangkir kopi yang disuguhkan kepada Burhan. Tetapi laki-laki bersarung itu sebegitu menikmatinya, seperti peminum menikmati anggur yang diperam ratusan tahun. Burhan memang datang sebagai kumbang yang tersedot keharuman kelopak yang menyimpan putik menunggu dibuahi.

Lalu mereka menikah. Lalu mereka kawin. Putik pun dibuahi. Dan jadilah buah. Buah hati. Buah cinta, atau buah apalah disebutnya. Tetapi, saat benih itu tumbuh dan menggelembungkan perut Mery, Burhan makin menjauh. Atau mungkin, makin mendekati keempat putik-nya yang lain. Atau, mungkin juga, memburu putik yang lain lagi, jika ia masih sebegitu
bersemangatnya ketika usianya makin dekat dengan angka 60.

Burhan tampaknya hanya mau menikmati ekspresi Mery saat menjeritkan suka-cita, dan tak mau mendengarkan jerit kasakitan saat kelopaknya pecah demi kelahiran manusia baru. Burhan tidak mau hadir pada detik-detik yang sangat ditunggu-tunggu. Juga pada hari-hari, pekan, bulan, dan bahkan tahun-tahun berikutnya. Mery pun makin menderita, jauh lebih menderita daripada saat ia hanya perlu menahan keinginan beli baju baru, tas baru, sepatu baru karena kemiskinan memaksanya untuk membeli rombengan.

[4]

Apakah angin baik, apakah angin jahat, yang melemparkan laki-laki tua itu ke rumah rapuh di bawah naungan rimbun bambu itu? Burhan masih mengenali rumah itu dengan segenap suasananya. Hanya aromanya yang kini berbeda. Tiada lagi keharuman itu. Yang ada hanya pesing dan dan busuk dedaun yang disengatkan udara yang terpompa. Ada seorang bocah kecil, dan ibunya, yang menyambut kedatangan Burhan. Amarah itu menguap tiba-tiba. Gerimis pun turun bagaikan air mata para perempuan yang berharap.

Burhan menangis. Seperti mengiba. Dan Mery, dan bocah kecil itu, tak mau lari ke mana. Mereka mematung, seperti sedang menatap langit yang menggelap tiba-tiba. Dan gulungan tsunami itu, mungkin juga akan segera menerjang mereka.

Malam itu pun tiba-tiba jadi beku. Entah kapan mencairnya. Ketika laki-laki tua itu mendengkur di samping gadis kecil yang terlelap, Mery meraih pena dan selembar kertas yang sudah memudar warna putihnya. Lalu ditulisnya, ’’Kadang aku merasa tak sanggup lagi menikmati indahnya sinar mentari pagi. Maka, jika aku tersenyum, sering itu hanya di bibir saja, bukan senyum yang meletik dari dalam perasaanku yang sesungguhnya…’’

Ngopak, Mei 2007
PEDULI Juni 2007

0 komentar: