Kamis, 10 Januari 2008

Sastrawan Jawa Tiwiek SA Bicara Soal TKI


Belum Banyak TKI Memikirkan Lapangan Kerja

Lelaki kelahiran 8 Juni 1948 ini lebih dikenal luas sebagai guru dan sastrawan. Namun, pemilik nama asli Suwigyo Adi ini ternyata juga punya perhatian lebih kepada TKI yang kerja di luar negeri. Penilaian suami Ruliyah ini patut mendapat perhatian TKI.

Kamis sore [01/03] Peduli berkunjung di kediaman Tiwiek SA di Desa Karangtalun, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tuluagung, Jawa Timur. Ngobrol agak panjang tentang sastra, pembicaraan kemudian meluncur ke persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Bermula dari kekagumannya terhadap tulisan sastra karya TKI.

Mantan kepala sekolah yang kini telah dikaruniai dua orang cucu ini mengaku, novel Catatan Harian Seorang Pramuwisma karya Rini Widyawati [mantan TKI Malaysia dan Hong Kong] sampai dia keloni saat tidur. Ia tak menyangka Rini Widyawati yang ’cuma’ lulusan SLTP bisa menulis novel sehebat itu.

’’Saya tidak akan pernah tahu kalau di luar negeri banyak TKI mendapat perlakuan yang tidak manusiawi kalau saya tidak membaca novel Rini,’’ ungkap penerima penghargaan dari Yayasan Rancage dan Yayasan Umm Aminah Foundation tahun 2006 itu.

Salah seorang kemenakannya, sebetulnya ada yang pernah jadi TKI, yakni di Abu Dhabi. ’’Tapi kalau pulang, dia tidak pernah cerita tentang perlakuan yang diterima TKI selama bekerja di sana,’’ ungkap Tiwiek dalam bahasa Jawa.

Menyayangkan

Menurut Tiwiek SA, banyak sekali orang Tulungagung yang menjadi TKI di luar negeri. Bahkan, menurut dia, di Jawa Timur, Tulungagunglah yang paling berhasil. Di sekitar rumah tinggalnya juga tak sedikit yang berangkat ke luar negeri sebagai TKI.

Bagaimana penilaiannya terhadap TKI? ’’Di sini [Tulungagung—Red], anak sini kalau ke luar negri itu sasarannya, pertama, rumah. Pasti rumah. Rumah mereka bagus-bagus. Kedua, setelah rumah adalah kendaraan. Terus, nanti pulang, ya sudah, ya cuma motor-motoran nggrang-nggreng, mobil-mobilan nggrang-nggreng. Nah, nanti uangnya habis, balik ke luar negeri lagi. Kalau tidak begitu, barang-barang yang telah dibelina dijual lagi. Itu karena kebutuhan hidup bergerak terus dan memerlukan biaya, sementara dirinya tidak lagi bekerja.’’

Disayangkan Tiwiek SA, jarang dari mereka yang berpikir untuk membuka lapangan kerja. ’’Ya, ada yang berpikir membuka lapangan kerja, tapi cuma sedikit. Yang banyak, ya yang seperti itu tadi,’’ ungkapnya.

Menurut dia, kalau TKI memikirkan lapangan kerja, tentu dirinya tidak perlu lagi berpikir untuk kembali lagi ke luar negeri setelah pulang ke kampung halaman. TKI sudah bisa mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang telah diciptakannya sendiri. Malah kalau sampai bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain, tentu itu lebih baik lagi.

Berjasa

Namun demikian, Tiwiek SA mengakui bahwa para TKI memiliki jasa besar terhadap kemajuan daerahnya, bahkan negaranya. Buktinya, kata dia, beberapa desa di Tulungagung rumahnya bagus-bagus dan jalannya aspal mulus-mulus.

’’Desa bisa menjadi seperti itu sebagian juga karena jasanya TKI,’’ kata pengarang yang hingga akhir 2006 lalu telah menghasilkan lebih dari 200 karya sastra, baik berbahasa Jawa maupun berbahasa Indonesia.

Oleh karena jasa-jasanya itu, Tiwiek SA berpendapat, tak sepantasnya para TKI mendapat perlakuan yang buruk seperti yang dikisahkan di dalam bebeberapa karya sastra karangan TKI dan mantan TKI. [KUS]

0 komentar: