Jumat, 11 Januari 2008

Keinginan Mengubah Nasib dan Mitos Sisipus

Banyak alasan yang bisa kita kemukakan untuk pertanyaan, ’’Mengapa kita jauh-jauh terbang ke negeri orang untuk sebuah pekerjaan (domestik) yang keras ini?’’ Yang tergolong paling populer adalah: ’’Memperbaiki nasib.’’ Maka, pertanyaan berikutnya adalah, sejauh mana kita setia dan bersungguh-sungguh dengan alasan itu? Apakah perbaikan nasib itu hanya kita maknai sebagai perubahan penampilan berikut peningkatan ketebalan kantong saat kita masih melewati hari-hari penuh cucuran keringat, dan bahkan air mata? Apakah kita serta-merta merasa sudah bernasib baik ketika menerima gaji ribuan dolar, bisa memiliki ponsel keluaran terbaru dengan fitur yang sangat beragam, punya baju, tas, dan bahkan aksesoris lain yang tak kalah trendinya dibandingkan dengan yang menempel di tubuh para selebritis yang sukses menaklukkan Jakarta itu?

Jika kita tidak punya cukup keserdasan, kearifan, dan ketrampilan, seberapa lamakah benda-benda glamour dan uang ratusan juta rupiah itu akan betah menyertai kita? Tanpa punya perencanaan masa depan yang matang berkaitan dengan modal --berapa pun jumlahnya—yang kita kumpulkan dengan kerja keras itu, dalam waktu yang singkat semuanya bisa saja menguap tanpa bekas.

Seorang guru dan pengarang yang namanya populer di jagad Sastra Jawa Modern asal Kalidawir, Tulungagung, Jawa Timur –Tiwiek SA namanya-- suatu kali mengatakan, banyak perempuan di kampungnya yang pulang dari luar negeri dengan keberhasilan: membawa sejumlah uang, tetapi kemudian hanya menghabiskan hari-harinya di kampung untuk berbelanja. Televisi, VCD player, tape compo, sepeda motor, dan bahkan ada pula yang beli mobil. Rumah yang semula sederhana pun dibongkar, disulap menjadi rumah mewah. Alhasil, pada bulan kesekian di kampung, satu per satu barang yang bisa dijual pun berlepasan. Televisi yang semula 21 inchi mungkret jadi 14 inchi, motor yang semula masuk pegadaian pun segera benar-benar terjual. Bahkan juga mobil. Dan ketika tak ada lagi yang sekiranya bisa diuangkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pilihannya adalah: kembali ke luar negeri!

’’Bukan seorang dua orang lho yang begitu itu,’’ kata Pak Tiwiek dengan logat Jawa-nya yang kental, ’’tapi banyak!’’

Mereka yang terjebak pada pola seperti itu, pulang bawa uang, beli-beli, lalu jual-jual, dan balik lagi ke luar negeri, dan begitu lagi, begitu lagi, hingga suatu hari nanti otot sudah tak bisa lagi diajak kompromi alias sudah loyo dan kemudian menjadi jompo, mengingatkan kita pada Sisipus yang menjadi mitos atau cerita rakyat dari Zaman Yunani Kuno. Sisipus adalah semacam siput, yang dikutuk oleh dewa. Ia harus merangkak mendorong sebuah batu ke puncak bukit. Begitu sampai di puncak, maka batu itu pun mengelinding lagi ke lembah. Lalu Sisipus turun lagi mengambil batu itu untuk mendorongnya lagi ke puncak. Begitu seterusnya, Sisipus mengulang-ulang keberhasilan dan sekaligus kegagalan sepanjang hidupnya. Betapa celakanya!

Jangan-jangan dalam hal ini ada kesalahan masyarakat kita yang cenderung keburu mengelu-elukan atau memuji orang yang pinter cari duit sebagai orang yang pinter. Padahal, pinter cari duit barulah setengah dari kepintaran itu, yang baru jadi utuh sebagai sebuah kepintaran jika diikuti pula oleh kepintaran mengelolanya. Dan, menurut istilah pengarang buku The Cashflow Quadrant, Robert T. Kiyosaki, sukses seseorang diukur oleh ini: apakah ia bekerja untuk uang ataukah uang yang bekerja untuknya![]


PURWO SANTOSA

2 komentar:

Rie Rie mengatakan...

semoga aku tidak seperti itu...
amiiiiiiiiinnn.....

pembaca peduli mengatakan...

Yang paling kausuka jadi seperti apa? Rie?