Kamis, 10 Januari 2008

Buah Cinta Itu

Retnayu

’’Jeng, kutitipkan, rawat dan peliharalah buah cinta kita. Besarkan, bimbing, dan bentuklah agar dia bisa menjadi sepertimu.’’

Tetesan air mata yang mengalir di pipiku mengiringi kepergian suamiku. Ia sangat menyayangiku.

Saat itu, putri tunggal kami masih berusia 10 tahun, ketika harus kehilangan kasih sayang dari seorang ayah yang begitu didambakannya. Suamiku meninggalkan kami berdua karena penyakit liver yang telah lama dideritanya. Dan anakku masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Sedangkan aku sendiri hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang tidak pernah tahu bagaimana cara mencari dan mendapatkan uang. Aku terbiasa hanya menunggu gaji suami.

Oh, betapa bingungnya aku pada saat itu karena ditinggal mati suamiku. Ibarat si buta yang kehilangan tongkatnya. Bagaimana selanjutnya nasib kami berdua? Kebutuhan hidup meninggi setinggi gedung-gedung yang dibangun para konglomerat saat ini. Biaya sekolah putriku....? Padahal, bisa menyekolahkan putri kami hingga ke jenjang yang setinggi-tingginya adalah cita-cita kami.

Putriku harus bisa tetap sekolah sesuai harapan kami dulu, karena aku tidak ingin dia menjadi seorang wanita lemah yang tidak bisa apa-apa seperti aku.

Akhirnya, dengan hati yang sangat berat aku titipkan buah cinta kami, putriku, putri kami, Rayi Anggraini-ku, kepada kedua orang tuaku untuk diasuh dan dididik karena aku harus berangkat ke Jakarta untuk masuk ke sebuah PT yang kemudian memberangkatkanku ke Hong Kong.

Itulah awal kisahku, mengapa aku sampai menapakkan kakiku di Hong Kong yang sangat menjanjikan ini sebagai seorang buruh migran Indonesia. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun pun berganti tahun, kugeluti pekerjaanku sebagai buruh di negri asing ini, dari satu kontrak sampai ke kontrak berikutnya dengan beraneka macam watak dari setiap majikan yang mempekerjakanku.

Kuteteskan peluhku tuk meraup rezki halalku, kegenggam dolar, kulambungkan setinggi angan tuk jelang hari depan, isi nafas asa seorang wanita biasa yang bercita-cita tempatkan martabat buah hatinya tuk sampai di jenjang keberhasilan yang sesuai dengan tuntutan zman.

’’Bu..!’’ sebuah sapa lembut di gendang telingaku dan aku menolehkan mukaku. Kulihat putriku berdiri tepat di belakangku.

’’Ngger…’’ kulemparkan suatu sebutan kesayangan pada putriku.

’’Ibu nanti duduk di kursi yang nomor tiga itu ya Bu....?’’ begitu pinta putriku.

’’Oooh, itu, iya....ya...!’’ begitu jawabku.

Ya, hari ini aku memang sedang melangkahkan kakiku dengan ringan, menuju auditorium Bulaksumur untuk menghadiri wisuda putri tunggalku. Kebahagiaanku....tiada terkira, karena bisa terpuasi oleh keberhasilan putriku meraih gelar dari bidang yang dipilihnya di Fakultas Psikologi ini. Haru, sangatlah haru rasa hatiku, memupus semua letih dan menghapus jejal langkah tertatih yang kusandang hampir sepanjang umurku dengan menggadaikan hati dan tenaga di negri yang jauh berbentang samudra.

Air mataku menetes membasahi pipi tatkala menyaksikan acara demi acara yang berlangsung. Dan sampai ketika terdengar alunan lagu, ’’Terpurukku di sini, teraniaya sepi, dan kutahu pasti, kau menemani, dalam hidupku, kesendirianku, teringat kuteringat, pada janjimu kuterikat, hanya sekejap ku berdiri, kulakukan sepenuh hati, peduli, ku peduli, siang dan malam yang berganti, sedihku ini tak ada arti, jika kaulah sandaran hati, kaulah sandaran hatiiiiiiiii...........’’

Kusimak dengan seksama alunan lagu yang dilantunkan Letto itu, membuat anganku melayang jauh, membisikkan sebuah nama. Perlahan kusentuhkan tanganmu dan kutarik untuk mendekap dadaku.

’’Mas, telah kutunaikan harapanmu, janjiku, janjuimu, adalah hantarkan ’Rayi’ kita ke dunia yang lebih baik dari masa-masa kita dulu! Terima kasih Tuhan, yang telah menempatkan buah hati kami pada harkat dan martabat yang sesuai dengan harapan seorang janda, yang hanya memiliki rasa cinta dan setia.’’ []

cerpen peduli Sept 2007

0 komentar: