Usaha meracang (toko kelontong) sering menjadi alterntif utama usaha sampingan rumah tangga. Selain tak butuh modal besar, usaha meracang bisa dilakukan di rumah, garasi, atau membuat toko kecil di areal rumah. Mau tak mau, meracang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Apalagi bila letak rumah cukup jauh dari pasar atau pertokoan. Meski untung sedikit, usaha meracang menjadi usaha sampingan yang hingga kini dipilih banyak orang.
Meracang biasa ditemui dalam dua jenis, yakni meracang yang menjual kebutuhan pokok basah seperti sayur-mayur dan lauk-pauk, atau meracang yang menjual kebutuhan pokok kering seperti beras, gula, garam, teh, dan sebagainya.
Karena merupakan usaha rumahan, meracang sering dianggap remeh sebagai usaha ’iseng’. Padahal bila ditekuni, meracang bisa jadi sumber pendapatan pokok sehari-hari, dan tak sedikit orang yang menjadi kaya lantaran meracang.
Kesulitan utama bisnis ini –seperti dijelaskan oleh Nur Azizah, seorang pelaku bisnis meracang-- adalah banyaknya pelaku usaha sehingga menimbulkan persaingan bisnis tak sehat.
’’Di desa saya setiap sepuluh rumah hampir bisa dipastikan ada yang berjualan meracang,’’ tegasnya.
Karena banyaknya penjual maka bersaing harga sudah sangat biasa. Meski hanya terpaut Rp 50 saja pembeli bisa lari dan mencari meracang yang paling murah.
’’Kalau berbisnis meracang memang harus mengikuti harga pokok pasar sehingga bisa mematok harga yang paling murah. Meski untung sedikit yang penting pelanggan tak lari,’’ terang perempuan lulusan Universitas Airlangga yang memilih menjadi ibu rumah tangga sekaligus membuka meracang di rumahnya.
Hal yang sama juga dibenarkan oleh Kafi Maulana. Pria jebolan SMU yang membuka meracangnya di Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, setiap saat mengikuti perkembangan harga.
’’Saya sering kelayapan ke pusat-pusat belanja, mini market sampai ke pasar-pasar tradisional untuk membandingkan harga. Jangan sampai harga yang saya patok lebih mahal dari tempat lain,’’ ungkapnya.
Meski begitu Kafi kecewa juga dengan maraknya minimarket yang merambah tempat-tempat terpencil. Hal ini sangat merugikan bisnis meracang seperti yang ditekuninya dan menimbulkan persaingan tak sehat. Apalagi, lanjut Kafi, minimarket tersebut punya keungulan kelengkapan produk dan tempat yang nyaman.
Meski begitu Kafi bisa menjamin barang dagangannya jauh lebih murah ketimbang yang dijual di minimarket.
’’Selisih harganya besar, bisa sampai Rp 500 per mata dagangan. Jadi, jangan tergoda minimarket karena sebenarnya mereka jelas-jelas mahal,’’ terangnya.
Untuk melariskan usahanya, Kafi mendampingi usaha meracangnya dengan usaha wartel dan penjualan pulsa. [KD]
Meracang biasa ditemui dalam dua jenis, yakni meracang yang menjual kebutuhan pokok basah seperti sayur-mayur dan lauk-pauk, atau meracang yang menjual kebutuhan pokok kering seperti beras, gula, garam, teh, dan sebagainya.
Karena merupakan usaha rumahan, meracang sering dianggap remeh sebagai usaha ’iseng’. Padahal bila ditekuni, meracang bisa jadi sumber pendapatan pokok sehari-hari, dan tak sedikit orang yang menjadi kaya lantaran meracang.
Kesulitan utama bisnis ini –seperti dijelaskan oleh Nur Azizah, seorang pelaku bisnis meracang-- adalah banyaknya pelaku usaha sehingga menimbulkan persaingan bisnis tak sehat.
’’Di desa saya setiap sepuluh rumah hampir bisa dipastikan ada yang berjualan meracang,’’ tegasnya.
Karena banyaknya penjual maka bersaing harga sudah sangat biasa. Meski hanya terpaut Rp 50 saja pembeli bisa lari dan mencari meracang yang paling murah.
’’Kalau berbisnis meracang memang harus mengikuti harga pokok pasar sehingga bisa mematok harga yang paling murah. Meski untung sedikit yang penting pelanggan tak lari,’’ terang perempuan lulusan Universitas Airlangga yang memilih menjadi ibu rumah tangga sekaligus membuka meracang di rumahnya.
Hal yang sama juga dibenarkan oleh Kafi Maulana. Pria jebolan SMU yang membuka meracangnya di Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, setiap saat mengikuti perkembangan harga.
’’Saya sering kelayapan ke pusat-pusat belanja, mini market sampai ke pasar-pasar tradisional untuk membandingkan harga. Jangan sampai harga yang saya patok lebih mahal dari tempat lain,’’ ungkapnya.
Meski begitu Kafi kecewa juga dengan maraknya minimarket yang merambah tempat-tempat terpencil. Hal ini sangat merugikan bisnis meracang seperti yang ditekuninya dan menimbulkan persaingan tak sehat. Apalagi, lanjut Kafi, minimarket tersebut punya keungulan kelengkapan produk dan tempat yang nyaman.
Meski begitu Kafi bisa menjamin barang dagangannya jauh lebih murah ketimbang yang dijual di minimarket.
’’Selisih harganya besar, bisa sampai Rp 500 per mata dagangan. Jadi, jangan tergoda minimarket karena sebenarnya mereka jelas-jelas mahal,’’ terangnya.
Untuk melariskan usahanya, Kafi mendampingi usaha meracangnya dengan usaha wartel dan penjualan pulsa. [KD]
0 komentar:
Posting Komentar