Rabu, 05 Desember 2012

Batik Trenggalek yang Dulu pernah Berjaya Makin Ludes Digerus Batik Pabrikan



Trenggalek pada masa 70-an sampai 80-an cukup dikenal dengan kerajinan bathik tulisnya. Bahkan ada nyanyiannya yang cukup popular yaitu nyanyian Kutha Trenggalek … kalokeng rat produksi batik Tenggalek , tempene alen-alen tekan manca praja… itu merupakan sepenggal bait nyanyian tersebut yang menyiratkan bahwa batik Trenggalek cukup terkenal sampai lain daerah. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal batiknya daripada kota Trenggaleknya. Wilayah yang menjadi sentra utama kerajinan bathik adalah Kelurahan Sumbergedong dan Surondakan Kecamatan Kota Trenggalek. Di kedua Kelurahan ini, dulu setidaknya sampai tahun 1980-1n ada ratusan perajin batik tulis. Bahkan, karena telah menjadi pusatnya bathik di Trenggalek jalan-jalan atau gang banyak yang dinamai dengan nama motif batik seperti Gg sidomokti, Gg Parang kawung, Gg gringsing, dll.

Ada beberapa nama yang menjadi perajin batik tulis yang cukup besar antara lain Suparni, Sukono, dan Nyoto. Di era 80-an produksinya mereka masing-masing sekitar 300 lembar batik/5 hari.

Dengan mempekerjakan 6 orang karyawan saat itu Suparni masih kewalahan melayani permintaan “ Saat itu karyawan saya 6 orang belumlagi saya sendiri, istri saya serta anak saya yang sudah bisa mengerjakan juga ikut membantu mengerjakan batik,” kenang Suparni.

Kini sentra bathik tersebut tinggal nama saja sejak terjadinya krisis ekonomi Tahun 1998 seluruh perajin Bathik yang ada gulung tikar. Yang tersisa hanyalah nama-nama gang yang menunjukkan bahwa didaerah ini dulunya merupakan pusatnya perajin bathik.

Saat Peduli menelusuri kampung ini rata –rata yang dulunya mereka adalah perajin bathik telah beralih usaha, ada yang buka toko (mracang) memelihara ayam, ada yang bercocok tanam dan lebih banyak lagi yang menjadi pekerja serabutan.

Memang ada 1-2 orang yang masih menekuni bathik namun itu hanya dijadikan kerja sampingan saja. Namun secara umum bathik di kampung ini tinggal nama saja kalau dari segi produksinya memang sudah bisa dikatakan mati.

Beralih ke Tukang Cuci

Salah seorang mantan perajin batik yang cukup terkenal adalah Suparni (68) warga RT I/RwI Kelurahan Sumbergedong Kecamatan Trenggalek. Saat Peduli datang ke kediamannya, pagi itu Suparni sedang melayani pelanggan yang memerlukan jasanya untuk menggiling tepung (selep tepung) sedangkan istrinya Sunarmi (62) tampak sedang memasak, sambil menjaga toko (mracang). Di samping itu ia masih menerima jasa loundry atau pencucian pakaian.

Suparni


Saat menceritakan tentang riwayat batik ia tampak masih bersemangat, apalagi istrinya. ’’Sebetulnya saya sudah menjalani usaha batik sejak tahun 1964 dan kebanyakan di lingkungan sini hampir setiap rumah membatik. Bahkan, sungai depan rumah ini dikenal dengan sungai batik karena siang malam tidak pernah sepi dari aktivitas masyarakat yang memcuci hasil garapan,’’ tuturnya.

’’Saat itu saya sendiri dengan 6 orang karyawan sering kewalahan melayani permintaan pedagang langganan saya, memang setiap 5 hari sekali paling tidak 300 lembar habis terjual dan tidak perlu memasarkan ke pasar karena pembelinya datang sendiri,’’ lanjut Sunarmi.

Masih menurut penuturan Sunarmi dari usaha bathiknya itu ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, untuk biaya sekolah 6 orang anaknya, bahkan masih menyisakan sebagian untuk ditabung.

Namun, ketika terjadi krisis ekonomi yaitu sekitar Tahun ’98 semua pengusaha batik gulung tikar.

’’Matinya usaha batik di sini ya saat ada krisis itu, pembeli tidak ada, bahan-bahan untuk produksi mahal semua, bahkan seperti bahan pewarna (sogo) hilang dari pasaran. Bila pun ada, harganya sudah tidak nucuk (tidak menguntungkan) lagi. Mau gimana lagi kalau dipertahankan yang jelas ngentekne barang sing wis enek, (menghabiskan apa-apa yang sudah tidak ada -Red)’’ ujar Suparni.

Sejak saat itu untuk memperoleh pengasilan sehari-hari para perajin bathik banyak yang beralih profesi, seperti Suparni sendiri karena usianya sudah cukup tua biarpun memiliki beberapa bidang sawah, namun tidak dikerjakan sendiri. Sawah pembelian dari hasil bathik saat masih jaya-jayanya itu dikerjakan oleh orang laindengan cara bagi hasil.

Sedangkan ia sendiri aktivitasnya hanya sebatas membantu istrinya menunggui penggilingan tepung serta pracangannya, disamping itu sedikit-sedikit dari jasa loundry-nya setiap hari selalu ada.

’’Sejak berhenti mbathik ya ini mas kegiatan saya, buka pracangan dan selep tepung sedang jasa cuci ini baru setahun berjalan. Ya biarpun sedikit yang penting ada pemasukan dan daripada nganggur. Untung, anak-anak saya sudah punya usaha sendiri biar pun kecil-kecilan, ada yang usaha servis elektronik, ada yang usara rental komputer,’’ tutur Suparni.

’’Sebetulnya saat ini bathik mulai laku lagi tapi rasanya sudah males mas … wis tuwek (sudah tua, Red) , apa lagi anak-anak tidak ada yang berminat,’’ tutur Sunarmi istri Suparni.

’’Sekarang sebenarnya masih ada yang mbathik setahu saya di Surondakan masih ada satu,yaitu di sebelah barat Terminal Bus dan di Sumbergedong ada yang besar satu dan beberapa orang sebagai buruh saja,’’ lanjutnya.

Bertahan sampai sekarang

Kediaman Nyoto (50) sekitar 50m masuk gang sempit ke arah barat dari terminal Bus Trenggalek. Saat peduli datang kekediamannya tampak Suwarti istri Nyoto sedang istrirahat setelah selesai mencuci bathiknya. Tampak sekitar 10 lembar kain bathik pada jemuran di gang sempit jalan masuk ke rumah Nyoto, kelihatannya baru saja dijemur karena masih terlihat basah dan masih ada tetesan airnya.

Sambil duduk istirahat di teras rumahnya inilah peduli ngobrol tentang usaha yang digelutinya. Menurut penuturannya ia sudah sejak Tahun 1980 menggeluti usaha bathik ini. Usahanya sempat mengalami masa keemasan namun sejak terjadinya gejolak ekonomi yang tidak menentu perlahan-lahan usaha yang ditekuni mengalami surut sampai sekarang.

Walaupun demikian, sang istri, Suwarti (48) sampai saat ini masih setia menekuni pekerjaan mbathik.

’’Mau kerja apa lagi, lha wong ketrampilan saya ya hanya mbatik, biarpun sangat jauh hasilnya bila dibanding saat masih ramai (80-an –Red) tapi sedikit-sedikit masih ada pemasukan,’’ ujarnya.

’’Paling banter dalam seminggu saya bisa menyelesaikan 10 - 12 lembar. Itu pun saya kerjakan sendiri. Sedangkan pemasarannya ya memang lambat tapi ya tetap ada saja yang beli,’’ lanjutnya.

Menurut penuturan Suwarti, motif yang dikerjakan hanya beberapa motif saja yaitu sidomukti, gringsing, semenrama. Padahal, dulu ia bisa mengerjakan hampir 20 jenis motif batik.

Harga jual batik yang dihasilkan Suwarti ini yang biasa Rp55.000 sedangkan yang bagus (alusan) mulai dari bahan dan pengerjaannya Rp75.000 per lembar. Dari harga itu ia hanya memperoleh untung Rp10.000 sampai15.000 per lembar. Itu pun kalau lakunya cepat.

Kendala utama usaha bathik ini menurutnya adalah bahan baku yang sekarang mahal dan semakin banyaknya batik keluaran pabrik.

’’Saat ini kan sudah jarang orang yang sehari-hari menggunakan sewek (jarit) semua beralih ke pakaian modern, jadi ramainya pembeli hanya saat menjelang Hari Raya dan Agustusan saja,’’ tutur Suwarti.

Dilihat dari keluhan tersebut memang pemerintah sebaiknya segera membuat satu kebijakan (terutama pemerintah daerah) yang bisa membangkitkan kembali Bathik yang sempat menjadi ikon kota Trenggalek. [Purwo Santosa]

0 komentar: