Rabu, 05 Desember 2012

Elita Sari Anggarini Memulai Bisnisnya dari Pesangon Perusahaan yang Bangkrut



Pastinya tak seorang pun yang berharap perusahaan tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan. Sebab itu artinya seseorang harus bersiap kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber pendapatannya selama ini. Namun justru dari sinilah perempuan 42 tahun ini jadi berani untuk berwirausaha sendiri. Ketika perusahaannya dinyatakan bangkrut dan harus tutup di tahun 2002 silam, perempuan kelahiran 12 Oktober 1970 ini sempat dihinggapi rasa kesal dan kecewa. Bisa dimaklumi, loyal bekerja sebagai seorang sekretaris selama sembilan tahun tentunya perusahaan bangkrut bukanlah hal yang menyenangkan baginya. Selain harus kehilangan pekerjaan, ia juga harus mulai dari nol lagi bila ingin terus berpenghasilan. Jelas ini bukan perkara mudah. Di usia yang sudah matang, mencari pekerjaan baru tentu bukan hal gampang. Banyaknya lulusan baru yang belum berpengalaman sehingga mau digaji murah akan menjadi kendala yang tak terlihat langsung. Jadi, satu-satunya jalan ya berwirausaha sendiri.

”Perusahaan tempat saya bekerja bangkrut dan tutup mendadak. Padahal, saya sudah bekerja 9 tahun. Agak mangkel juga karena saya sudah bekerja sejak tahun 1995. Mau melamar kerja tentunya kompetitornya yang masih muda-muda itu padahal saya sudah umur 30. Akhirnya saya pilih berwirausaha saja. Saya ikuti semua pelatihan yang ada mulai dari mengolah enceng gondok sampai membuat kue kering,” aku Elita.


Dengan bekal uang pesangon sebesar Rp7.500.000 yang ia dapatkan saat itu, akhirnya mulailah alumnus SMAN 2 Surabaya ini berwirausaha. Namun, lantaran belum berjodoh dengan usaha yang digelutinya itu ia pun harus berkali-kali berganti usaha mulai membuat kerajinan dari enceng gondok, jualan daster batik yang diambil dari Jateng hingga menjual aneka kue kering. Tahun 2005, saat uang pesangonnya sudah menipis, barulah ia menemukan jatah rezekinya dengan membuat gift box seperti saat ini.

”Awalnya saya beli buku-buku kerajinan membuat kotak. Terus coba-coba membuat. Waktu itu uang sudah tinggal 50 ribu saja. Saya buat kotak tisu dan kotak-kotak kado yang saya titipkan di toko buku dan minimarket begitu. Jualnya dengan cara konsinyasi. Tetapi, lama-lama cara berjualan seperti ini ada kelemahannya juga. Model kotaknya suka dibajak orang. Padahal, membuat kotak itu yang rumit kan hitung-hitungan ukurannya. Kalau kita sudah membuat kotak dengan desain baru, tiba-tiba aja ada yang membajaknya dan menjualnya dengan harga rendah kita kan jadi rugi juga,” imbuhnya.

Kenyataan ini membuatnya memutar otak mencari strategi penjualan baru. Penjualan secara langsung dengan sistem putus pasti lebih menguntungkannya. Dengan seringnya ia mengikuti pelatihan yang dibuat oleh Dekranas Surabaya, Desperindag, hingga Dinas UKM, Elita jadi mendapatkan banyak masukan tentang bagaimana cara menjual kotak buatannya tersebut. Sasaran yang ditujunya kini adalah rekan-rekannya sesama pelaku UKM. Ia pun berlaku seperti penjahit, siapa yang mau pesan kotak bisa berbelanja sendiri bahannya dan Elita hanya akan menentukan ongkos pembuatan saja.


”Para instruktur banyak memberikan masukan akan pentingnya sebuah kemasan. Karena kemasan bisa menaikan harga jual barang sebab pangsa pasarnya juga berbeda. Oleh karena itu saya bisa fokus di bidang membuat box kemasan ini. Pasar saya ada di sini. Teman-teman UKM mengaku kesulitan kalau mau pesan kotak kemasan karena ada minimal order-nya. Dari sini saya dapatkan celah baru, nggak apa-apa pesan cuma 1 biji aja tetap saya layani, tapi kalau pesan banyak harganya akan lebih murah. Nggak masalah buat saya meski cuma pesan 1 biji, misalnya minta dibuatkan kotak tempat kalung maupun baju batik,itu malah membuat saya senang juga kok, saya jadi nggak bosan dengan model dan warna yang itu-itu aja. Saya bantu teman-teman UKM itu dengan doa, semoga usahanya maju, nanti kalau usahanya maju nanti dia bisa pesan lagi ke saya. Itu kan namanya berbagi rezeki,” katanya seraya tersenyum.

Di rumahnya yang beralamat di jalan Ketabang Ngemplak no 30 Surabaya itu kini Elita dibantu 4 orang saudaranya yang membantunya membuat box kemasan. Ia memberi nama handycraft buatannya itu dengan label Ondomohen. Nama itu ia ambil lantaran Ondomohen adalah nama kawasan tempat ia tinggal tersebut. Harga jual box paling murah seharga Rp 7.000 berupa tempat box aksesoris. Sedangkan kotak paling mahal berupa box peningset lamaran, pesanan dari seorang beretnis China yang per biji harga kotaknya mencapai Rp125.000. Soal modal, Elita mengaku tak mengalami kesulitan. Sebab sebelum seseorang pesan dibuatkan kotak kemasan ia sudah meminta DP sebanyak 50%.

”Insya-Allah soal modal saya nggak mengalami masalah. Soalnya kalau mau pesan itu DPnya 50%. Dengan modal 50% itu saya belikan bahan keperluan pembuatan box. Nanti kalau pesanan sudah jadi yang 50 %nya lagi itu sudah masuk biaya produksi sebanyak 25%nya. Sedangkan 25 % sisanya merupakan profit usaha saya. Sejauh ini saya baru memperkerjakan 3 orang saudara saya saja, soalnya tetangga saya kebanyakan nggak mau, mereka lebih suka menjadi SPG. Mungkin karena membuat box ini harus mengukur itulah yang membuat mereka nggak berminat mengerjakannya,” tuturnya.(niken anggraini)

0 komentar: