Selasa, 04 Desember 2012

Bebas Nyethe di Café Mak Tin



Jupriono (40) sudah 10 tahun menjalankan Café Mak Tin. Usaha itu bukan ia yang merintis, sebab Café Mak Tin sudah dijalankan secara turun-temurun. Jupriono mengelola café tersebut sejak 1997. Munculnya café-café di sekitarnya, yang penampilannya lebih oke, ternyata tidak berpengaruh negatif terhadap pengunjung cafenya. Menurut Jupriono, pengunjung cafenya tetap membludak di tengah semakin banyaknya kompetitor. Satu hal yang menarik di café ini, pengunjungnya mayoritas nyethe. Menurut Kusuma, salah seorang pengunjung setia Café Mak Tni, selain kopinya enak, cethe di café tersebut juga mantap. Cethe adalah ampas kopi. Ampas kopi yang biasa tinggal di dasar gelas kopi itu, diangkat, kemudian diletakkan di atas lepekan, lalu ampas kopi tersebut dioles-oleskan ke kertas batang rokok. Itulah yang disebut nyethe. Jika olesan di batang rokok sudah kering, rokok barulah disulut. Rasanya akan berbeda dari rasa rokok aslinya.

Dan ternyata, potongan-potongan kertas koran yang bertebaran di mana-mana itu ada fungsinya, yaitu berkaitan dengan nyethe itu. ’’Kertas-kertas ini fungsinya untuk mengeringkan cethe di lepek ini, Mas. Kalau cethe-nya terlalu banyak airnya, kan encer. Supaya nggak terlalu encer, potongan kertas ditaruh di atas cethe. Kertas Koran ini kan menyerap air, Mas,’’ kata Kusuma.

’’Tapi di sini tidak jual cethe, Mas. Mereka nyethe-nyethe sendiri. Saya ndak nyuruh, juga ndak nglarang. Di sini saya hanya jual kopi,’’ kata Jupriono.
Namun, tak hanya kopi seduh saja yang dijual. Ia pun menjual kopi bubuk. Kopi bubuk dikemas di dalam plastik. Setiap kemasan berisi 1 kg kopi bubuk. Untuk kopi yang dijualnya itu, Jupriono mengaku Café Mak Tin menggoreng kopi sendiri, bukan beli kopi bubuk dari toko. Ia beli kopi bijian, lalu dibantu oleh 15 orang karyawannya, kopi itu diolah menjadi kopi bubuk dan kopi seduh.

’’Sehari gula putih saja habis 1 sak atau 50 kg. Kopi bisa sampai 70 kg habisnya sehari,’’ kata Jupriono.

Ditanya apakah ada resep khusus untuk kopinya sehingga digemari oleh banyak orang, Jupriono menggeleng dan dengan cepat menjawab, ’’Nggak. Nggak ada resep khusus. Ini murni kopi thok. Kan ada yang dicampuri arak, ada yang dicampuri kacang ijo, jagung, tapi di sini hanya kopi. Hanya di sini nggorenge kuwi lho rahasiane (menggorengnya itu lho rahasianya, red). Kalau yang lain-lain kan ndak dikasih gula. Kalau di sini, kopi digoreng, terus kalau sudah hendak diangkat dari wajannya itu, dipyur-pyuri (ditaburi, red) gula dulu,’’ ungkapnya.

Tentang kenapa para pengunjung betah tinggal di cafenya dan kembali dating di hari lainnya, Jupriono mengaku tidak tahu. ’’Tapi mungkin karena kebebasan di sini, Mas, yang membuat pengunjung betah. Soalnya, pengunjung di sini saya bebaskan saja. Maksudnya, mau di sini seharian, terserah. Mau tertawa, mau ngobrol, juga silakan. Mau duduk, mau tiduran kalau ada tempatnya, ya silakan. Itu, Mas, mungkin. Bagi saya di sini, mereka mau apa, terserah. Yang penting, di sini tidak dipakai mabuk atau ngobat atau yang nggak bener lainnya. Itu saja,’’ pungkas Jupriono yang enggan difoto close up. [KUS & PUR]

0 komentar: