Oleh: Ayu Andini*
Eni Lestari, Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (ATKI-HK), memberikan statement menanggapi keterangan keluarga Fitriani, BMI yang terbunuh di Hong Kong 23 Januari 2008 lalu, bahwa agency yang memberangkatkan Fitriani ke Hong Kong, meminta pihak keluarga Fitriani untuk membayar uang sebesar Rp 1.500.000 untuk biaya transportasi Jenazah, dari Airport Juanda, Surabaya, menuju kediaman Fitriani di Desa Kluwut, Wonosari, Malang, Jawa Timur.
Sedih sekali mendengar nasib Almarhumah Fitriani itu --semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan.
Sekedar ingin membandingkan pengalaman pribadi saya selama bekerja di salah satu PPTKIS di Tangerang, saya mempunyai 3 murid yang meninggal masing masing di Taiwan, Malaysia dan terakhir di Taiwan juga.
Saya ingat sekali ketika saya harus terbang ke Surabaya untuk menunggu kedatangan jenasah BMI saya bersama pihak BP2TKI Jawa Timur dan pihak keluarga almarhumah. BMI saya meninggal karena kecelakaan ketika taksi yang ditumpanginya untuk membeli obat bagi pasiennya ditabrak mobil kontainer yang menyebabkan tulang iga kirinya rusak dan akhirnya meninggal setelah sepekan dirawat di Rumah Sakit di Taiwan.
Malam itu jenasah datang pukul 23.00 bersama China Airlines di Bandara Juanda. Kami mengurus jenasah sejak dikeluarkan dari area cargo dan langsung meluncur ke Banyuwangi karena dari sanalah BMI berasal. Suami dan anak anak almarhumah juga hadir di bandara.
Pukul 04.30 ketika tiba di di Banyuwangi, sudah menunggu sanak dan saudara almarhumah. Tak seorang pun yang tak menangis. Betapa tersentuh hati saya. Andai saja ketika saya pergi ke Taiwan dulu terjadi apa-apa sehingga pulang berada di dalam peti jenasah, pastilah keluarga saya akan merasakan hal yang sama.
Ada lagi BMI yang berangkat melalui PJTKI tempat saya bekerja yang meninggal di Malaysia. Kali ini saya menunggunya di Jakarta untuk kemudian membarengi jenasah itu dengan pesawat menuju Jogja. Kami juga menyewakan mobil agar keluarganya bisa datang ke bandara dari desa Prembun. Mobil ambulans yang sudah kami siapkan membawa kami dengan rasa duka yang dalam. Di rumah duka saya harus memberikan kata sambutan di hadapan 300 pelayat yang berlinang air mata. Betapa beratnya posisi saya kala itu. Padahal, semua itu bukan kesalahan saya, bukan? Mewakili PJTKI, saya sudah mengupayakan yang terbaik buat ahli warisnya berupa uang duka dan uang asuransi untuk keluarga yang ditinggalkan. Dan tidak memungut sepeser pun dari mereka, karena kami sadar sepenuhnya bahwa itu semua adalah kewajiban kami.
Terakhir, salah seorang BMI Taiwan mengalami kercelakaan kerja dan saya kembali dapat tugas mengantarkan jenasahnya untuk disemayamkan di Bandung. Saya mengurusnya sendiri tanpa bantuan calo, sejak jenasah mendarat di Bandara Soekarno Hatta, pengurusan bea cukai, karantina, hingga pengurusan dokumen agar jenasah bisa keluar dari cargo bandara Sukarno Hatta. Dan lagi-lagi saya harus berbicara, menyerahkan jenasah kepada keluarganya setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan dari Jakarta ke Bandung.
Banhyak dokumen yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa negara penempatan, disahkan oleh notaris tersumpah, dilegalisasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Luar Negri dan Perwakilan Taiwan di Indonesia. Itu semua membuat jenasah baru sampai di tanah kelahirannya sebulan sejak kematiannya. Kami bisa paham jika reaksi masyarakat dan keluarganya terkesan sinis, bahkan geram.
Saya bisa merasakan kesedihan yang mendalam di keluarga ini, mengingat almarhum sudah tidak mempunyai orang tua, dan ketika memutuskan untuk keluar negri, niatnya murni adalah untuk membantu ekonomi saudara saudara kandungnya. Lantas, ketika terjadi musibah seperti ini, bisa kita bayangkan betapa kehilangannya keluarga ini.
Syukurlah, pada akhirnya saya bisa melewati masa-masa menegangkan itu. Warga akhirnya bersimpati kepada perusahaan kami, yang telah memberangkatkan dan memulangkan dengan penuh tanggung jawab. Dan yang paling penting adalah kami tidak menambah beban keluarga yang ditinggalkan oleh BMI dengan meminta uang transportasi atau apa pun istilahnya, seperti yang dialami oleh keluarga almarhumah Fitriani.
Maka, melalui tulisan sederhana ini, yang ingin saya tekankan adalah, betapa masih ada pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap nasib BMI-nya, tetapi malah menambah beban keluarga BMI bahkan ketika mereka tertimpa kesusahan yang begitu berat. Dan jika benar pihak agen, atau PJTKI-nya yang meminta uang transport itu, tidakkah mereka takut akan sanksinya, karena jelas-jelas itu melanggar Undang-undang No 39 Tahun 2004 Pasal 73 antara lain ayat 2 (c): ’’memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan.’’
Coba saja andai Pimpinan PPTKIS tersebut mempunyai rasa empati yang dalam, pastilah sekian juta tidak akan menjadi masalah, dibandingkan dengan harus kehilangan anggota keluarga.
Selanjutnya, apabila pihak PPTKIS yang memberangkatkan Fitriani telah mengasuransikannya sebelum terbang ke Hong Kong, apabila ada asuransi untuk atas nama almarhumah, maka ahli waris Fitriani akan berhak atas uang kematian sebesar 40 juta dan uang penguburan sebesar Rp 5 juta dari pihak asuransi Indonesia. Untuk pengurusan klaim ini, pihak PPTKIS-lah yang wajib melakukannya dengan bantuan pihak keluarga untuk penyediaan dokumen-dokumen yang diperlukan.
Lewat tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman BMI untuk berusaha lebih memahami dan kemudian memerjuanagkan hak yang seharusnya diterima.
Semoga menjadi sebuah pembelajaran bagi kita semua, untuk ikut merasakan kesedihan orang lain, bukannya malah menambah beban mereka justru disaat mereka sedang sedih sesedih-sedihnya, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. [andini76@yahoo.com]
*) Penulis adalah Kepala Cabang Jatim PT Yonasindo Intra Pratama
dari: Intermezo edisi Februari 2008
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
2 komentar:
Ceritera yang ditulis di atas seharusnya disosialisasikan lebih inten kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Baik itu PJTKI ataupun para TKI. Agar tercipta kepahaman dan keselaran di antara kedua belah pihak. Semoga PJTKI yang tidak manusiawi itu lekas diberi pentuk oleh Tuhan.
jika boleh sy berkata jujur di sini,
aku akan berkata:
aku merasa malu jadi bangsa indonesia
di negara yang sedang aku tempati sekarang ini.{saudi arabia}.kenapa aku berkata bgitu.....?.
karna hampir setiap saat orang2 {saudi}berkata bahwa wanita2 indonesia semuanya murah dan mauan alias placur,tidak jarang aku berantem,karna omongan itu.
jadi kesimpulannya alangkah baiknya,jika yang berwenang dalm urusan ini. tidak mengirim/menutup,pengiriman,tenaga kerja wanita singgel {tkw,singgel}.hususnya ke arab saudi.insya alloh.hasilnya akan memperbaiki nama bangsa indosia hususnya di negara arab saudi.
aku .h. ali faisal bahri madura
Posting Komentar