Retnaningtyas
Jika kecantikannya menjelma api, jangankan belantara tropis di negeri asalnya yang makin hari mekin digerogoti manusia-manusia yang dipompa uang hingga jadipara raksasa, gurun pasir pun bisa jadi padang abu karenanya. Jika kecantikannya menjelma embun pagi, matahari pun akan menggerutu, mengapa ia mesti hadir dan membuyarkan percumbuan yang menguarkan wangi ke segenap penjuru. Dan siapakah yang menginginkan kecantikan itu menjelma liuk samodra yang bersekongkol dengan badai dan melahirkan keperkasaan tujuh tsunami yang bisa memorakporandakan seluruh negri? Bukan aku, dan bukan kau, tentu. Aku, dan tampaknya kau, menginginkan kecantikan itu mekar di angkasa bak kembang api di dalam pesta yang menghabiskan biaya sebesar dana santunan bagi ratusan ribu anak yatim yang dirundung lapar dan sepi.
Tampaknya kita lebih suka larut dalam berandai-andai, karena melihat kecantikan itu sebegitu angkuh, seperti tak tersentuh, begitu kukuh. Ia tegak seperti tiang yang selalu setia menakar gelombang. Tetapi bahwa ia kesepian, tahukah kau?
Setiap percik kembang api itu lalu kembali menyatu menjadi pekatan cahaya yang nyaris tak terlihat oleh mata yang paling sehat dan bahkan oleh mesin pengintai yang paling canggih sekalipun. Ia melesat melebihi kecepatan angan-angan, menyusup ke dalam sesosok tubuh perempuan yang sejak kemarin, sejak kemarin-kemarin, dan bahkan mungkin sejak kemarin-nya kemarin-kemarin, teronggok di bawah tiang itu.
Terik matahari, kelembaban malam, dan debu dan angin laut telah bergotongroyong memoles seluruh tubuh perempuan itu, yang kemudian hanya dapat kita sebut dan kelak kita ingat sebagai perempuan yang menanti perahu warna biru. Ditambah lagi kesedihan, kesepian, dan segala yang merundung dan menimpa sekujur lahir-batinnya, membuata kecantikan itu begitu sempurna. Debu yang biasanya mengusamkan ternyata justru membuat kulit perempuan ini bercahaya. Wajahnya yang siang dan malam tak pernah berhenti membeku membuatnya semakin tampak ayu. Maka, boyonglah panggung teater itu ke sini untuk memigura perempuan yang menunggu perahu warna biru ini, maka Anda akan menyaksikan sebuah monoplay yang sangat bagus. Tak diperlukan lagi musik tambahan, tatacahaya yang hanya akan membuatnya kenes, dan bahkan aktor/aktris lain. Dia saja. Sudah cukup. Sudah sempurna. Sedang di dalam kebisuannya pun kita dapat menangkap ceritanya, apalagi jika ia berkata-kata.
’’Jangan tanyakan namaku, dari mana asalku, dan akan sampai kapan aku menanti di sini. Ya! Aku hanya menanti. Dan katabarkanlah padaku jika kau melihat perahu itu datang atau sekadar melintas di kejauhan sana. Perahu itu berwarna biru. Persis seperti warna langit di hari yang cerah.’’
’’Tidakkah kau melihat, di sebelah sana ada beberapa perahu berwarna biru sedang bersandar?’’
’’Tidakkah kau melihat, dengan teliti, hingga kau yakin bawa itu perahu-perahu yang lain? Birunya pun lain. Bukan biru langit di hari yang cerah.’’
’’Bukankah sebenarnya kau sedang menunggu seseorang, yang, barangkali ada di dalam perahu itu?’’
’’Bisa jadi begitu. Tetapi jangan tanyakan padaku, siapakah dia, seseorang itu, dari mana asalnya, siapa namanya, dan apa pekerjaannya. Sebab aku hanya ingat, dulu kami bertemu di dalam perahu itu, perahu berwarna biru itu.’’
’’Oh, betapa malang nasibmu, wahai perempuan yang menanti perahu warna biru!’’
’’Aku tidak ingin dikasihani. Sebab aku masih punya harapan. Dan itulah jawaban saya untuk pertanyaan yang belum kaukemukakan: Mengapa kau biarkan tubuhmu teronggok disini.’’
Jika kau ingin melihat mata yang dibinarkan oleh kesedihan dan pancaran gairah yang dikuatkan oleh kesepian, datanglah ke hadapan perempuan itu, perempuan yang menanti perahu warna biru itu.
Jika hari mulai redup, tak jarang laki-laki iseng mendatanginya, sekadar berbasa-basi, dan tak sedikit pula yang coba menawarkan cinta. Ada laki-laki hitam, ada laki-laki coklat, ada pula laki-laki bule. Kadang bahkan juga perempuan, menghampirinya dan dan serta-merta menghamburkan rayuan tanpa basa-basi. Dan perempuan yang menanti perahu warna biru itu tak perlu banyak kata untuk membuat mereka mundur membawa wajah ingah-ingih. Cukup dengan sorot matanya yang bisa jadi sebegitu tajam. []
Dari Peduli Nomor 16
0 komentar:
Posting Komentar