Dalam obrolan yang sangat akrap, seorang sahabat mengajukan pertanyaan retoris [dalam pelajaran bahasa Indonesia di SMP, Bu Guru menjelaskan bahwa yang dimaksud pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang dikemukakan bukan untuk mendapatkan jawaban, tetapi sebagai gaya pengucapan. Jadi orang yang mengajukan pertanyaan retoris bukanlah orang yang ’bertanya’ melainkan ’mempertanyakan’ atau bahkan ’menegaskan sesuatu’].
Pertanyaan retoris itu lebih-kurang begini, ’’Mengapa memilih semboyan [maksudnya untuk majalah Peduli]: informasinya inspiratif?’’ Nah, kan? Belum sempat ada kalimat muncul sebagai reaksinya, sahabat itu sudah menumpangkan kalimat lain, ’’Bukankah akan terasa lebih hebat kalau pakai kata-kata, misalnya: informasinya akurat, atau hanya mengungkap fakta, atau informasinya lebih jernih dan tepercaya, dan semacamnya!’’
Hehe! Akurat? Seakurat apa? Seakurat bidikan panah asmara Arjuna ke jantung perempuannya? Haha. Sejernih apa? Sejernih minyak goreng rendah kolesterol? Setajam lirikan mata yang sedang jatuh hati? Bukannya jernih itu buruk, bukannya akurat itu jelek, dan tajam ada baiknya pula ketika dibutuhkan.
Majalah Peduli diterbitkan untuk membukakan ruang bagi inspirasi kepada para TKI yang masih bekerja di luar negeri, sehingga memiliki gambaran yang jelas mengenai apa yang mesti mereka lakukan kelak, setelah memiliki tabungan yang cukup dan memutuskan untuk menjalani hidup, bekerja, dan menikmati hasilnya di negeri sendiri. Karena itulah, Majalah Peduli menggunakan semboyan: informasinya inspiratif.
Nah, kan? Inspiratif, itulah yang selalu kami upayakan. Dan karenanya, pembaca Peduli akan banyak pula menemukan liputan-liputan menganai usaha kecil yang ’’secara harfiah’’ tidak bisa ditiru begitu saja, karena omzetnya mungkin terlalu kecil. Seorang ibu di sebuah sudut desa pedalaman, misalnya, menekuni usaha pembuatan tempe berbalut gedebog [irisan batang pisang] yang hanya menjual sebanyak yang bisa dibawanya sendiri ke pasar, 2 atau 3 kali dalam sepekan. Omzetnya dalam sepekan itu mungkin hanya berbilang ratusan ribu rupiah, dan angka keuntungannya pastilah terlalu jauh untuk bisa dikatakan menggiurkan.
Maka, apakah yang mendorong Redaksi Peduli untuk menurunkan hasil liputan seperti itu? Tentu, kita tidak mengajak pembaca untuk melakukan usaha yang sama persis baik dalam hal produksi dan apalagi pemasarannya. Yang paling menarik dari laporan seperti itu adalah hikmah, pelajaran, tentang semangat bekerja, tentang ketekunan, tentang istiqomah.
Kadang pikiran sarjana ekonomi pun ora gaduk [tidak bisa menjangkau] dan tidak bisa menerangkan dengan teori-teori akademiknya, bagaimana bisnis modal kecil [mikro] banget itu, dengan omset sangat kecil, dan keuntungan sangat kecil pula bisa dipertahankan bahkan diwariskan dari generasi ke generasi? Bagaimana bisa, ya? Dan, selama masih ada pertanyaan semacam itu, pastilah si penanya benar-benar belum memahami hakikatnya, dan karenanya pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang sangat lugu, bukannya pertanyaan retoris.
Dan dalam usaha menemukan jawaban-jawaban itu, pikiran kita bergerak, tidak mandeg. Ketika pikiran tidak mandeg, itulah saat yang bagus untuk mendapatkan inspirasi!
Pepatah bilang, sebuah karya lahir dari satu persen inspirasi ditambah sembilan puluh sembilan persen perspirasi [keringat]. Tetapi jangan lupa, walau angkanya hanya 1 %, inspirasi itu adalah ibarat pemantik. [R]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar