Cerpen: Ayu Andini
Riri baru saja pulang dari Taiwan 1 minggu lalu dan harus segera ke Kendal untuk mengantarkan titipan sahabatnya untuk orang tuanya. Riri berusaha menjalankan amanah dari sahabatnya itu, mengantar 2 dos besar dan 1 amplop tebal, entah apa isinya. Ia menempuh perjalanan Madiun – Semarang – Kendal. Desa Weleri, itulah alamat orangtua temannya.
Riri berkali-kali minta maaf dengan santunnya kepada ibu renta itu, karena terbilang lambat mengantarkan titipan itu.
Ibu Sukesi, demikianlah namanya, hanya menangis sesenggukan. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Riri hanya menyoba untuk menunggu kalimat yang akan keluar dari ibu tua itu.
’’Dia jarang nelpon dan tidak pernah kirim uang ke rumah, Ndhuk.’’
Lina sudah sering keluar negri. Ia suka bercerita bahwa pernah ke Malaysia, Arab dan kemudian Taiwan. Di Taiwan, ia sudah memasuki tahun ke-3 nya. Itungan matematisnya, dia sudah pasti punya banyak tabungan dan sudah bisa dibanggakan orangtuanya. Tetapi, demi melihat keadaan rumah yang jauh dari kata mewah dan juga kursi tua di ruang tamu itu, sepertinya ibu ini tidak tengah membohongi Riri.
Riri hanya diam membisu. Tangis Bu Sukesi masih belum reda. Riri menyoba menghiburnya, ’’Mungkin ada di dalam surat ini, Bu, silahkan, ini dari Lina juga,’’ Riri menyerahkan amplop tebal coklat ke tangan Bu Sukesi, sambil berharap, semoga isinya uang, sehingga Riri akan bisa melihat raut bahagia dari perempuan di depannya.
Setelah di buka, Riri hanya melihat foto-foto Lina di seberang sana, foto dengan rambut dan gaya aneh-aneh, yang seharusnya disembunyikan. Karena itu bukanlah gambar kesuksesannya, melainkan gambar kegagalannya.
Dan setelah kotak itu dibuka pun, isinya hanyalah baju baju tanpa lengan, yang mirip baju kekecilan untuk ukuran Bu Sukesi, dan sudah pasti tidak pantas dipakai oleh wanita setua itu. Seksi banget, sih!
Riri melihat jelas kekecewaan di mata Bu Sukesi. Tidak ada dollar Taiwan di amplop itu, tidak ada barang berharga di kardus itu. Bu Sukesi ke dapur meninggalkan Riri yang teringat kembali akan sahabatnya yang masih di Taiwan.
’’Bu RT, kalau bisa setelah anter anakmu, mampir ya?’’
’’Hei Lina.. ngapain? HP-mu error lagi ya? Selain dewasa, Riri juga jago bahasa Inggris, sehingga selalu diandalkan oleh teman-temannya untuk menghubungi operator selular dan memperbaiki HP yang error, sehingga Lina lebih sering memanggilnya Riri dengan sebutan ’’Bu RT.’’
Pagi itu Lina menelepon, meminta Riri mampir ke rumah majikannnya. Lina memang sangat beruntung dengan pekerjaannya. Dia hanya menjaga 1 nenek jompo dengan keluarga yang sangat menyayanginya dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Juga kesempatan berlibur di setiap hari Minggu yang membuatnya mempunyai banyak teman. HP juga selalu yang terbaru dan rasanya tidak pernah kekurangan uang. Malah sesekali Riri ngutang pulsa ke Lina, ketika kangennya sama anaknya di kampung halaman tidak terbendung dan pulsa HP-nya tidak ada.
Riri mengantar anak majikannya lebih awal dari biasanya, supaya bisa pulang tepat waktu dan tetap bisa menyenangkan teman satu-satunya di flat itu.
Mereka tinggal di Anchu Street, di Ta An Distric Taipei City. Lina di lantai 3 sedangkan Riri dilantai 7. Sesekali mereka bertemu, ketika Riri mengantar anak majikannya sekolah dan Lina membawa pasiennya jalan-jalan ke taman.
’’Nyang apa Ndhuk ?’’ sapa Riri yang sudah di tunggu Lina di lantai satu.
’’Aku libur minggu ini Bu RT, tolong liatin baju mana yang paling cocok aku pakai minggu nanti, soalnya aku dah bosan banget dengan baju-bajuku, gengsi banget kalo pakai baju itu-itu aja...’’
Mereka berdua menuju lantai 3 dimana Lina tinggal dengan pasien yang dijaganya. Lina mengeluarkan baju barunya. Terlihat labelnya yang masih belum dilepas, 2000 NTD$, 1700 NTD$, 999 NTD$. Riri menghela napas. ’’Ini semua baju mahal ya?’’ tanyanya polos.
Riri memang baru 3 bulan di Taiwan, belum pernah ke luar negri pula sebelumnya. Niatnya mengadu nasib ke Taiwan adalah untuk bisa mempunyai tabungan bagi sekolah anaknya yang ketika ditinggal berusia 2 tahun. Jadi, dia sudah tahu, barang-barang apa saja yang sebaiknya dibeli, dan sebaiknya tidak. Tabungan pendidikan anaknya adalah segala-galanya.
Riri memang orang desa yang masih polos, hanya kebetulan dia pernah kursus menjahit. Karena itulah Lina selalu mengandalkannya untuk urusan mematut baju. Sambil membatin, ’’Eman banget ya.. ini duit Indonesia sudah berapa juta aja?’’ Riri masih dengan tulus membantu sahabatnya untuk bisa tampil modis di hari Minggu nanti.
’’Silahkan diminum, Ndhuk,’’ suara serak Bu Sukesi memecahkan lamunan Riri. Terlihat jelas warna hitam tergores di pipi kiri perempuan renta itu. Riri berani menyimpulkan bahwa di rumah ini belom ada kompor minyaknya, apalagi kompor gas. Riri juga pernah mengalami masa-masa seperti itu, ketika harus mendekatkan wajah ke tungku pembakaran untuk meniup api supaya menyala. Dan ketika tanpa sengaja menyibak anak rambut yang bergerai ke pipi... hitamlah pipi Riri, karena tanganya kotor kena kayu bakar.
Riri tersadar. Ternyata, rasa irinya ke Lina selama ini samasekali tak beralasan. Riri memang tidak diberi libur oleh majikannya, dengan alasan majikan ingin menikmati week end-nya dan tidak mau diganggu oleh anak-anaknya.
Riri memang tidak diperlakukan seperti anak oleh majikannya, dia hanya seorang pekerja dirumah majikannya, baby sitter yang harus mengurus 3 anak ditambah 1 bayi yang baru lahir.
Riri terkurung di lantai 7, setiap hari selama 2 tahun. Riri hanyalah seorang PRT yang mencoba untuk bertahan demi anak yang dititipkan kepada sang nenek di kampung halaman. Tetapi 2 tahun ternyata mampu mengubah kehidupan sederhana keluarganya. Ayahnya yang dulu tukang becak, kini sudah menjadi tukang ojek dan bisa membantu 3 tetangganya untuk jadi tukang ojek juga di terminal Madiun.
Sebuah potret perubahan ekonomi yang luar biasa. Sedangkan Lina?
Gemerlap di Taiwan, tetapi redup di desanya. ’’Lina.... jangan boros boros di Taiwan ya, belikanlah ibumu kompor. Minimal kompor minyak tanah,’’ Riri langsung mengirim SMS untuk sahabatnya yang masih punya kesempatan untuk mendulang dolar di Taiwan itu. []
0 komentar:
Posting Komentar