Kamis, 17 September 2009

Warung SE-HO, Setahun Berdiri belum Balik Modal

3–4 Bulan Pertama hanya Habiskan 3 kg Beras /Malam

Membangun bisnis sega sambel rupanya tak bisa langsung mendapat keuntungan. Dibutuhkan kesabaran dan ketekunan ekstra untuk menjaganya setiap malam meski sepi pembeli. Padahal, berbagai upaya promosi telah dilakukannya untuk mempromosikannya pada tetangga dan teman-temannya.


’’Harus sabar dan telaten dalam melayani pelanggan,’’ ucap Djoko Widodo [42] pemilik warung sega sambel SE-HO di samping kampus B Universitas Airlangga, jalan Dharmawangsa sejak setahun lalu ini.

Menurutnya, dibutuhkan semangat ekstra tinggi untuk menjaga warung sega sambel saban hari di tengah persaingan warung yang belakangan makin menjamur. Sebelumnya, Djoko pernah membantu keponakannya mengelola warung Ho-Ha selama empat tahun lamanya yang terletak tak jauh dari tempat warungnya berdiri.

Dengan bermodalkan Rp 5 juta, Djoko berniat membuka warung sega sambel bersama istri dan dua orang pegawainya di depan Showroom mobil di kawasan tersebut. Uang tersebut digunakannya untuk membeli terpal untuk tenda, alas duduk, kompor, segala peralatan dan perlengkapan memasak seperti piring, gelas, wajan dan juga memesan rombong.

’’Rombong ini saya minta tolong tetangga untuk membuatkan dengan harga Rp 700 ribu,’’ akunya setelah berpikir sejenak.

Saat pertama buka, warung yang mulai di gelar sejak pukul 19.00 sampai pukul 02.00 WIB ini hanya mampu menghabiskan beras 3 kg saja setiap malam. Padahal, berbagai cara promosi telah dilakoninya. Diawal pembukaan warungnya dulu Djoko telah mengundang seluruh tetangganya di kawasan Gubeng Airlangga IV No. 55 Surabaya yang diniati sekaligus sebagai syukuran.

’’Saya ingat banget waktu itu uang yang Kami habiskan untuk kulakan bahan cum Rp 200 ribu ya untuk selametan itu. Karena itulah untuk modal kulakan setiap harinya harus double buat persediaan kulakan dua hari,’’ ujar sang istri, Yogi Purwanti.

Selain itu, Djoko juga telah mengerahkan rekan-rekan trek-trekannya untuk sering nongkrong di tempat tersebut dengan kompensasi beli 1 piring nasi sega sambel gratis 1 piring. Tapi toh, usahnya itu tak banyak membuahkan hasil.

’’Itulah kendala terbesarnya. 3 sampai 4 bulan pertama masih sepi pelanggan. Jadi harus benar-benar sabar dan telaten dalam melayani pelanggan meskipun pulangnya cuma bawa duit sedikit dan serin grugi,’’ celetuk Djoko.

Pelan tapi pasti, akhirnya kesabaran itu membuahkan hasil. Kini, Djoko berhasil mengantongi omzet Rp 700 ribu setiap malam dengan dibantu istri dan empat orang pegawainya. Meskipun demikian, ia mengaku belum balik modal lantaran masih dipakai untuk kulakan saban harinya.

Berasnya yang dulu hanya menghabiskan 3 kg kini telah mencapai 5–10 kg setiap malam. Selain itu, warungnya ini juga mampu menghabiskan 4–5 kg ikan pe, 5-6 ekor ayam, 5-6 kg telur ayam, 15 ribu-20 ribu iris tempe, dan 4.000-5.000 potong tahu untuk setiap malamnya. Paling ramai adalah sabtu malam minggu saat rekan-rekan trek-trekannya sering nongkrong disana. Semua ini diakui Djoko berkat racikan sambelnya yang berbeda. Pasalnya, Djoko terus menjaga mutu sambel buatannya dengan meramunya sendiri. Bumbu sambel buatannya sebenarnya tak jauh beda dari kebanyakan orang. Yaitu, berupa cabe rawit, cabe merah, tomat, bawang merah dan bawang putih, terasi, garam serta gula.

’’Nah, cabe rawit, cabe merah, bawang merah, bawang putih, tomat dan terasinya harus di gongso lebih dahulu. Tapi minyak goreng yang dipakai harus benar-benar panas supaya taste-nya berbeda. Kalau waktu digoreng minyaknya sudah panas maka saat diuleg nanti sambelnya kan lebih beraroma dan lebih gurih,’’ jelasnya membongkar rahasia.

Cara mengolah bumbu-bumbu sambel pun tak sembarangan. Sebab, Djoko lebih suka meng-uleg bumbu sambelnya itu ketimbang menggilingnya dengan blender.

’’Kalau di-blender nggak enak rasaya, agak getir karena biji cabe rawitnya ikut hancur,’’ sambungnya.

Dan, satu lagi ciri khas sambel hasil racikan Djoko adalah sambelnya yang terkenal memeras keringat alias pedas sekali! Dalam meramu sambel, Djoko memang tak pernah tanggung-tanggung memberi cabe rawit untuk sambelnya. 2-3 kg ia persiapkan untuk membuat sambel setiap harinya. Wah, sudah kebayang dong betapa pedasnya sambel racikan Djoko ?!

’’Ya mau bagaimana lagi, wong orang Surabaya lebih suka sambel pedas dan manis,’’ pungkasnya seraya tersenyum. [NUY HARBIS]

0 komentar: