Penghitungan suara pemilihan umum angota parlemen belum lagi usai. Namun dari hasil suara yang masuk, masyarakat sudah dapat memperkirakan siapa saja yang nantinya akan lolos menduduki kursi dewan. Di beberapa kota, simpatisan calon anggota legislatif (caleg) mulai merayakan kemenangan calon mereka. Sementara itu tak sedikit caleg yang merasa gagal lolos dalam pertarungan karena perolehan suaranya tidak memadai, mulai menderita tekanan batin. Bahkan ada di antaranya yang menjadi penghuni rumah sakit jiwa.
Sudah sejak awal diprediksi, pemilu caleg kali ini akan mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Keputusan suara terbanyak menjadikan para caleg harus banting tulang memperjuangkan perolehan suara untuk diri mereka sendiri. Bagi caleg perempuan keputusan ini menjadikan perjuangan mereka untuk duduk di kursi dewan lebih berat lagi.
Secara umum masyarakat masih memandang bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Sehingga mereka dinilai tidak layak mendapatkan amanah rakyat. Istiatun, staf Kaukus Perempuan Politik (KPP) DI Yogyakarta bahkan mengatakan bahwa masyarakat, termasuk masyarakat perempuan sendiri menilai bahwa caleg perempuan, “Tidak simpatik, tidak menarik,”. Penilaian ini berakibat pada keraguan akan kamampuan calon pemilih terhadap caleg perempuan.
Pada sisi lain, Tri Kirana Haryadi Suyuti, wakil ketua Tim Penggerak PKK Kota Yogyakarta mengakui bahwa hanya 40% saja caleg perempuan yang paham masalah. Selebihnya sebanyak 60% caleg perempuan dipasang dalam daftar calon tetap untuk memenuhi kuota 30% perempuan dalam parlemen. Mereka inilah yang dalam perjalanannya, ’’Kepontal-pontal karena belum punya pemetaan,’’ lanjut Tri Kirana dalam pertemuan anggota PKK kelurahan di lingkungan Kota Yogyakarta, pertengahan April. Kondisi ini akhirnya memunculkan politisi perempuan dadakan. ’’Bangun tidur langsung nyaleg,’’ demikian istilah Tri Kirana.
Sebenarnya tak hanya caleg perempuan saja yang tidak paham persoalan. Banyak juga caleg laki-laki dengan kondisi serupa. Hanya saja mereka diuntungkan oleh budaya. Annisa, relawan pemantau yang diterjunkan oleh KPP dalam pemilu 2009 di Kota Yogyakarta mengungkapkan bahwa caleg perempuan memiliki banyak keterbatasan dibanding caleg laki-laki. ’’Caleg laki-laki bisa masuk ke forum perempuan maupun maupun laki-laki, tetapi caleg perempuan hanya bisa diterima di forum perempuan,’’ katanya.
Annisa menambahkan bahwa di wilayah di mana ia bertugas, caleg laki-laki leluasa masuk ke berbagai forum perempuan, seperti kursus memasak atau kelompok senam ibu-ibu dan remaja putri. Sementara itu caleg perempuan dianggap ’tidak pantas’ terlibat kegiatan yang pesertanya didominasi para laki-laki, seperti pertemuan warga atau pertemuan kelompok-kelompok hobi.
Dengan pandangan dan penilaian seperti itu terhadap perempuan, tak heran jika caleg perempuan tidak menjadi pilihan. Bahkan bagi para perempuan sendiri. Dalam istilah Annisa, ’’Perempuan sendiri belum mau menyerahkan nasibnya pada perempuan.’’ Ini dapat dibuktikan dari hasil pemantuannya di TPS di wilayah Yogyakarta bagian barat. Dari 36 caleg perempuan yang tertera dalam daftar di daerah pemilihan tersebut, hanya sembilan caleg yang mendapatkan suara. Itu pun dalam jumlah yang tidak signifikan. Sebab dari 121 pemilih perempuan yang terdaftar di TPS tersebut, suara untuk caleg perempuan yang terkumpul hanya 24 buah. Artinya, sebagian besar perempuan masih memberikan suaranya untuk caleg bukan perempuan.
Terlepas dari hasil yang didapatkan, apa yang dilakukan perempuan dalam pemilu kali ini tetap dapat dilihat sebagai langkah yang positif. Sebab bagi perempuan yang ingin berkiprah di bidang politik, ’’Yang paling penting keberanian dulu,’’ kata Tri Kirana. [sta]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar