Selasa, 15 September 2009

Merayakan Hari Kartini dengan Kekalahan

Pemilihan umum untuk anggota legislatif baik di tingkat kota/kabupaten, provinsi, maupun nasional baru saja berlalu. Sekalipun penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum selesai, secara umum hasilnya sudah dapat digambarkan. Partai Demokrat menduduki peringkat pertama, mengalahkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golongan Karya, yang semula dikenal sebagai partai besar di Indonesia.

Lepas dari kemenangan dan kekalahan partai tertentu, pemilihan umum kali ini tetap saja merupakan kekalahan perempuan. Dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), dimana calon legislatif ditentukan dengan suara terbanyak, upaya mendudukkan calon legislator (caleg) perempuan dalam urutan jadi terasa sia-sia.

Beberapa pihak termasuk sebagian caleg perempuan, menilai putusan MK ini cukup adil. Dengan demikian, caleg perempuan maupun laki-laki akan bersaing secara adil dan terbuka meraih suara dari para pemilihnya. Menanggapi keputusan ini, Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd., Ketua Kaukus Perempuan Politik (KPP) DI Yogyakarta memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, dengan putusan MK tersebut, perjuangan untuk mendudukkan 30% perempuan dalam parlemen menjadi sia-sia. Termasuk usaha Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mensyaratkan 30% perempuan dalam daftar calon tetap setiap partai juga tak berarti.

Ketentuan suara terbanyak akan menguntungkan caleg yang telah dikenal luas oleh masyarakat, sekalipun mereka tidak memiliki pemahaman yang memadai terhadap kondisi konstituennya. Menurutnya kalangan selebritis, sangat mungkin diuntungkan oleh keputusan ini. Nahiyah prihatin dengan hal ini. ’’Artis, dagelan, kok dipasang nomor urut satu,’’ katanya awal April lalu, dalam pembekalan relawan pemantau pemilu 2009.

Sebagai sebuah lembaga independen yang memperjuangkan perempuan di ranah publik khususnya politik, KPP harus mengubah strategi dengan adanya keputusan MK tersebut. Agar tujuan besarnya, meningkatkan keterwakilan perempuan di ranah politik khususnya legislatif dapat terwujud. Salah satu strategi yang ditempuh adalah dengan menurunkan relawan pemantau.

Masih tingginya resistensi kaum laki-laki terhadap perjuangan perempuan untuk duduk di parleman menjadi salah satu kekhawatiran KPP akan terjadinya kecurangan dalam proses penghitungan suara. Ini dapat dimengerti karena banyak politisi menganggap kuota 30% bagi perempuan di parlemen sebagai ancaman bagi keberadaan mereka.

Di luar politisi, masyarakat secara umum juga belum memiliki kepercayaan terhadap perempuan. Selain faktor budaya, agama juga memegang peran cukup besar. Banyak agamawan menafsirkan perempuan hanya boleh menjadi pemimpin di antara kaum perempuan saja. Permasalahan inilah yang menjadi kendala dalam memperjuangkan perempuan terlibat dalam proses legislasi di negeri ini.

Tak hanya itu, ternyata keterlibatan perempuan dalam ranah politik juga mendapat tantangan dari kaum perempuan sendiri. Seorang kader PKK yang menjadi relawan pemantau pemilu bahkan mengatakan, ’’Perempuan itu ego lebih tinggi, sombong lebih tinggi, lebih gesit laki-laki, perempuan tetap ketinggalan.’’ Itu alasan mengapa yang bersangkutan tidak memilih caleg perempuan.

Tentu saja pendapat itu tak lepas dari konstruksi budaya yang ada, dimana kaum perempuan selama ini terbiasa berada di bawah kepemimpinan dan kekuasaan laki-laki. Sehingga sekalipun telah terlibat lama dalam organisasi perempuan, mereka tetap enggan menyerahkan nasibnya pada legislator perempuan.

Lebih ironis karena kekalahan ini terjadi pada saat bangsa Indonesia bersiap memperingati Hari Kartini, dimana semua orang menyerukan kata ’emansipasi’![sta]

0 komentar: