’’Saya ini generasi ketiga,’’ demikian kata H. Muchayat mengawali ceritanya tentang usaha batik yang ia jalankan sejak tiga puluh tujuh tahun lalu. ’’Dulu itu nenek, kemudian ibu, baru saya karena saya anak ibu satu-satunya.’’
Istilah ’’anak satu-satunya’’ diberi penekanan oleh Muchayat karena menurutnya pelaku usaha batik sebagian besar adalah perempuan. Dalam usaha batik yang dijalankan secara turun-temurun, anak perempuan menjadi tumpuan harapan keluarga untuk meneruskan ketika orang tua atau ibu tak lagi mampu memegang kendali usaha.
Cerita Muchayat dikuatkan oleh keterangan Surtilah, warga Paimatan, Imogiri, Bantul, sebuah kampung yang dulu pernah menjadi sentra batik tradisional Imogiri. Saat batik masih berjaya, di kampungnya banyak perempuan berperan besar dalam perekonomian keluarga bahkan perekonomian di wilayahnya. Almarhumah Nyi Djogo Pertiwi yang pernah mendapatkan penghargaan Upakarti dalam bidang jasa dan pengabdian industri kecil dan kerajinan pada tahun 1992, merupakan salah satunya. Selain Alm. Nyi Djogo Pertiwi masih banyak lagi pengusaha batik perempuan di kampong ini. Bahkan ibu dan bude Surtilah sendiri merupakan pengusaha batik sebelum tahun 1980-an.
Tak hanya berkiprah sebagai pengusaha, perempuan juga merupakan kelompok terbesar yang terlibat dalam proses produksi batik tradisional. Menurut Muchayat, kedekatan perempuan dengan batik disebabkan membatik dapat dikatakan sebagai kerja rumahan. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh para perempuan atau ibu rumah tangga, di sela-sela aktivitas mereka mengurus keluarga. Berawal dari aktivitas sampingan perempuan inilah, batik kemudian berkembang menjadi aktivitas ekonomi yang dijalankan perempuan.
Meski demikian, tidak berarti perempuan anak pengusaha batik akan selalu menjadi penerus usaha ibu mereka. Jika usaha Alm. Nyi Djogo diteruskan oleh anak perempuannya, Sarjuni, tidak demikian dengan usaha batik orang tua Surtilah. Sebagai anak perempuan pengusaha batik, ia memilih menjadi pegawai negeri karena prospek usaha batik tradisional kurang menjanjikan. Sekalipun ia juga menguasai keterampilan membatik dan pernah menjadi pembatik pada masa mudanya.
Jika Surtilah memilih menjadi pegawai karena melihat prospek usaha batik yang kian redup, usaha batik dengan brand name Plungkung Gading di Kota Yogyakarta tidak berlanjut karena tidak ada proses regenerasi di dalamnya. Setelah pelaku usahanya meninggal, usaha ini berhenti karena sang suami tidak menguasai hal-hal yang berkaitan dengan batik. Demikian juga anak mereka.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya kiprah perempuan di sektor ekonomi sudah berlangsung sangat lama. Hanya saja keterlibatan mereka dalam menggerakkan perekonomian masyarakat tetap tidak banyak memengaruhi pandangan umum bahwa perempuan adalah warga kelas dua.
Dengan berkembangnya batik menjadi industri besar seperti saat ini, kiprah perempuan di sektor ekonomi surut kembali. Sebab sebagian besar industri dikendalikan oleh laki-laki. Jadi tak mungkin lagi kita berharap kemunculan perempuan serupa Nyi Djogo Pertiwi dalam industri batik semacam ini. [am]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar