Selasa, 15 September 2009

Beratnya Menjaga Warisan Budaya

Batik Tradisional Yogyakarta

Apa yang akan terlintas di benak banyak orang ketika muncul kata Yogyakarta? Dapat dipastikan Malioboro menduduki peringkat pertama yang banyak disebutkan. Ruas jalan yang menghubungkan Tugu dengan Keraton Yogyakarta ini memang sangat dikenal. Bahkan dapat disebut sebagai obyek wisata belanja andalan bagi masyarakat luar Yogya.


Nah, dalam urusan berlanja ini batik biasanya menjadi buruan utama para wisatawan. Sebab batik memang merupakan salah satu penanda Kota Yogyakarta. Sehingga tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke Yogyakarta tanpa berbelanja batik. Entah batik yang masih berupa lembaran kain, maupun yang sudah berwujud pakaian, dan perlengkapan rumah tangga, dengan mudah dijumpai di toko dan pasar di kota ini.

Termasuk di kaki lima sepanjang ruas Jalan Malioboro hingga Jenderal A. Yani dan Pasar Beringharjo yang terletak dalam satu kawasan.

Tingginya minat masyarakat terutama wisatawan terhadap batik, ternyata tidak dapat menjadi ukuran perkembangan dan kemajuan usaha batik di kota ini. Berdasarkan penuturan H. Muchayat, seorang pengusaha batik di Jalan Mangkurat Yogyakarta, usaha batik dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan. Sebagai orang yang sudah merintis usaha batik sejak 1972, Muchayat merasakan zaman kejayaan batik telah berakhir sejak berkembangnya batik printing pada tahun 1980-an.

Ya, menerjemahkan kata ’batik’ ternyata tidak sesederhana yang banyak dipahami orang. Batik bukan sekedar motif. ’’Batik itu kain yang ditutup dengan malam pakai canting,’’ kata H. Hury, salah seorang pengurus Koperasi Batik Senopati Yogyakarta. Tidak sekedar itu. Batik merupakan sebuah produk dengan serangkaian proses panjang. Setelah kain digambar dan ditutup malam (lilin), proses dilanjutkan dengan pewarnaan, hingga pelepasan lilin sebelum produk siap dipasarkan.

Itu artinya, barang-barang yang tidak melewati serangkaian proses tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai batik. Jika di pasaran saat ini banyak ditemukan kain atau berbagai model pakaian batik, sebagian besar di antaranya merupakan tekstil motif batik atau biasa disebut batik printing. Muchayat bahkan menyebut dengan, ’’Batik asal jadi.’’

Inilah yang tidak dipahami oleh banyak orang. Sehingga upaya mengangkat kembali batik sebagai warisan tradisi bangsa seperti yang digalakkan saat ini di berbagai kota, tidak pernah menyentuh para seniman dan pengusaha batik seperti Muchayat. Pihak yang lebih banyak mendapatkan keuntungan dalam program ini justru perusahaan besar termasuk perusahaan dari luar negeri yang mampu mengusahakan tekstil motif batik dengan harga murah.

Dengan lapang dada, Muchayat menghadapi kenyataan ini. Daya beli sebagian masyarakat yang masih cukup rendah, menjadi batik tulis bukan sebagai pilihan. Dengan harga Rp.300 ribu setiap lembarnya, hanya kalangan tertentu saja yang dapat memiliki produk ini. Kondisi ini disadari benar oleh Muchayat. Maka ia pun dapat menerima ketika sebagian pengusaha batik beralih memroduksi batik kontemporer dan meninggalkan pewarnaan alam agar dapat menekan harga.

Dalam hal ini, para seniman sekaligus pengusaha batik seperti Muchayat memang harus memilih. Mempertahankan tradisi dengan pasar yang sangat terbatas, atau menyesuaikan keadaan agar dapat memperluas pasar. [am]

0 komentar: