Rabu, 16 September 2009

Kualatisme Ekonomi

oleh Jaya Suprana

SALAH satu definisi ekonom adalah seorang ahli meramal apa yang akan terjadi di masa depan sekaligus juga ahli memberi penjelasan kenapa ramalannya ternyata tidak sesuai apa yang terjadi.

Tidak mengherankan, setelah malapetaka perbankan dan moneter melanda Amerika Serikat, mereka yang dianggap dan menganggap dirinya ahli ekonomi saling berebut menganalisis dan memberi penjelasan kenapa bencana ekonomi itu bisa terjadi. Bermunculan berbagai teori yang setelah berpencar simpang siur ke sana ke mari akhirnya terpaksa berjumpa kembali di satu titik sebab-musabab krisis yang ternyata sederhana tapi dapat dinalar, yakni kekeliruan sikap dan perilaku ekonomi.

Hasil diagnosis itu wajar karena apa yang disebut ekonomi maupun bisnis itu pada dasarnya merupakan salah satu sikap dan perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupan mereka. Sayang, dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan kemudian sikap dan perilaku ekonomi manusia berubah menjadi semakin kompleks dan kacau balau. Maka muncul berbagai upaya menganalisis yang kemudian menggumpal menjadi apa yang disebut sebagai ilmu ekonomi.

Karena dasarnya sikap dan perilaku, maka ilmu ekonomi memang lebih tergolong ilmu sosial ketimbang eksakta. Sebagai ilmu, maka ilmu ekonomi membutuhkan teori-teori yang sebenarnya muskil sebab realitas lingkungan ekonomi yang multidimensional, aspek dan facet, maka niscaya bersifat
tidak pasti; padahal esensi ilmu justru kepastian. Demi melindungi teoriteori ekonomi dari lingkungan yang tidak pasti itu, maka dibutuhkan dalih dogmatis yakni ceteris paribus.

Memang dalih ini curang lantaran menegaskan bahwa teori ekonomi hanya benar apabila lingkungan tidak berubah, padahal yang tidak berubah pada lingkungan ekonomi hanya satu dan satu-satunya yaitu perubahan. Suasana serbakeliru itu semakin parah setelah seorang ilmuwan ekonomi bernama Adam Smith menulis buku Wealth of Nations yang menganalisis salah satu tujuan kegiatan ekonomi yaitu kesejahteraan pribadi, kelompok, bangsa, negara bahkan kalau bisa umat manusia.

Judul lengkap buku yang ditulis Adam Smith pada 1776 ini adalah An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang merupakan telaah komprehensif perdana tentang politik ekonomi. Buku Wealth of Nations kemudian dipuja-puja menjadi semacam berhala bagi para pemimpin dan pelaku ekonomi di zaman eksplorasi yang berkembang menjadi landasan kolonialisme dan imperialisme yang kurang peduli etika dan moral.

Asas-asas sikap dan perilaku Wealth of Nations kemudian menjadi dasar paham kapitalisme yang makin mempersetankan etika apalagi moral.Angkara murka kerakusan dan keserakahan tanpa peduli nilai-nilai etika dan moral makin merajalela di kancah ekonomi di Abad XX yang kemudian memuncak dan meledak menjadi krisis ekonomi yang meledak di Amerika Serikat, lalu melanda dunia pada tahun kesembilan Abad XXI!

Semua itu akibat langkah-langkah ekonomi terutama perbankan dan moneter serbakeliru akibat tidak ada yang peduli apa yang disebut sebagai etika dan moral! Malah etika dan moral dianggap kendala dan penghalang bagi pertumbuhan ekonomi! Bahkan terasa kesan bahwa siapa ingin sukses berbisnis malah harus melanggar nilai-nilai etika dan moral yang dianggap cuma omong kosong kaum moralis belaka!

Hukum rimba adalah hukum sejati dunia bisnis dengan pemahaman (keliru!) atas slogan Darwinisme: the survival of the fittest! Keserakahan menjadi dewa bisnis yang paling dipuja-puja! Mereka yang sibuk beretika dan bermoral malah dicemooh sebagai kaum pecundang yang pasti akan punah dilahap angkara murka mereka yang berbisnis tanpa peduli etika dan moral alias akhlak!

Wealth of Nations memang komprehensif menganalisis kesejahteraan ekonomi, namun tidak banyak yang tahu bahwa tujuh tahun sebelumnya Adam Smith sudah menuangkan falsafah etika dan moral ekonomi ke dalam buku berjudul The Theory of Moral Sentiments.

Sebenarnya buku ini malah lebih layak dipuja sebagai kitab suci ekonomi sebab benarbenar berikhtiar menyadarkan bahwa sikap dan perilaku ekonomi sebagai bagian peradaban manusia beradab harus dilaksanakan secara beradab pula, yakni dengan kendali etika dan moral.

Sikap dan perilaku ekonomi tanpa etika dan moral lebih merupakan bentuk perbiadaban ketimbang peradaban, maka lambat tapi pasti akan menyeret umat manusia ke alam prahara ekonomi seperti terbukti terjadi di Asia pada akhir abad XX, dan memuncak di perbankan dan moneter Amerika Serikat yang kemudian melanda seluruh dunia pada tahun kesembilan abad XXI!

Semua malapetaka ekonomi itu terjadi sebagai bentuk kualatisme akibat kekeliruan-kekeliruan para pemimpin dan pelaku ekonomi dalam tidak menghayati dan tidak menjabarkan ajaran-ajaran akhlak ekonomi seperti yang tertera di buku The Theory of Moral Sentiments ! (*)

JAYA SUPRANA

0 komentar: