Oleh: Maya Susiani
KASUS perdagangan manusia (trafficking) terus menguras mata batin dan nurani kita. Sungguh sedih saat membaca berita terbongkarnya kasus perdagangan manusia. Padahal, kasus begini umumnya merupakan fenomena gunung es. Kasus yang tidak terungkap sangat mungkin jauh lebih besar daripada yang terungkap. Sampai saat ini pun belum ada data pasti terkait besaran kasus trafficking, terutama yang menimpa perempuan di bawah umur.
Data Pusat Pelayanan Terpadu Provinsi Jatim menunjukkan, angka kasus trafficking terus meningkat. Pada 2005 tercatat 52 kasus. Angka itu melonjak drastis menjadi 147 kasus pada 2006, meningkat lagi menjadi 166 kasus pada 2007. Pada 2008, hingga Juni sudah terdapat 85 kasus.
Secara nasional, sebagai gambaran saja, laporan konferensi ILO-IPEC 2001 mencatat ada sekitar 1,4 juta pembantu rumah tangga (PRT) di Indonesia. Dari angka tersebut, 23 persen adalah anak-anak. Data Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) menyebutkan, pada 1998 diprediksi ada 130 ribu-240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia, dan 30 persen di antaranya anak di bawah 18 tahun.
Data stoptrafiking.or.id yang disponsori USAID menyebutkan, hingga 2006, korban trafficking di Indonesia mencapai 41 ribu orang. Di antara jumlah tersebut, separo termasuk kategori anak-anak.
Menurut PBB, definisi trafficking adalah proses perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh izin dari orang yang memiliki wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.
Trafficking memang paling rentan menjerat anak. Korban trafficking di bawah umur terus meningkat. Banyak anak di bawah umur dijadikan PRT, pekerja seks komersial, atau menjadi objek dalam industri pornografi. Itu disebabkan kebutuhan atas pekerja anak sangat tinggi karena harganya murah dan lebih mudah diatur daripada orang dewasa.
Yang memprihatinkan, tidak sedikit pelaku trafficking merupakan keluarga anak sendiri. Dengan alasan terjerat kemiskinan, mereka menjadikan anak sebagai tumpuan hidup. Karena itu, sulit mengurai suatu kasus merupakan trafficking atau "kerelaan" karena ada anggota keluarga yang terlibat. Kadang, anak perempuan dianggap penanggung jawab ekonomi keluarga. Itu pula yang membuat perkawinan pada usia dini sering terjadi, terutama pada masyarakat yang tinggal di perdesaan. Perkawinan usia dini dianggap strategi untuk keluar dari kemiskinan.
Anak perempuan yang tidak mau dinikahkan harus bekerja untuk perbaikan ekonomi keluarga. Dengan bekal pendidikan rendah, mereka dikorbankan menjadi barang untuk diperdagangkan. Kadang mereka dipaksa menjadi pekerja seks komersial dan menjadikan pekerjaan itu sebagai bentuk "kepahlawanan" karena menjadi tumpuan hidup keluarga.
Bahkan, saat ini banyak anak di bawah umur yang diloloskan oleh agen penyalur tenaga kerja untuk ke luar negeri menjadi TKI. Mareka harus menjalani jam kerja panjang yang seharusnya belum mampu mereka kerjakan. Banyak pula di antara mereka yang mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan majikan, bahkan oleh calo penyalur tenaga kerja itu sendiri.
Karena itu, tidak adil jika kita melihat perempuan muda korban trafficking sebagai pihak yang bersalah dan merusak norma masyarakat. Sekalipun, misalnya, mereka dijual kepada lelaki hidung belang. Mereka adalah korban yang membutuhkan teman untuk berbagi dan mengembalikan kehidupan normal mereka.
Permasalahannya, jarang ada program untuk mendampingi korban trafficking yang masih di bawah umur, termasuk perempuan muda yang dijual untuk bisnis prostitusi. Korban trafficking di bawah umur memerlukan penanganan berbeda dengan mereka yang sudah dewasa. Sebab, pikiran dan kesadaran mereka belum terbentuk secara penuh.
Seharusnya korban trafficking mendapat perlindungan hak. Misalnya, penampungan yang layak, pemulihan dari trauma, dan penyatuan kembali dengan lingkungan sosial mereka, seperti di keluarga atau sekolah.
Memang, memulihkan kehidupan normal para korban trafficking itu membutuhkan waktu lama. Adanya bekal pendidikan memungkinkan mereka berinteraksi lagi dengan sesama dan menyadari bahwa merekalah yang berhak mengambil keputusan atas kehidupan mereka, bukan orang lain.
Selain itu, pemerintah perlu mempertegas hukuman bagi pelaku trafficking. Pemerintah perlu meningkatkan komitmen untuk mematuhi Konvensi Hak Anak pasal 34, yang menyatakan bahwa negara harus ikut berperan dalam melaksanakan kewajiban perlindungan, pendampingan, dan pemberdayaan terhadap korban trafficking yang masih muda. Semoga tak ada lagi kasus trafficking, kasus yang menyentak nurani kita sebagai manusia.
Maya Susiani, Periset Masalah Sosial, Tinggal di Sidoarjo
Jawa Pos, Minggu, 30 Agustus 2009
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar