Senin, 07 September 2009

Modified Cassava Flour [4]

Menghidupi Tetangga lewat Ketela
Setiap Cluster Untung Rp 3 Juta/Bulan

Mengganti terigu dengan tepung ketela. Itulah cita-cita awal Dr. Ahmad Subagio saat menggagas tepung Mocaf. Ketergantungan Indonesia terhadap tepung terigu yang hampir 100% menjadikan banyak anggaran negara tersedot ke sana. Maka seandainya 20% saja dari kebutuhan tepung terigu rakyat Indonesia dapat tergantikan oleh tepung lokal, maka 20% anggaran subsidi tepung terigu dapat dihemat. Demikian lontaran doktor alumni Osaka University Japan tersebut.


Lontaran ini memunculkan gagasan besar yaitu memproduksi tepung berbahan ketela pohon yang belakangan dikenal dengan nama Mocaf. Di luar pabriknya yang mengolah chip (potongan ketela yang telah dikeringkan) menjadi tepung, usaha Mocaf mampu menggerakkan perekonomian di berbagai desa.

Cahyo Handriadi, manager PT Bangkit Cassava Mandiri menuturkan, setidaknya setiap cluster atau perodusen chip (bahan baku tepung), memiliki 15 orang pekerja. Kelima belas orang tersebut terbagi dalam beberapa divisi kerja, seperti penimbangan, pengupasan, pemotongan, perendaman, dan pengeringan.

Dalam tahun ini ditargetkan setiap cluster mampu memroduksi dua ton chip per minggu. Untuk mencapai target itu berarti dibutuhkan ketela sekitar tujuh ton per cluster per minggu, dengan asumsi dari setiap ton ketela basah dapat dihasilkan 300 kilogram chip (rendemen 30%). Namun, hasil 30% chip dari ketela basah ini juga sangat tergantung jenis dan mutu ketela. Ketela dari daerah yang lebih tinggi, menurut Syahri, seorang pengusaha chip, lebih bagus kualitasnya dibanding ketela dari daerah dataran rendah. Jika mendapatkan ketela yang kurang bagus, maka chip yang dihasilkan biasanya tidak sampai 30%, bahkan ada yang hanya 23%.

Agar mendapatkan hasil yang optimal, setiap ketela yang datang harus segera diolah. Sebab usia kesegaran ketela hanya sekitar tiga hari setelah dipanen. Lebih dari tiga hari ketela akan mulai membusuk dan rendemen pun semakin berkurang.

Demi mengejar kesegeraan ini, sebagian besar cluster melakukan banyak aktivitas produksinya justru pada sore hingga malam hari. Sebab pedagang ketela baru datang pada sore hari. Selanjutnya dilakukan aktivitas penimbangan, pengupasan, pencucian, pemotongan, dan perendaman. Sedang aktivitas pengeringan dilakukan pada siang hari. Meski sebagian besar pekerja Syahri perempuan, jam kerja ini tidak menjadi hambatan. Sebab semua pekerja Syahri adalah tetangga yang tinggal di sekitar rumahnya.

Menurut Cahyo, dengan harga beli ketela segar Rp 500 per kilogram, dan harga chip Rp 2350 per kilogram, setiap cluster dapat memperoleh penghasilan bersih Rp 3 juta per bulan. Modal untuk usaha ini pun relatif tidak terlalu besar, terutama bagi warga Kabupaten Trenggalek. Sebab Pemerintah Daerah menyediakan bantuan bagi para cluster berupa alat pemotong ketela (slicer) seharga Rp 6 juta.

Selain alat potong tersebut, piranti utama yang dibutuhkan dalam usaha ini adalah bak pencucian dan perendaman, serta lahan untuk pengeringan atau penjemuran. Untuk penjemuran ini, Syahri menyewa lahan tetangganya karena ia tak memiliki cukup lahan.[am]

0 komentar: