Harapan Baru Petani Ketela
Tepung berbahan baku singkong, seperti tepung tapioka dan tepung gaplek sudah dikenal orang sejak lama. Dua macam tepung ini merupakan olahan lebih lanjut dari singkong yang bertujuan mengawetkan serta memberi nilai lebih. Meski tujuan pengawetannya tercapai, tetapi kedua jenis tepung tersebut tidak dikonsumsi masyarakat dalam jumlah besar.
Karakter kedua tepung yang sangat spesifik menjadikan pemanfaatannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sangat terbatas. Misalnya tepung tapioka yang jika dicampur air dan dipanaskan menjadi lengket, biasanya hanya menjadi tambahan bahan lain untuk menghasilkan adonan dengan sifat tertentu. Begitu juga tepung gaplek. Masyarakat biasanya menjadikan tepung ini sebagai tambahan bahan lain, seperti tepung terigu, karena aroma dan rasanya yang langu.
Dua macam turunan tersebut ternyata belum mampu melepaskan ketela dari stigma ’’komoditas pinggiran’’. Akibatnya harga ketela tak pernah beranjak, sekalipun harga kebutuhan lain termasuk jenis makanan pokok yang lain terus merambat naik. Bahkan, pada saat ketela banyak dicari orang untuk berbagai bahan baku industri harga komoditas tersebut tidak mengalami peningkatan. Padahal, dengan ditemukannya beragam kandungan dalam ketela yang dibutuhkan oleh industri, kebutuhan industri akan ketela mengalami peningkatan. Terlebih ketika terjadi krisis bahan bakar fosil dan energi alternatif mulai mendapat angin segar untuk dikembangkan di negeri ini.
Tetapi, rendahnya harga ketela di tingkat petani, mengakibatkan petani ketela (petani di daerah kering, tak terjangkau saluran irigasi) tak dapat menikmati keuntungan yang dicecap oleh pihak yang mengembangkan produk berbahan ketela. Akibatnya tingkat kesejahteraan mereka pun tidak pernah beranjak. Bahkan, cenderung semakin menurun akibat terus melonjaknya harga kebutuhan dasar.
Meski demikian, sebagian besar petani ini tetap bertahan dengan ketela. Hal ini disebabkan ketela adalah jenis tanaman yang mudah tumbuh, di daerah kering sekalipun. Maka sekalipun harga dua puluh kilogram ketela hanya setara dengan harga satu kilogram beras, ketela tetap menjadi tanaman andalan. Petani di Kabupaten Trenggalek, sebuah kabupaten di bagian barat-selatan Jawa Timur, menghadapi kondisi serupa. Dengan 70% wilayah yang merupakan pegunungan kapur, ketela merupakan komoditas melimpah di kabupaten ini.
Kondisi demikian membuat Mulyono Ibrahim, seorang tokoh muda Trenggalek, merasa gelisah. Sebagai seorang penggerak masyarakat, ia merasa terpanggil melakukan sesuatu untuk perbaikan kondisi masyarakat khususnya di wilayah Trenggalek. Kegelisahaan tersebut pada tahun 2005 mendapatkan pelepasan saat bertemu dengan Dr. Ahmad Subagio, dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember yang memaparkan tentang Modified Cassava Flour (Mocaf) dalam sebuah seminar pangan. Doktor lulusan Osaka University Japan ini melalui penelitiannya menemukan enzym yang mampu menghilangkan aroma dan rasa langu pada ketela.
Bersama Cahyo Handriadi dan Dr. Subagio, Mulyono kemudian melahirkan gagasan pengembangan tepung ketela modifikasi atau yang dikenal dengan Mocaf di Desa Kerjo, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek.[am]
Sumber: di sini
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar