Oleh: Eitjeh
Minggu lalu, nasib mujur saya bisa menonton 2 episode antologi film dokumenter ‘Pertaruhan’ sekalian bertemu dengan salah satu sutradaranya, Ani Ema Susanti. Film hasil produksi Kalyana Shira Foundation yang sebetulnya terdiri dari beberapa episode itu mencoba memotret otonomi yang dimiliki oleh perempuan-perempuan Indonesia. Ia bicara soal Lesbianisme, Virginitas, sunat pada perempuan, dan prostitusi.
Waktu terlalu sempit untuk bisa menonton semua, tapi satu cerita yang sempat saya lihat itu kemudian menggiring saya untuk coba melihat fenomena lesbian di kalangan kawan-kawan BMI Hong Kong. Petikan cerita itu mengisahkan ‘Ryan’, BMI Hong Kong yang menjalin hubungan dengan kekasih perempuannya di Hong Kong, penulis dan sutradaranya, Ani adalah mantan BMI Hong Kong.
Ryan, Riyanti, di dalam film itu berpenampilan tomboy, mencoba menjadi laki-laki dengan mengubah penampilannya untuk tidak terlihat seperti perempuan. Rambut cepak, kemeja lengan pendek, jeans gombrong, topi, tanpa make up. Ia mengambil peran sebagai laki-laki. Ia yang aktif ‘mengencani’ kekasih perempuannya. Sementara kekasihnya bersikap ‘girly’, malu-malu, cenderung pasif dan enggan untuk berkasih-kasihan di depan kamera. Ryan mengatakan bahwa bos di mana ia bekerja tahu kalau dia suka sama perempuan. Bagi bosnya, yang paling penting kerjaan dia beres, apa-apa yang dikerjakannya di luar itu tidak membuat mereka pusing. Ryan yang memiliki anak seorang di Tanah Air sempat kawin dan kemudian bercerai sebelum memutuskan untuk bekerja ke Hong Kong.
Seorang kawan seusai menonton film itu kemudian melemparkan pertanyaan “Dengan mengubah diri menjadi laki-laki, apa untungnya dalam feminisme?” Ya, begitu pertanyaannya, karena kebetulan dalam diskusi setelah pemutaran film itu kemudian dijelaskan oleh produser film itu bahwa film itu berupaya ‘mengangkat’ isu feminisme.
Saya jadi ingat perbincangan dengan kawan-kawan saya yang lain, di luar kawan-kawan migran, yang mencoba membuat saya bercerita tentang kehidupan lesbian kawan-kawan BMI Hong Kong. Saya diminta bercerita bagaimana sih sebenarnya kehidupan kawan-kawan yang memutuskan untuk ‘bercinta’ dengan sesama kawan perempuan. Tentu saja ‘bercinta’ yang mereka ingin ketahui. Karena setelah pertanyaan-pertanyaan balik saya kepada mereka, yang saya dapatkan adalah rasa ingin tahu dalam hal satu itu; seks.
Mungkin sebenarnya banyak hal bisa diceritakan dalam kehidupan kawan-kawan lesbian di Hong Kong, dengan memotret dari sisi-sisi latar belakang menjadi lesbian, mungkin. Hanya saja, sampai dengan hari ini, saya masih sering menjawab pertanyaan yang menyangkut hal itu dengan ‘cuma gejala fenomena budaya’. Ia belum bisa dibicarakan dengan adil selama, ternyata kawan-kawan yang kemudian memutuskan menjadi lesbian di Hong Kong masih berperan untuk menjadi laki-laki. Masih belum bisa membicarakannya kalau ternyata memang benar pertanyaan soal ‘impact’ yang timbul dari gejala lesbianisme itu tidak memiliki andil dalam mengubah persepsi orang tentang perempuan lesbian.
Ya begitu, lesbian di kawan-kawan Hong Kong belum menyumbang apa-apa pada kenyataan bahwa misalnya, pernikahan sejenis masih tidak diakui oleh pemerintah Hong Kong. Seperti kata Ryan, ia menjalani saja apa yang bisa dijalani hari ini, nanti kalau sudah pulang ya tidak lagi berlaku seperti ketika di Hong Kong.
Dengan mengubah diri menjadi laki-laki sebenarnya perempuan yang lesbian itusedang tidak menjadi perempuan, ia tidak dalam situasi yang otonom atas dirinya sendiri, haha tapi masih dalam otoritas laki-laki. Untungnya, ini hanya gejala ‘fenomena budaya’ saja.[]
Sumber: Eitjeh
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar