Momentum peringatan Hari Buruh Sedunia kali ini (1 Mei) bersamaan dengan kesibukan kalangan elit politik untuk menggalang kekuatan (berkoalisi) demi meraih kursi kekuasaan. Kalau ditarik benang merahnya, seharusnya kekuasaan yang diperebutkan itu adalah kekuasaan yang bermakna sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat, termasuk di antaranya kaum buruh. Ya buruh di bidang industri barang atau jasa, termasuk buruh di wilayah domestik.
Tetapi, rasanya benang merah itu tak begitu nyambung. Lihatlah, rakyat kini punya agendanya sendiri, mengevaluasi dan merevisi anggaran rumahtangga berkaitan dengan musim tahun ajaran baru. Kebutuhan untuk menyekolahkan anak-anak makin meningkat, harga-harga kebutuhan pokok terus melambung, sedangkan upah kerja, gaji, atau apapunlah namanya, naik pun tak sebanding dengan laju inflasi.
Lalu, kalau ada usulan agar upah buruh dinaikkan, para pemilik perusahaan dan pejabat di tanahair, biasannya melontarkan kata-kata sakti begini, ’’Oke, perusahaan menaikkan upah buruh. Sedangkan perekoniomian dunia mengalami krisis seperti ini. Pasar pun lesu. Kalau perusahaan bangkrut, siapa yang bakal kehilangan pekerjaan? Maka, pilih mana: menahan diri untuk tidak naik gaji ataukah kehilangan pekerjaan itu sendiri?’’
Buruh, selama ini tampak selalu dikalahkan, baik oleh sistem maupun oleh keadaannya sendiri. Pertumbuhan jumlah pengangguran juga tampak tak sebanding dengan ketersediaan/lowongan pekerjaan. Karena itulah, dari keadaannya saja, nilai tawar buruh kita (nanti dululah bicara soal kualitas) memang rendah.
Di seberang sana ada negara lain yang menyediakan lowongan kerja. Dan berbondong-bondonglah tenaga kerja asal Indonesia itu ke luar negri. Urusan perlindungan, keselamatan kerja di luar negri pun menjadi perkara besar. Jangankan yang di luar negri, yang di dalam negri saja masih juga berhadapan dengan persoalan serupa. Banyak pula cerita tentang buruh yang selamat selama bekerja di luar negri, ternyata malah tidak selamat ketika pulang ke tanahair sendiri. Ada yang dibius di perjalanan, digendam ketika keluar dari pintu bandara, dan berbagai cerita sedih lainnya. Itu soal perlindungan, terutama menyangkut keselamatan jasmani.
Sekarang soal lain, masih mengenai buruh yang dengan gagah-berani meninggalkan tanahairnya sendiri untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang lebih sepadan di luar negri. Untuk mereka, pemerintah telah memiliki istilah bernada memuji: ’’pahlawan devisa.’’ Mereka adalah berjasa dua kali kepada pemerintah. Pertama, dengan sukarela mengurangi panjangnya antrean pencari kerja di dalam negri. Kedua, mendatangkan devisa bagi negaranya. Pertanyaannya sekarang adalah: bagaimanakah para ’pahlawan’ itu diperlakukan, sejak keberangkatan hingga kepulangan mereka ke tanahairnya sendiri?
Ketika berangkat, pemerintah seolah membiarkan pungutan yang terlalu tinggi dibebankan kepada mereka. Ada ongkos pelatihan, pemeriksaan kesehatan, pengurusan surat-surat, pembelian tiket pesawat dan lain-lain yang angkanya di atas harga normal. Mengurus paspor misalnya, bukankah ketika pengurusan dilakukan secara kolektif ongkosnya bisa ditekan agar lebih murah daripada diurus yang bersangkutan sendiri-sendiri? Mengapa justru jadi lebih mahal? Pun kadang jadi hampir dua kali lipat ongkos normalnya?
Begitu mahalnya ongkos untuk bisa berangkat mencari pekerjaan di luar negri, secara resmi, dan salah satu akibatnya adalah diambilnya pilihan: berangkat secara ilegal. Secara tidak resmi. Selama ini, pemerintah, terkesan hanya mau menyalahkan mereka yang berangkat ke luar negri secara ilegal, dan tidak mau menelusuri mengapa pilihan itu diambil.
Kalau ongkos ke luar negri dipermurah, siapa yang mau nomboki? Apakah memang harus sampai nomboki? Atau, kalaulah harus nomboki, apakah itu dianggap tidak bermanfaat untuk mengentaskan berjuta-juta rakyat, warga negara, yang di negri sendiri tidak mendapatkan pekerjaan, tidak mendapatkan kesejahteraan sebagaimana ’dijanjikan’ oleh UUD 45 itu?
Ketika pulang pun jaminan keselamatan bagi buruh asal Indonesia yang bekerja di luar negri itu masih jadi pertanyaan besar. Banyak cerita, ’’pahlawan devisa’’ yang hingga kini masih saja dibuat kesal di bandara. Terutama di bandara Soekarno-Hatta di bagian yang dulu lebih populer dengan sebutan Terminal Tiga itu.
Yang tak kalah pentingnya pula sebenarnya adalah kesiapan Pemerintah Kabupaten/Kota menyambut kedatangan para warganya yang di luar negri bekerja sebagai buruh. Sudahkah ada Pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki program nyata untuk memberdayakan mantan BMI dengan modal yang mereka bawa dari luar negri? Itulah pertanyaan kita. [Bonari Nabonenar]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar