Tampaknya tak banyak orang yang punya sikap dan tindakan cinta lingkungan seperti pria asal Lombok, Nusa Tenggara Barat ini. Zainuddin, begitulah nama pria yang biasanya disapa dengan: ’’Pak Haji,’’ ini. Ia menangkarkan penyu dengan niat tidak mengejar untung. Padahal, jika mau, bukan tidakmungkin usaha ini dikembangkan sebagai usaha yang mendatangkan keuntungan ganda: kepuasan batin dan keuntungan materi.
Penyu alias kura-kura tergolong jenis binatang yang dilindungi di Indonesia. Sayangnya, daging penyu hingga saat ini masih menjadi salah satu menu favorit yang lezat terutama untuk menu hotel-hotel berkelas. Di Bali dan Lombok, jutaan penyu setiap tahun ditangkap dan dijadikan makanan mewah. Akibatnya, jumlah penyu di alam bebas terus berkurang, bahkan beberapa spesies mulai punah.
H Zainuddin, pria asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, sangat peduli dengan keberadaan penyu. Pria yang akrab dipanggil Pak Haji ini berupaya mengembangbiakkan penyu dengan membangun penangkaran penyu di Pulau Gili Trawangan, Lombok.
Disini, Zainuddin membangun pengeraman penyu [hatchery], penetasan, dan pengembangan penyu hingga dewasa.
’’Bagi saya penyu adalah harta yang paling tak bernilai yang diberikan Allah pada kita. Karena setiap bagian tubuh penyu bisa dimanfaatkan. Untuk itu tak ada salahnya saya mencoba mencintai apa yang diberikan Tuhan dengan mengembangbiakkan penyu,’’ ungkap Zainuddin.
Tahun 2001lalu, Zainuddin mengunjungi usaha penginapannya di Pulau Gili Trawangan. Ketika malam tiba, Zainuddin berjalan-jalan ke pantai. Ternyata ia melihat seekor penyu dengan susah-payah mencapai daratan untuk bertelur. Hal ini kemudian ia biarkan. Keesokan harinya alangkah kagetnya saat ia kembali melihat tempat bertelurnya penyu, telur-telur tersebut sudah raib. Ia pun bertanya-tanya pada penduduk sekitar, dan menemukan bahwa telur-telur penyu tersebut diambil oleh penduduk kampung untuk dikonsumsi.
Zainuddin lalu membeli telur-telur tersebut seharga Rp 100 ribu dan membawanya pulang ke penginapan miliknya. Di samping penginapan ini, Zainuddin menggali pasir dan meletakkan telur penyu tersebut. Seminggu kemudian menetas. Zainuddin menyatakan kebahagiaannya karena bisa membantu menetaskan telur penyu. Penyu-penyu kecil kemudian diletakkannya di bak penampungan sampai enam bulan, kemudian penyu-penyu dilepaskan ke laut.
’’Mengapa pelepasan penyu setelah enam bulan, karena pada umur itulah penyu kecil [tokey] siap hidup di alam bebas. Saya pernah mencoba melepaskan penyu saat usianya 3 bulan. Ternyata beberapa hari kemudian banyak yang mati,’’ ulasnya.
Rp 1 Juta/Bulan
Kini, setiap bulan Zainuddin mengeluarkan dana sekitar Rp 1 juta untuk membeli telur penyu hingga menetaskan dan memberi makan.
Beberapa spesies penyu bisa didapatkan di penangkaran milik Zainuddin. Ada penyu hijau [green turtle], penyu akong, penyu sirip ikan, dan masih banyak lagi.
Zainuddin juga tak rela bila ada orang-orang yang ingin membeli penyu-penyu miliknya untuk dikonsumsi. ’’Kalau dipelihara nggak apa-apa. Tapi kalau untuk di makan, saya nggak mau,’’ tegasnya.
Ia berharap, pusat penangkaran penyu miliknya bisa berkembang dan dilirik pemerintah. Karena apa yang dilakoni Zainuddin ini benar-benar usaha nonprofit namun membutuhkan dana yang tak sedikit. [DEWI]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar