Minggu, 02 Maret 2008

SYAIR JIWA

Cerpen Eni Kusuma W

’’Ajari aku malam pertama,’’ kataku sembari menatap wajah Arie. Pria terkasih itu. Entahlah, seperti biasa dia hanya diam membisu, tanpa reaksi. Bahkan ketika kulucuti semua pakaianku di hadapannya. Dia tersenyum. Dan batinku menangis ’’Aku sudah dewasa Arie, lihat dadaku dan lihat kemaluanku juga.’’



Kali ini pun begitu. Aku menarik-narik tangannya. Menarik-narik resleting celana jinsnya. Tapi aneh, kini dia membiarkan jemariku. Sehingga aku dengan leluasa bisa membuka dan melihat sesuatu di sana. Oh, inilah dia!

’’Aku ingin merasakannya,’’ kataku memohon.

’’Ouhh...’’ dia melenguh panjang.

’’Ajari aku...’’ aku tetap memaksa.

’’Tidak bisa, karena kau belum siap,’’ jawabnya sambil merapikan kembali celananya.

’’Aku sudah siap!’’ kataku sambil memerlihatkan tubuh telanjangku. Dia mengangkat tubuhku dan membaringkannya ke ranjang. Aku beringsut kesal dan membelakanginya. ’’Aku akan membacakan beberapa syair untukmu, Adik Manis.’’

Oh!

seekor merpati datang kepadamu
menanggung rindu
melapor kepadamu dengan hati pilu
sesuatu yang begitu kau ingin tahu
tapi tak kan kuberikan karena kau belum menjadi milikku

’’Aku sudah mau menjadi milikmu,’’ aku menjawab syairnya dengan suara agak keras.

’’Setahun lagi, setelah kau lulus,’’ sahutnya sambil mengacak-acak rambutku.

’’Gih..sekarang mandi. Abis itu kuantar kau ke sekolah dan kujemput nanti, adik manis!’’ lanjutnya.

’’Kampus, Arie! Bukan sekolah, dan aku bukan adik manis!’’ protesku.

Tapi, dengan malas kuikuti juga perintahnya. Aku bosan, tapi bukan pada Arie dan syair-syairnya.

Aku bergantung padanya. Dia yang membiayai hidupku selama ini. Ibuku yang janda itu sebelum meninggal telah menjodohkan aku dengannya. Seorang pria yang kutahu sebatang kara, dua puluh delapanan, mapan dengan gaji lumayan. Semula aku tak mau. Namun, karena merasa tak punya siapa-siapa lagi, akhirnya aku mau juga, tinggal serumah dengannya, tapi dengan kamar terpisah, di sebuah kota yang warganya seperti tak saling peduli.

Malam kembali lagi. Aku sembunyi di balik selimutku. Sungguh, kali ini aku merasakan itu. Kulihat celana dalamku basah. Apa artinya? Kuraba sejenak. Sekilas nikmat melintas. Mmmmhhhh. Aku mendesah gelisah. Aku benar-benar tersiksa. Belum pernah aku merasakan ini sebelumnya.

Aku bangkit dan berjalan ke arah kamar tidur.

’’Arie, aku tak bisa tidur malam ini.’’ Kubisikkan itu di telinganya. Kuharap dia terbangun. Tiba-tiba naluriku menyuruhku untuk meraba kemaluannya. Arie menggeliat membalikkan badannya, membelakangiku. Sepintas kudengar lenguhannya.Oh! Namun tak ada reaksi apa-apa. Aku menunduk, terisak, lalu terlelap.

aku lihat wajah-wajah itu sepintas
membuat jiwa berbinar
karena keindahan yang aku lihat

Syairnya membangunkanku. Diciumnya bibirku sekilas.

’’Tidakkah kau tahu aku menunggumu di sini?’’ tanyaku dengan nada geram.

’’Aku tahu,’’ jawabnya enteng sambil mendekapku.

’’Apakah kau tak cinta padaku sehingga kau membiarkanku tersiksa begini? Kau tak suka tubuhku?’’

wahai wajah semu merahku,
siapa yang tak ingin tubuhmu
yang hanya mau makan dari yang baik-baik
yang lebih harum dari wewangian
tentunya lebih lezat dari durian

Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Menggigit hidungku dengan mesra. Sambil membisikkan kata-kata yang tak kupahami maksudnya, ’’Aku berada dalam perjanjian dengan Rabbku.’’

Kelembutannya telah mencairkan amarahku. ’’Setahun itu lama.... Arie. Kenapa tidak sekarang saja?’’

semangat itu laksana matahari
yang menyatakan cintanya
dan purnama
yang mengukirkan huruf-huruf
dalam cahayanya
jika tiba waktunya
adakah sesuatu yang akan menghalangi kita?
bahkan Rabb pun akan tersenyum melihat kesabaran kita

’’Aku tak mau melihat matahari selain melihat sinar matamu. Aku juga tak mau rembulan menyapaku. Aku hanya ingin disapa olehmu.’’

Arie tertawa lebar tanpa suara. Dia memelukku erat-erat, seperti tak mau ia lepaskan lagi. Mungkinkah karena aku mulai bisa menjawab syair-syair indahnya? Tapi yang membuatku terpana, dia meneteskan airmata.

Setahun baru saja usai. Minggu lalu, saat aku pulang dari wisuda, ketika aku ingin memberitahukan padanya bahwa aku lulus dengan predikat sangat memuaskan, Arie pergi untuk selamanya. Aku sedih. Meraung tanpa suara. Meratap-ratap tanpa linangan airmata.

Kudengar sayup-sayup, gema syair. O, indahnya! Syair dari ayat-ayat suci yang kini mulai bisa kupahami.

kepada yang senang berjumpa dengan Rabb
maka Rabb akan lebih mencintainya

Tiba-tiba kudengar syair yang tak kutahu dari mana datangnya. Mungkin dari Arie yang kucinta. Atau dari relung hatiku yang telah tertanami jiwa Arie. Jiwa Arie Legawa, yang tak pernah lari dariku. Aku menatap langit, kulihat burung-burung melambaikan sayapnya. Arie telah banyak mengajariku.*

0 komentar: