Senin, 03 Maret 2008

MENGIKUTI SELERA SENDIRI

Lain ladang lain belalang. Itu peribahasa. Dan kita pun boleh meneruskannya dengan, ’’Lain kepala lain rambut,’’ atau, ’’ Lain orang lain selera.’’ Ya, kali ini kita bicara soal selera. Ada nasihat lama berkaitan dengan selera, kurang lebih begini: ’’Jika sampeyan membuka usaha, janganlah terlalu menuruti selera sampeyan sendiri.’’ Loh, bagaimana ini? Kok kita disuruh mengabaikan dan bahkan melawan selera sendiri ini gimana se?


Jangan keburu emosi. Itu nasihat yang bijak pula, lho! Maksudnya, kalau kita suka makan soto, jangan keburu pede (baca: penuh percaya diri) buka usaha warung soto tanpa terlebih dulu memerhatikan selera orang-orang di sekitar warung yang hendak kita buka. Siapa tahu mereka lebih suka nasi pecel, gulai, atau rawon, misalnya?

Misal pula, jika kita mau buka rumah makan di Jogjakarta, jangan mentang-mentang kita doyan pedas lalu bikin menu makanan dan khususnya sambal yang pedas-pedas (terlalu pedas, apalagi!) Kok bikin sambal tidak boleh pedas, bagaimana pula ini? Bukankah sejak Zaman Batu yang namanya sambal itu sudah pedas? Nanti dulu, jangan terlalu emosional, jangan seperti orang kepedasan gitu!

Itu sih, kalau sampeyan kepengin rumah makan yang sampeyan buka banyak didatangi pembeli. Sebab kita tahu, rata-rata orang Jogjakarta doyan masakan yang menonjol rasa manisnya dan tidak doyan pedas, apalagi yang terlalu pedas. Namanya juga rata-rata, tentu ada perkecualiannya. Tetapi, apakah sampeyan akan lebih mengharapkan hanya orang-orang yang masuk dalam kelompok perkecualian itu? Bukankah jumlahnya pasti jauh lebih sedikit daripada ’’kelompok rata-rata’’ atau ’’pada umumnya’’? Itung-itungan ini pastilah menarik untuk didiskusikan.

Artinya, sampeyan dihadapkan pada pilihan, menjaring dari kelompok yang jumlahnya kecil (segmen terbatas) atau menjaring kelompok yang lebih banyak jumlahnya (segmen luas). Hukum pasar akan mengatakan bahwa membuka usaha untuk segmen luas jauh lebih menjanjikan daripada segmen terbatas. Itu prinsip dasarnya, yang tentu saja tidaklah mutlak seperti itu untuk semua kondisi.

Kita kembali ke Jogjakarta tadi. Soal buka rumah makan. Jika kemudian kita bisa menunjukkan itung-itungan yang meyakinkan, misalnya bahwa kelompok perkecualian itu angkanya ternyata cukup besar, kita tentu berpeluang untuk ’melanggar’ hukum pasar tadi. Artinya, kita punya peluang untuk membuka usaha bagi kalangan yang lebih terbatas tanpa harus kehilangan masa depan. Angka yang besar itu, misalnya, didukung oleh kenyataan bahwa Jogjakarta, selain dihuni orang-orang asli Jogjakarta, dihuni pula oleh banyak kaum pendatang: pelajar, mahasiswa, pebisnis, dari berbagai wilayah nusantara, dan bahkan banyak pula orang asing-nya.

Peluang kita untuk membuka rumah makan ’’selera pedas’’ akan semakin besar jika di antara angka pendatang itu, misalnya, yang berasal dari Jawa Timur (yang rata-rata berselera pedas) cukup menjanjikan. Ditambah lagi, makin besar lagi peluang kita, jika kita berhasil mendapatkan fakta atau kenyataan bahwa’semua’ rumah makan yang ada di Jogjakarta ber-’selera manis’.

Maka, rumah makan ’selera pedas’ kita tentu akan segera menarik perhatian, karena ngijeni (tidak ada pesaing atau kompetitornya). Yakinlah, orang-orang berselera pedas (ada pula yang menyebutnya: selera pemberani) akan berbondong-bondong mendatangi rumah makan kita.

Nah, pada saat seperti itulah kita baru boleh bilang: ’’Menuruti selera sendiri, so what gitu loh!’’ [bn]

0 komentar: