Kamis, 12 Januari 2012

Mewadahi Naluri Dagang Siswa

--jual-beli [foto; am]

Naluri manusia untuk berdagang sebenarnya sudah mulai muncul sejak usia sangat belia. Lihat saja bagaimana anak-anak senang bermain “pasaran” dalam permainan mereka. Dengan benda-benda seadanya mereka memainkan peran sebagai pedagang dan pembeli. Ternyata aktivitas jual-beli beli pada anak ini tidak berhenti pada permainan saja. Banyak anak usia sekolah dasar yang mulai melakukan aktivitas dagang kecil-kecilan. Biasanya aktivitas ini diawali dengan ketertarikan teman sekelas atau teman mainnya terhadap benda yang dimilikinya.

Dari sinilah aktivitas dagang anak dimulai. Dalam perkembangannya tak hanya barang yang diminati oleh temannya saja yang dijajakan. Barang-barang lain mulai diperkenalkan sehingga hukum dagang di sini mulai berlaku. Bahkan sering terjadi, aktivitas ini menyedot perhatian banyak siswa, sehingga menganggu keberlangsungan proses belajar-mengajar di kelas.

Gejala semacam ini banyak ditemui di sekolah-sekolah di berbagai kota. Termasuk di SD Tumbuh, sebuah sekolah dasar inklusif yang berdiri di Yogyakarta tiga setengah tahun lalu. Berawal dari aktivitas siswa yang melakukan jual-beli di sekolah, para pendidik kemudian membuat sebuah aktivitas insidental yang diberi nama pasar anak. Aktivitas ini biasanya dilakukan pada hari Sabtu, ketika kegiatan belajar-mengajar sekolah libur. Dengan diwadahinya aktivitas jual-beli dalam pasar ini, SD Tumbuh tidak lagi memperbolehkan siswanya melakukan jual beli selain dalam forum tersebut.

Berbeda dengan aktivitas jual-beli di kelas dimana anak dapat menjual apa saja kepada teman-temannya, dalam pasar anak, para siswa dibatasi hanya boleh menjual barang-barang kreasi mereka. Sebab selain sebagai wadah pendidikan kewirausahaan, pasar anak juga dimaksudkan untuk menggali dan mengembangkan potensi siswa. Tak heran jika jenis dagangan di pasar ini seperti, lukisan, hiasan meja, kartu ucapan, origami, celengan kardus, hingga makanan dan minuman tak dapat ditemui di pasar lain.

Selain diajak menjual hasil karya, anak-anak juga dituntut untuk membuat rencana dan laporan aktivitas dagang mereka. Perencanaan dan pembuatan laporan ini melainkan diintegrasikan dalam pelajaran lain. Dengan demikian anak tak hanya bersenang-senang ikut meramaikan pasar, melainkan juga diajarkan membuatkan perhitungan agar jual-beli yang mereka lakukan dapat meraih keuntungan.

Farrel, siswa kelas III mengaku senang mengikuti pasar anak.
“Dapat 30 pelanggan,” jawabnya ketika ditanya berapa buah es lilin dagangannya yang terjual. Sementara itu Nana, orang tua murid yang anaknya tak pernah absen setiap pasar anak digelar, menuturkan bahwa aktivitas ini bagus sebagai media pendidikan kewirausahaan anak.

Selain Nana, secara umum orang tua siswa menyambut baik aktivitas ini. Dengan demikian anak tak hanya belajar teori di dalam ruang kelas saja. Lebih dari itu mereka juga diajarkan untuk menerapkan ilmu yang didapat di kelas dalam kehidupan nyata. Sekalipun setelah pasar usai, para pedagang cilik ini membagi-bagikan dagangan yang tak terjual, mereka telah belajar secara langsung tentang kaidah jual-beli, nilai mata uang, dan pergaulan dalam aktivitas yang baru saja mereka jalani. (am)

0 komentar: