Seruan untuk kembali ke alam dan menciptakan segala kegiatan yang ramah lingkungan, akhirnya sampai pula pada batik buatan warga yang berdomisili di bantaran sungai Brantas, Gresik, Jawa timur. Melalui sanggar miliknya, Anang Samsul Arifin menciptakan batik yang tak hanya berbahan pewarna dari alam semata, tapi desain motif yang ia ciptakan pun mempunyai filosofi yang diambilnya dari alam. Tak hanya itu: Anda boleh berlatih membatik secara gratis di sanggar ini.
Dijumpai Peduli pada sebuah kesempatan pelatihan batik ke sejumlah peserta di Surabaya beberapa waktu lalu, bapak dua putri ini terlihat bersemangat menularkan ilmu batik yang ia geluti sejak krismon melanda Indonesia beberapa tahun silam itu. Pria kelahiran tahun 1963 ini mengatakan kalau dulunya ia bukanlah seorang pembatik. Jauh sebelum menggeluti dunia batik ia bekerja sebagai kontraktor di Timor Timur (sebelum berpisah dari Indonesia dan berganti menjadi Timor Leste). Setelah Timor Timur lepas dari wilayah NKRI ia kembali ke Indonesia dan sempat tidak memiliki pekerjaan. Setelah memutuskan untuk tinggal di desa Wringinanom RT 01 RW 03 Kecamatan Wringin Anom kabupaten Gresik, Jatim yang merupakan tanah kelahiran sang istri mulailah pria asli Pasuruan ini timbul keinginannya untuk membuat batik. Ia pun giat belajar membatik di suatu tempat pelatihan batik yang ada di Pasuruan. Tampaknya bakat seni terpendamnya yang suka menggambar itu tersalurkan lewat media batik. Diawali dari keprihatinannya yang tinggal tak jauh dari bantaran sungai Brantas Gresik yang kala itu mulai terkena dampak pencemaran lingkungan, maka lahirlah batik yang disebutnya sebagai batik berwawasan lingkungan. ”Kami tinggal tak jauh dari pingir kali (sungai) Brantas Gresik. Istri saya asli sana, kalau saya asli Pasuruan. Di kali itu sudah tidak ada ikannya, padahal kali itu jadi sumber kehidupan warga. Saya pikir bagaimana caranya agar kali ini bisa terjaga, karena berdasarkan sejarahnya kali adalah akses ke Mojopahit, akhirnya terpikirlah untuk melestarikan kebersihan kali itu demi kepentingan bersama. Setelah bernegoisasi akhirnya saya diizinkan membuat sanggar lingkungan hidup di bantaran sungai itu. Bentuk bangunannya gedhek (anyaman bambu), listriknya menyalur dari rumah, itu untuk berlatihnya teman-teman karang taruna, warga masyarakat di lingkungan, ibu-ibu PKK dan siapa saja untuk belajar batik serta menjaga kebersihan kali itu,” tutur Anang. Sanggar itu kemudian dinamai Rumpaka Mulya. Diharapkan banyak orang yang berkumpul untuk menuju pada kemuliaan hidup melalui sanggar tersebut. Tahun 2002 Anang mengikuti lomba yang di gelar oleh Pemerintah Kota Pasuruan yakni Lomba Cipta Batik Khas Pasuruan Tingkat Jatim, dan tampil sebagai juara I lewat batik yang diberinya nama batik Puspa Candra dengan warna hijau. ”Puspa candra itu bunga Sedap Malam. Bunga ciri khasnya Pasuruan. Warnanya hijau karena Pasuruan orangnya agamis, hijau kan warna surgawi. Jadi saya pakai warna itu. Bahannya dari katun biasa,” terangnya. Dari lomba itu selain tropi ia juga berhak mengantongi uang kemenangan yang akhirnya ia bagi-bagi untuk mengelola sanggarnya. Dari lomba itu pulalah keahliannya membatik semakin terasah dan akhirnya lahirlah yang disebutnya sebagai batik berwawasan lingkungan tersebut. Saat ditanya apa yang dimaksud dengan batik berwawasan lingkungan itu, ayah Diah dan Rahma ini mengungkapkan kalau batik berwawasan lingkungan itu tidak sekedar ramah lingkungan karena menggunakan bahan pewarna dari alam saja, tapi juga memperhatikan dampak psikologis dari warna yang ditimbulkan oleh batik tersebut. ”Batik yang berwawasan lingkungan itu menurut saya bukan sekedar batik yang tidak mencemari lingkungan karena tidak menggunakan zat-zat pewarna yang mencemari lingkungan saja. Tapi, batik itu juga dari segi warnanya tidak menimbulkan dampak psikologis. Secara umum, batik itu tidak sekedar tekstil yang bermotif, tapi harus ada muatannya. Motifnya misalnya tentang lingkungan hidup. Batik yang saya pakai ini kan gambarnya ekornya ikan. Itu ada filosofinya. Ekor itu berfungsi sebagai penyeimbang, jadi bergerak terus. Hidup itu juga begitu, jangan hanya berpikir aja. Tapi harus bisa mengendalikan diri. Bergerak juga. Itu filosofinya. Kalau warna dari batik ini saya ambil dari tanaman pandan,” imbuhnya lagi. Di sanggarnya itu Anang menciptakan batik yang dinamainya Batik Loh Bandeng sebagai ciri khas batik dari daerah Gresik. Loh sendiri memiliki arti ikan dan Bandeng merupakan representatif petani Gresik yang merupakan daerah pesisir dan penghasil Bandeng. Sedangkan untuk warna-warna yang digunakan dalam desain batik buatannya itu, Anang menggunakan pewarna alam seperti warna kuning ia ambil dari nangka, merah dari mengkudu atau biji pohon kesumba, kuning kehijuan dari buah mangga. Lebih jauh, pria yang desain batiknya paling murah laku dijual dengan harga 5 juta rupiah ini mengatakan bahwa batik Indonesia sangat prospektif di luar negri. ”Sangat prospektif. Apalagi batik yang punya muatan budaya sangat kuat seperti kita ini. Kalau di Barat itu entrepreneurship tanpa budaya itu cepat mati. Luntur begitu. Di Indonesia juga lebih kuat kalau lewat budaya,” tandasnya dengan suara mantap. Bukan tanpa alasan kuat jika Anang sampai berani berkata demikian. Itu didapatnya dari pengalamannya beberapa kali berkolaborasi dengan sejumlah bule dalam membuat workshop batik. ”Saya pernah berkolaborasi dengan beberapa teman dari luar negri dalam membuat batik. Ternyata, mereka bilang kalau batik itu sesuatu yang rumit bagi mereka. Katanya batik itu very-very exclusive, Indonesia banget. Katanya kalau di Jerman, yang namanya kebudayaan itu ya gedung-gedung tua itu. Jadi kebendaan bukan aktivitas. Melihat kita menggunakan warna alam untuk batik itu mereka suka. Karena mereka berasal dari daerah yang dingin, jadi warna-warna yang mereka pakai ya warna-warna yang kalem bukan yang ngejreng kayak batik Madura dan pesisir begitu. Karena jiwanya soft jadi sukanya ya warna-warna yang kalem. Yang nggak menimbulkan efek temperamental bagi yang melihat warnanya itu,” sambungnya kemudian. Meski tanpa promosi yang gencar, nyatanya batik buatan Anang tetap diburu orang. Bahkan, batik buatannya ada yang laku seharga 17 juta rupiah. Di sanggarnya itu ia membina siapa saja yang mau belajar membatik. Tak hanya warga Gresik saja. Warga dari lain daerah yang ingin belajar batik di sanggarnya itu ia izinkan. Sejumlah mahasiswa dari berbagai daerah yang melakukan penelitian pun ia terima dengan tangan terbuka. Ia menggratiskan biaya belajar batik tersebut. Peserta yang ikut berlatih bisa membawa sendiri keperluan membatik dan langsung praktik di sanggar tersebut dari nol hingga mahir. Tak tanggung-tanggung, bahkan salah satu murid didikan Anang kini sudah ada yang tinggal di Malaysia dan bekerja sebagai dosen batik di negeri jiran itu. Kendati terbilang rumit atau sulit, tak harus menjadi orang yang pandai terlebih dahulu untuk bisa membatik. Yang diperlukan hanyalah kesungguhan hati. Di sanggarnya itu Anang mendidik mulai anak-anak karang taruna, pengamen, penggangguran, bahkan hingga orang yang sudah tidak jelas punya rumah di mana untuk belajar membuat batik agar kelak batik dapat membantu orang tersebut guna memenuhi kebutuhan ekonominya. ”Kalau menurut saya, untuk bisa membatik itu tidak harus orang yang punya latar belakang pendidikan tinggi. Tidak harus orang yang pinter banget. Batik itu alat mendidik orang yang kurang pintar, kurang cerdas menjadi punya keahlian. Jadi batik itu semacam tool art untuk menstabilkan orang. Batik itu keindahan sebuah gambar yang mempunyai pesan dan filosofinya. Jadi ada orang yang menyampaikan pesan melalui gambar,” pungkasnya. [niken anggraini]
0 komentar:
Posting Komentar