Selamat kepada para aktivis FLP-HK dan segenap pendukungnya, yang telah menggelar Festival Sastra Migran (9/5). Mereka adalah insan-insan yang tak pernah mau diam menunggu, yang selalu menyibukkan diri dalam kerja yang sangat bermanfaat, baik bagi diri dan lingkungan mereka. Dan hebatnya, mereka merasa senang sambil bercucuran keringat itu! Gerakan literasi, memperkuat diri dan lingkungan melalui sarana tulisan, dengan membaca dan menulis, sungguh merupakan perjuangan dalam damai yang, yakinlah, hasil bakal bisa dipetik di kemudian hari.
Ndilalah pula tulisan ini saya buat ketika tadi siang saya bersama beberapa penulis berbicara di depan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) –almamater saya. Senang berada di antgara mereka. Dan pertanyaan mereka pun kadang terasa lucu, kadang mengejutkan pula!
’’Benarkah kadang-kadang Anda menulis hanya untuk kesenangan, dan membiarkan tidak mendapatkan apa-apa karenanya?’’ demikian salah satu kalimat pertanyaan yang langsung diarahkan kepada saya.
’’Ya, demikianlah, jika istilah ’apa-apa’ itu kita maksudkan sebagai ’uang.’ Menulis telah menjadi ’darah’ dalam hidup saya. Karena itu, sekali lagi jika ’apa-apa’ tadi kita maksudkan adalah ’uang’ tak sedikit saya melakukan kgiatan, termasuk menulis, dan tidak hanya tidak mendapatkan apa-apa, bahkan malah ’merugi’.’’
Diam. Tidak ada protes, tidak ada komplain. Saya tahu, mereka menunggu kalimat saya selanjutnya. Maka, saya pun melanjutkan kalimat saya.
’’Saya menulis untuk banyak media. Menulis di blog, di koran, di majalah. Bahkan melayani pesanan, misal, seseorang tiba-tiba memesan sebuah puisi berbahasa Jawa untuk dibaca pada pernikahan anaknya. Ada juga pejabat yang, melalui SMS, memesan dua kuplet pantun untuk menutup pidatonya. Sesuai hukum ekonomi, mereka yang melakukan pemesanan itu biasanya memberi imbalan, uang, di atas harga rata-rata, kalau tulisan itu ada harga rata-ratanya! Sedangkan tulisan yang saya kirimkan ke media atas inisiatif saya, tentu saya hanya menunggu, apakah honornya memuaskan, sekadar bisa buat beli rokok, atau bahkan ternyata tidak ada honor!’’
’’Lho, media cetak menerima tulisan tanpa mau memberi honor?’’
’’ Anda heran? Dan itu benar-benar ada. Saya bisa memberikan alamatnya jika Anda mau!’’
Mereka semakin diam! Wah. Cerita saya tampaknya menarik, ya? Dalam hati sebenarnya saya tertawa kecil. Ini bagian yang cukup indah. Betapa tidak? Saya diundang hari itu untuk memberikan suntikan semangat kepada para mahasiswa adik kelas saya, bahwa menulis (tentunya juga: membaca) itu sedemikian bermanfaatnya bagi kehidupan kita, dan saya dengan gagah-berani mengatakan tak masalah kalau dari tulisan kita tidak dapat apa-apa, tidak dapat honor?
Tak betah berlama-lama mempermainkan perasaan mereka, maka saya pun segera meluncur ke bagian kalimat-kalimat yang tampaknya paling mereka tunggu-tunggu.
’’Benar memang, sering saya tidak mendapatkan honor atas tulisan saya yang dimuat di media cetak. Tetapi, saya tetap merasa beruntung, bukan sok beruntung, lho. Mengapa? Sebagai anggota masyarakat, dengan melakukan urun rembug melalui tulisan, saya telah mengekspresikan rasa dan pikiran saya, dan karenanya saya telah melakukan hal yang baik bagi kesehatan jasmani dan rohani saya. Apalagi kalau tulisan saya itu kemudian membuat orang lain merasa senang, merasa mendapatkan informasi baru. Bukankah keberadaan saya menjadi lebih berguna? Apakah yang lebih mewah dari perasaan suka-cita karena merasa bermanfaat seperti itu? ’Itu keuntungan nonmaterialnya.’’
’’Memang masih ada keuntungan materialnya? Bukankah ini kisah tentang tulisan yang tidak mendapatkan honor?”
’’Sabarlah. Tidak ada honor itu kan dari koran yang memuatnya. Tetapi, kalau ada pembaca yang tertarik, dan kemudian mengundang saya untuk acara diskusi dengan tema seperti yang saya tulis itu, dan saya mendapatkan honor bagus dari acara diuskusi itu, apakah itu bukan material?’’
Waduh, halamannya hampir tak cukup! Begini saja, kesimpulan akhirnya, baik dapat honor maupun tidak dapat honor pada pemuatan pertamanya, dengan menulis sesungguhnya kita sedang berinvestasi. Bukankah orang bijak bilang, ’’Jika kita melakukan kebaikan dengan niat baik, maka Tuhan akan membalas dengan kebaikan berlipat-ganda pada saat dan tempat yang tidak kita duga?’’
Nah!
*) Dipublikasikan pertama di Majalah Peduli
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar