Minggu, 11 April 2010

Menggelar Festival Sastra Buruh Migran, Mau?

’’Tolong sampaikan ide saya agar Pak Gubernur dan tokoh-tokoh Jawa Timur yang lain, syukur Pak Menteri, agar mau ngasih dukungan/sambutan pada acara yang digelar BMI-HK nanti via internet. Dari PC diproyeksikan ke screen di panggung. Ini belum pernah dilakukan oleh pejabat-pejabat kita, memanfaatkan internet untuk memantau aktivitas BMI atau sebaliknya. Saya yakin ini akan diikuti pejabat-pejabat lain. Dengan begitu, akan bisa enyelamatkan ratusan juta rupiah. Lha wong kita yang di sini ngumpulne uang receh untuk mendanai yayasan-yayasan, rumah baca, TPQ, dan kaum dhuafa di tanah air... mereka malah berbondong-bondong ngabisin uang negara utk hajat kecil. coba uang segitu buat rakyat kecil yang butuh, kan lebih bermanfaat.’’

Begitulah bunyi sebagian surat Mbak Susie Utomo (Peduli No 46) yang sangat inspiratif itu. Lalu kita teringat sebuah acara yang cukup bergaung yang pernah kita gelar 2007 di Blitar: Festival Sastra Buruh. Tahun 2008 dan 2009 sudah lewat tanpa acara yang semula digagas untuk digelar setiap tahun di bulan Mei itu.

Maka, surat Mbak Susie itu bagaikan nggugah macan turu (membangunkan singa dari tidurnya). Di dalam sarasehan istimewa yang berlangsung secara marathon dengan beropindah-pindah tempat: kamar dan lobi hotel, warung, pantai, ruang tamu, trotoar, di Trenggalek, Magetan, Madiun (6 – 8 Februari 2010) terbulatkanlah tekad untuk kembali menggelar festival itu tahun ini. Di bulan Mei nanti.

Namanya juga festival atau pesta, ia bisa digelar di mana saja. Bisa di Indonesia, bisa di Hong Kong, Taiwan. Bisa di Trengalek, atau di Kudus. Bisa di kota atau di desa yang jauh. Bisa pula digelar di pinggir laut macam di Karanggangsa itu. Bisa pula digelar secara serentak atau berurutan waktu di beberapa tempat sekaligus.

Begitu luwesnya. Kalau ada yang merasa perlu dan bisa mengundanag sastrawan BMI-HK untuk datang ke Indonesia, atau mengundang/mengajak sastrawan mantan BMI untuk unjuk karya: baca cerpen atau puisi di Hong Kong, ya silakan saja.

Ini adalah persoalan kemauan. Pemerintah boleh bilang lagi krisis keuangan, dana habis untuk pemilukada atau menyantuni korban bencana, silakan saja. Kita tidak tahu kondiosi yang sebenarnya. Karena rakyat diperbolehkan meminta (mengambil uang tabungan yang dibayarkannya melalui pajak dengan bermacam bentuknya) ya kita coba meminta. Kalau tidak diberi, apa pun alasannya, ya kita terima. Maksudnya, kita terima alasannya itu, apapun juga. Bukankah kita bukan pemalak?

Kita akan berupaya untuk, setidaknya, menginspirasi banyak orang, termasuk para pemegang kendali kebijakan dari tingkat rukun kampUng, rukun kabupaten, rukun provinsi, atau rukun negara, bahwa pertama-tama adalah niat. Adalah kemauan, dan keyakinan bahwa yang diniati, yang dimaui, adalah sesuatu yang bagus, baik, ada manfaatnya.

Festival Sastra Buruh Migran itu, di mana pun dapat digelar, dengan sederhana atau Pun dengan gegap-gempita, ia tetaplah sesuatu yang besar, adalah sebuah prestise, sebuah kebanggaan bagi kawan-kawan buruh migran di mana pun berada, bahkan bukan hanya bagi mereka yang menyukai tulisan (sebagai penikmat atau pun sebagai kreator). Sebab, istilah buruh migran itu sudah otomatis nggepyok semuanya, seperti ketika masyarakat memiliki kesan negatif terhadap BMI, padahal konon sesungguhnya kalaulah ada yang layaK dilabeli negatif itu hanya sebagian sangat kecil saja, yang ikut terkena getahnya toh juga semua BMI? Begtulah gambarannya. Dan kita berkepentingan untuk menegakkan rasa bangga kita sebagai manusia yang berkarya, apa pun bidang yang kita geluti sekarang ini.

Jadi gimana ini, menggelar Festival Sastra Buruh Migran 2010, mau? Yuukkkk……….. ya!

0 komentar: