Jumat, 16 Mei 2008

Perempuan Perkasa Pembuat Koral


Kulit wajah dan tangannya tampak jelas telah termakan usia, berkerut-kerut, keriput. Namun semua itu bukanlah halangan bagi Manijah (70) untuk bekerja sebagai pemecah batu.


Perempuan setua dia mestinya sudah tidak lagi melakukan pekerjaan berat. Tetapi, bersama dengan teman-temannya yang kebanyakan perempuan (di Dusun Pathuk, Desa Ngadimulya, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek) menekuni pekerjaan memecah batu (membuat koral). Itu pekerjaan yang lazimnya dilakukan laki-laki. Mungkin Anda kepengin nyeletuk, ’’Wah, ini emansipasi juga!’’ Tetapi, percayalah, Raden Ajeng Kartini pun tak pernah memimpikan emansipasi yang seperti ini.

Koral atau kerakal (untuk ukuran lebih kecil disebut kerikil) dibutuhkan untuk pengecoran, sebagai campuran semen dan pasir.

Untuk membuat koral diperlukan alat berupa amer (hamer) atau palu besi. Palu yang dipakai Manijah tampak sudah sangat aus saking lamanya diadu dengan batu. Dengan palu itulah Manijah meremukkan batu seukuran kepala, kadang juga seukuran kepala kerbau, menjadi kerakal atau koral.

Bayangkanlah, orang lain, perempuan lain seusia dia biasanya sudah ’pensiun’ walau tanpa uang jaminan, atau menjadi penghuni panti jompo. Memang, produktivitasnya tidak setinggi tenaga-tenaga yang lebih muda. Namun demikian, ia telah menyuguhkan pemandangan kepada kita, inilah sosok perempuana perkasa yang tak mau menyerah begitu saja di hadapan kehidupan yang keras, yang makin hari makin keras. Inilah wajah Indonesia yang lain.

’’Maklum nak tenaga saya sudah tidak kuat lagi ya paling banter sehari dapat 3 blek (kaleng, Red). Itu pun kalau batu yang mau dibelah telah ada. Karena batu-batu ini mengambillnya dari sungai dan saat ini mulai sulit untuk mengambilnya,’’ ujarnya dalam bahasa Jawa.

Dengan 3 kaleng koral, Manijah akan mendapatkan Rp 6.000 (1 kaleng dihargai Rp 2.000). Tidak banyak bukan? Tetapi Manijah tidak punya pilihan lain. Hanya menjadi penghancur batu itulah yang bisa ia lakukan dan menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Untuk hal ini, orang-orang di sekitar situ pun punya istilah yang cukup ’mengerikan’, ’’Kami orang-orang yang memakan batu.’’

’’Pekerjaan ini sudah saya jalani sejak masih muda, dan memang peluang yang ada di Pathuk ini adalah membuat koral, sebab lokasinya yang dekat dengan sungai yang banyak terdapat batu sebagai bahan baku untuk dibuat koral, serta pengerjaanya pun cukup hanya dengan modal tenaga,’’ tutur Manijah.

Perempuan yang memiliki dua orang anak yang semuanya telah berumah tangga sendiri-sendiri ini tampaknya tidak mau merepotkan kedua anaknya. ’’Selama saya masih kuat dan mampu untuk bekerja saya tidak mau merepotkan anak saya. Biarlah saya tetap seperti ini yang penting saya bisa ikhlas menjalaninya,’’ ujarnya bijak.

Selain Manijah memang ada beberapa perempuan lain di Pathuk yang juga menjadi pemecah batu. Namun, rata-rata usia mereka jauh di bawah Manijah.

Biasanya, penjualan koral yang mereka hasilkan mereka lakukan secara kolektif. Misalnya ada pembeli membawa mobil pick-up, itu memerlukan 60 kaleng koral (isi standar untuk sebuah mobil pick-up). Biasanya tidak ada satu orang yang bisa memenuhi permintaan sebanyak itu. Karena itulah mereka harus menghimpun koral mereka untuk dijual secara kolektf.

Tampak sekali bahwa kerukunan dan kebersamaan antarpembuat koral sangat terjaga. [Majalah Peduli/PURWO]

0 komentar: