Jumat, 09 Mei 2008

JENJANG KARIR SEORANG BURUH


Oleh: DR H SOEKARWO [SEKDAPROV JATIM]

Jutaan orang Indonesia menghabiskan lebih-kurang seperempat masa hidupnya untuk menempelkan pantatnya di bangku pendidikan formal untuk mendapatkan gelar sarjana. Memang ada sebagian kecil yang belajar sambil bekerja, tetapi bagian yang jauh lebih besar adalah mereka yang selama sekitar 20 tahun [TK + SD + SMP + SMU + PT = 2 + 6 + 3 + 3 + 4 = 18 tahun, itu jika lancar] hanya menempelkan pantat mereka. Begitu dinyatakan lulus sebagai sarjana mereka pun langsung menghambur ke dalam barisan amat panjang untuk dapat memasuki lowongan kerja di kantor-kantor, dan pilihan pertama mereka biasanya adalah kantor-kantor milik pemerintah. Menjadi pegawai negri. Begitulah.



Menjadi pegawai negri dirasa banyak orang sebagai ’’anugerah terindah’’, sebagai ketiban pulung, dan walau bergaji kecil, kata mereka, jaminan hari tua telah ada [karena kelak mendapatkan uang pensiun]. Maka, ketika menjadi pegawai negri, mereka merasa mapan: aman dan nyaman. Rasa aman dan rasa nyaman demikian, ternyata tak selamanya bermakna positif. Terutama, jika karena rasa aman dan nyaman itu orang lalu jadi gampang ’mengantuk’ dan bahkan gampang terlelap. Maksudnya, orang tak lagi kreatif, sebab kreativitas justru sering muncul dari kegelisahan, bukan dari kemapanan.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa menjadi pegawai negri itu kurang atau bahkan tidak baik. Barulah jadi persoalan ketika yang tumbuh di dalam pola pikir masyarakat adalah bahwa semulia-mulianya orang itu ialah jika menjadi pegawai negri. Dan, itulah yang kita saksikan sekarang. Setiap tahun sarjana baru dan sarjana lama [yang bertahun-tahun mengantri karena berulang-ulang gagal dalam penjaringan calon pegawai negri] berebut lowongan kerja di kantor-kantor atau instansi pemerintah. Tragisnya, banyak pula yang bertahun-tahun menunggu saatnya ’’ketiban pulung’’ itu sambil berpangku tangan. Artinya, mereka menumpuk sebagai pengangguran intelektual, karena tidak mau [merasa malu] jika tidak bekerja sebagai pegawai negri, atau setidak-tidaknya jadi orang kantoran. Itulah akibat pola pikir salah masyarakat kita.

Maka, banyak pula yang mempertanyakan, mengapa seolah-olah lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita sekarang ini terkesan memroduksi pengangguran intelektual. Di sinilah kualitas sejati seseorang diuji.

Kita lalu menyaksikan pula pemandangan, sekian banyak lulusan sekolah menengah yang karena menyadari posisinya lalu mau bekerja apa saja, menjadi buruh, atau berusaha mandiri dengan modal sangat kecil. Tentu saja ada yang gagal, atau mesti menempuh jalan yang sangat panjang untuk menjadi orang yang disebut sukses. Tetapi, bukankah itu masih jauh lebih baik daripada para sarjana yang merelakan berpuluh tahun hanya untuk mengantri menjadi pegawai negri, bahkan seolah baru tersadar setelah usianya dinyatakan sudah terlalu tua untuk bisa menjadi pegawai negri?

Dari Buruh ke Pengusaha

Menariknya, tak jarang pula lulusan sekolah menengah yang cepat berhasil, karena pada dasarnya memang mereka memiliki jiwa kewirausahaan yang bagus, yang bahkan makin terasah oleh keadaan. Apalagi, tidak ada peraturan yang ketat mengenai jenjang karir di dunia wirausaha. Bisa jadi, seseorang yang pada tahun lalu masih bekerja sebagai buruh, hari ini sudah memiliki buruh alias sudah jadi pengusaha. Hebatnya lagi, tak sedikit pengusaha berijasah SMA yang mempekerjakan para sarjana.

Sebagai gambaran yang nyata, seingat saya, orang nomor satu di Grup Jawa Pos, Dahlan Iskan, pada tahun 1980-an ketika Kapal Tampomas Tenggelam, ia masih bekerja sebagai wartawan yang bekerja untuk majalah Tempo. Artinya, ketika itu ia masih seorang buruh. Lalu ia mendapatkan kesempatan masuk dan membenahi Jawa Pos [masih di tahun 1980-an]. Dan Dahlan Iskan tak memerlukan banyak tahun untuk membalik keadaan Jawa Pos sebagai koran pagi yang di Surabaya saja semula berada jauh di bawah bayang-bayang koran sore Surabaya Post, menjadi koran pagi terkemuka. Kini, bahkan Jawa Pos telah menjadi koran nasional [yang terbit di Surabaya] dan memiliki ratusan anak perusahaan [itu baru yang bergerak di bidang penerbitan media cetak] yang tersebar di seluruh Indonesia.

Begitulah, karir seorang buruh yang memiliki jiwa kewirausahaan yang bagus bisa melesat sedemikian cepat. Sementara, ketika orang memutuskan untuk menjadi pegawai negri, untuk naik pangkat/golongan rata-rata perlu waktu 4 tahun. Kita bisa menghitung, jika dengan ijasah sarjana masuk menjadi pegawai negri dengan pangkat/golongan 3A, perlu secepat-cepatnya 16 tahun masa kerja untuk mencapai golongan 3D. Apalagi mereka yang masuk pegawai negri dengan ijasah SMA dan yang sederajat, yang harus memulai dari golongan 2A [perlu 16 tahun untuk sampai pada 2D], dan perlu persyaratan administratif yang cukup berat untuk kemudian memasuki golongan 3.

Tabungan dan Rencana

Begitu pula urusan gaji. Gaji pegawai negri sudah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan seorang pengusaha, ia boleh menentukan sendiri berapa gaji yang harus ia terima.

Maka, jangan pernah merasa kecil hati karena masih menjadi buruh. Tuhan telah menganugerahkan kepada kita potensi dan peluang. Apakah kita akan menyia-nyiakannya? Maka, jangan pernah berhenti belajar. Hal yang tak kalah pentingnya bagi para pekerja, terutama yang bekerja di rantau [luar negri] adalah: punya tabungan dan punya rencana.

Seberapa pun banyaknya tabungan, jika tanpa rencana kemungkinan besar hanya akan pulang ke tanah air kemudian menggerogoti diri sendiri, dan dalam tempo yang sangat singkat akan tidak punya apa-apa lagi, kembali seperti keadaan ketika dulu memutuskan berangkat bekerja di luar negri. Demikian pula, betapa pun bagusnya sebuah rencana, jika makin lama bekerja [sebagai buruh] tabungan tidak semakin bertambah, peluang terbesarnya, kelak, adalah jadi pemimpi. []

Sumber: Berita Indonesia

1 komentar:

Rie Rie mengatakan...

halah biasa...
hura kaget. Menjelang pilgub/pilcawagub kudu onani politik barang.