Peduli 10 [Februari 2007], seperti edisi sebelumnya, selain menampilkan laporan mengeni pengusaha atau pebisnis yang sukses [dengan ukuran kesuksesan yang relatif] juga menampilkan mereka yang kurang atau bahkan boleh dibilang tidak sukses. Yang sukses, antara lain, peternak lebah dengan produk utama madu, madu propolis, dan bee pollen, yang omzetnya sekitar Rp 30 juta/ bulan, dan pengusaha monte yang bisa meraup pendapatan Rp 3 juta – Rp 5 juta per hari.
Hariyono SE, peternak tawon alias lebah di Lawang, Malang, Jawa Timur, bahkan telah mendapatkan Asean Best Executive Award 2003 – 2004 dan 2005 -2006, serta Asean Best Executive Citra Award 2006. Ia memang layak mendapatkan predikat itu. Ia memang kreatif. Ia telah mendobrak tradisi dengan melakukan inovasi. Pendeknya, Hariyono adalah tokoh yang telah melakukan modernisasi dalam usaha peternakan tawon. Hebatnya lagi, ia memelajari semua itu dari sang ayah, dan terutama dari alam, sebab ijasah sarjananya pun tak ada sangkut-pautnya dengan bidang peternakan, apalagi khusus peternakan tawon. Hariyono ialah seorang sarjana akuntansi.
Inovasi
Secara tradisional, turun-temurun, para petani di kampung-kampung memelihara tawon di sebuah kotak kayu [glodhogan]. Walau mereka tahu khasiatnya, tahu mahal harganya, tetap saja mereka memelihara tawon hanya sebagai sampingan. Karena itu caranya pun sangat sederhana: membuat kotak kayu [glodhogan] dipasang di tempat tertentu [biasanya di ladang] dan membiarkannya sang tawon datang secara sukarela untuk menghuninya. Kemudian, glodhogan itu diusung ke dekat rumah atau tak jarang pula dibiarkan di tempatnya semula, dan sesekali ditengok kalau-kalau sudah bisa diundhuh [dipanen] madu dan larvanya.
Hariyono memang telah mendobrak tradisi demikian itu. Ia mengerahkan segenap konsentrasinya untuk menekuni bisnis peternakan tawon. Dan berbagai inovasi pun dilakukannya, sejak cara-cara pemeliharaan, cara memanen, dan pengolahan hasil produksinya.
Berbagi Ilmu
Ada hal lain yang tak kalah hebatnya yang dilakukan Hariyono, yakni bagaimana ia menularkan ilmu dan ketrampilannya kepada orang-orang yang tepat. Seperti ditulis Peduli, Hariyono memelihara tawonnya dengan sistem penggembalaan. Dengan truk ia membawa kotak-kotak tawonnya ke daerah-daerah yang memiliki persediaan bunga yang cukup. Kadang sampai 3 atau 6 bulan di suatu tempat, sebelum harus berpindah ke tempat lain yang jaraknya bisa beratus-ratus kilometer. Untuk melakukan perawatan dan penjagaan terhadap tawonnya di tempat penggembalaan itu Hariyono memanfaatkan tenaga-tenaga lokal. Dan kepada merekalah Hariyono menularkan ilmu [modern] memelihara tawon.
Maka, jika suatu kali Anda melintasi wilayah Pucanganak [di Jalur Trenggalek – Ponorogo, Jawa Timur] dan mendapati papan bertuliskan, ’’Jual Madu Murni,’’ tak pelak lagi, bisnis itu dikelola oleh orang yang telah belajar dari Hariyono. Tak sedikit orang yang telah mendapatkan ilmu dari Haryono, mereka tersebar di berbagai tempat di Jawa, dan bahkan juga di Bali. Sebab, di mana Hariyono menggembalakan tawonnya, di situ pulalah ia menularkan ilmunya, secara sukarela pula!
Pemberdayaan Masyarakat
Model pemberdayaan masyarakat seperti yang dilakukan oleh Haryono, dilakukan pula oleh beberapa pebisnis di bidang lain, termasuk di bidang kerajinan pembuatan aksesoris berbahan dasar monte, di Surabaya. Sayangnya, Hariyono dan beberapa pengusaha yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat di sekitarnya itu kurang mendapat perhatian pemerintah. Perhatian yang bagaimana? Tentu saja bukan perhatian seperti yang kita berikan kepada anak kecil yang sedang rewel, atau bahkan kepada fakir yang sedang kelaparan.
Bahkan, mestinya, Pemerintah mau belajar dari orang-orang kreatif bin inovatif itu, terutama dalam hal upaya pemberdayaan masyarakat. Selama ini, sejak Zaman Orde Baru, kita melihat Pemerintah menggelontor dana bantuan yang tidak sedikit untuk memberdayakan masyarakat. Sebutlah contoh, berapa banyak dana digelontor untuk program bantuan bibit [unggul] ternak kambing, sapi, kelinci, dan lain-lain. Berkali-kali bantuan bibit ternak dikirim, tetapi hampir selalu nihil hasilnya. Bantuan-bantuan itu seperti menguap begitu saja.
Jangan Mendikte
Jangan-jangan lebih banyak pengusaha yang dilahirkan oleh pengusaha-pengusaha peduli seperti Hariyono itu daripada yang dilahirkan oleh Pemerintah? Jika pun demikian, agaknya kita tidak terlalu susah untuk menuding biangnya. Seperti lazimnya program-program alias proyek yang bersifat didiktekan dari atas ke bawah, seolah-olah Pemerintah itu melihat dan mengangankan seluruh orang kampung/desa menjadi peternak kambing, menjadi peternak sapi, menjadi peternak kelinci, dan seterusnya. Padahal, kita tahu setiap orang itu lahir dengan garis tangan, bakat, dan minatnya masing-masing.
Jika mau memetik hasil yang bagus, mestinya proyek-proyek itu dilaksanakan dengan melihat secara jeli potensi-potensi yang ada di masyarakat, dan jangan dipukul rata begitu. Maka, kini saatnya kita bertanya, sudahkah Pemerintah menunjukkan kepeduliannya, misalnya, terhadap para perajin gerabah di Kecamatan Panggul, Trengalek, Jawa Timur [dilaporkan pula di Peduli 10] yang sejak berpuluh tahun bertahan di dalam ’kemiskinan’ mereka [miskin modal, dan lebih-lebih miskin kreasi]? [Bonari Nabonenar, Pimred Peduli]
Sumber: BI
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar