Menik melamun di waktu luang ketika menunggu anak asuhnya les. Tiba-tiba seorang kawan (TKW juga) menyapanya. Setelah berbasa-basi, mereka segera terlibat pembicaraan santai. Biasalah, masalah uang. Lho? Masalah bukan masalah santai, ya? Hehe.
’’Sebentar lagi saya mau pulang (maksudnya ke Indonesia, Red). Saya sudah memiliki tabungan, tetapi saya tak tahu apa yang harus saya lakukan dengan uang itu. Saya akan kembali menjadi orang yang tak punya pekerjaan, di tanah air,’’ tutur Nena --begitulah Menik menyapa perempuan muda teman bicaranya itu-- setengah mengeluh.
’’Oh, bagus itu,’’ sahut Menik, ’’ memiliki tabungan adalah kabar baik. Kamu telah menabungkan gajimu, walau mungkin tidak seluruhnya, itu adalah sebuah kebijakan sekaligus kebajikan. Tabunganmu adalah asetmu. Tetapi, jika kamu bisa mengubah asetmu menjadi pendapatan pasif atau pendapatan portofolio, itu lebih cerdik lagi. Karena asetmu itu akan menjadi aset yang menghasilkan pendapatan. Atau menurut istilah Robert T Kyosaki, kau telah menjadikan uangmu bekerja untuk kamu dan bukannya kamu yang bekerja untuk uang’’ kata Menik dengan gaya ekonom yang sedang naik daun.
’’Jelasnya seperti apa?’’ Nena tampak belum begitu mudheng.
’’Pendapatan pasif adalah pendapatan yang diperoleh bahkan ketika seseorang tidak melakukan pekerjaan secara fisik. Bisnis persewaan menghasilkan pendapatan pasif. Sedangkan pendapatan portofolio adalah jika uang yang kita miliki kita investasikan dalam aset kertas (saham, obligasi, atau reksadana). Uangmu akan ’’bekerja’’ alias mendatangkan keuntungan, bahkan ketika kita sedang tidur.’’
’’Jika begitu, bagaimana kalau aku membeli rumah lalu disewakan, untuk kos-kosan, misalnya? Sementara, saya sendiri menumpang di rumah mertua?’’
’’Itu bagus. Kamu mempunyai bangunan sekaligus sumber pendapatan yang akan terus mengucur, bahkan di saat kamu sedang menganggur.’’
’’Oh, betul juga ya, Mbak? Sementara itu, daripada menganggur, saya akan menyalurkan hobi saya bercocok tanam, syukur-syukur bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari tanaman-tanaman itu.’’
’’Itu lebih bagus lagi. Dan jangan lupa, setiap kamu mendapatkan uang tunai, dari hasil panen atau dari uang sewa rumah itu, segeralah menginvestasikannya, dalam bentuk deposito, saham, obligasi, atau reksadana.’’
’’Lah, tapi, bagaimana dengan olok-olok orang, bahwa saya miskin dan hanya bisa numpang di rumah orangtua?’’
’’Mau pilih yang mana: kaya tetapi sebenarnya miskin, atau tampak miskin, tetapi untuk kemudian menjadi kaya, atau setidaknya menjadi jauh lebih aman masa depan, termasuk masa tua kamu kelak?’’
’’Ehm….!’’
’’Jika Mbak Nena beli rumah untuk ditempati sendiri, itu akan menyedot aset, membutuhkan biaya yang tidak sedikit bahkan hanya untuk merawatnya saja. Belum lagi untuk mengisinya dengan perabotan-perabotan.’’
’’Oh, iya, ya!’’
’’Sementara itu, jika uang tabunganmu itu kamu gunakan semuanya untuk modal usaha yang menuntut kamu bekerja penuh sepanjang hari, itu akan sangat melelahkan. Memang, mau bekerja terus, sampai mati kelelahan?!’’
’’So, what…??’’
’’Sebenarnya kamu telah menemukan jawabannya, kan? Apa kamu mau memilihnya atau tidak, itu kembali ke kamu juga.’’
’’Mbak, sampeyan ini…. Ehm….?’’
’’Aku akui, aku masih terbilang miskin. Karena itu aku belum punya rencana untuk segera kembali ke Indonesia. Tabunganku pasti belum sebanyak tabunganmu. Apalagi, aku juga baru saja melek finansial. Dan aku telah membagi kemelekan itu dengan kamu. Gitu loh! Hehehe…..! [ENI KUSUMA]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar