Ada kepuasan tersendiri di benak Endang Sri Suharti sebagai pemilik Habibah Collection saat melihat anak-anak dan ABG saat ini terlihat bangga dalam busana muslimnya. Terlebih saat melihat anak-anak yang terlihat begitu ceria saat mengenakan busana muslim yang kini mulai beraneka model itu.
Jika dibadingkan dulu, baju muslim anak dewasa ini mencapai perkembangan yang sungguh jauh berbeda sekali. Baju muslim anak sekarang lebih variatif dan mengikuti zaman. Atas dasar pertimbangan ingin anak-anak suka dan bangga berbusana muslim inilah yang mendasari istri dari Achmad Basuki ini mendirikan Habibah Collection.
’’Idenya awalnya saya mendirikan Habibah ini karena saya ingin berguna buat orang lain sekalian ingin bersyiar dalam Islam. Bukannya usaha di luar bisnis baju muslim nggak bernilai ibadah ya, tapi saya merasa kalau saya membuat baju muslim anak-anak dan baju itu kemudian mereka sukai kan lebih bernilai dakwah lagi. Banyak kan anak-anak ataupun ABG yang ingin berbusana muslim yang bagus serta nggak ketinggalan zaman begitu? Itu sebabnya saya membuat Habibah Collection,’’ tutur ibu dua anak ini.
Sekalipun termotivasi mendirikan Habibah Collectio karena ingin membuat anak-anak Indonesia berbusana muslim dengan bangga namun itu bukan berarti ia punya modal yang besar untuk mendirikan usaha konveksi ini. Bisa dibilang modal awal ia mendirikan usaha ini adalah modal bonek alias bondo nekat saja. Maklum ia sendiri tidak punya latar belakang di bidang jahit menjahit. Endang baru mendalami kegiatan jahit menjahit dengan kursus menjahit disebuah lembaga busana kenamaan di Surabaya ditahun kelima berdirinya perusahaannya ini. Selain itu dari segi keuangan pun sangat tidak mendukung pula.
’’Suami saya seorang ustadz. Dia bilang gini ke saya: Kalau kamu mengharapkan dapat materi yang banyak dari saya sebagai kepala keluarga jujur saya tidak bisa memenuhi harapanmu itu. Tapi, kalau kamu mau kaya saya doakan kamu supaya kaya. Silakan kamu mengembangkan bakatmu di bidang bisnis. Asalkan kamu tidak lupa, kalau sudah kaya menyedekahkan harta yang kamu miliki itu untuk orang yang tidak mampu,’ Makanya untuk urusan zakat dan sedekah selalu suami saya yang mengurusi semuanya. Saya tidak tahu soal itu,’’ ungkap wanita kelahiran Medan 4 Juni 1970 ini memberi pemaparan panjang lebar.
Masih terekam dengan jelas dalam benak wanita yang tadinya bekerja sebagai pengajar ngaji privat anak-anak ini kalau awal ia bisa memotong baju baju anak-anak ini lantaran ia menjiplak model baju yang sudah jadi untuk mendapatkan desain dasarnya.
’’Saya beli baju anak-anak terus saya dedel baju itu. Terus saya tempelkan dedelan tadi di kain baru. Terus saya gunting kain tadi mengikuti pola tadi. Sampai saya lupa nurunin bagian lehernya, jadi waktu baju itu dijahit bagian lehernya sampai nekek gitu,’’ kenang Endang seraya tersenyum.
Tak hanya itu saja kenekatan Endang. Ketika mendirikan usaha ini pun karyawannya baru dua orang saja. Yakni, dia sendiri dan salah seorang temannya yang pernah kerja di toko busana Alib Surabaya. Usai menikah di tahun 1989, Endang yang berkuliah di fakultas ekonomi itu memang sempat bekerja sebagai guru ngaji. Tak lama kemudian temannya ada yang mengenalkannya pada ibu Nadhifah Jufri pemilik toko busana Alib. Selama 6 tahun bekerja di Alib, Endang diserahi tugas sebagai kepala toko di tempat tersebut. Hanya sesekali saja ia berinteraksi dengan bagian penjahitan kalau kebetulan ada jahitan yang tidak rapidan ia diminta mendedel dan mengantarkannya ke bagian menjahit oleh Nadhifah.
’’Alib kan toko busana. Usahanya jenis retail gitu. Jadi tidak semua barang diproduksi sendiri. Sebagian ada yang diambil dari luar, bukan konveksi. Makanya saya pun tidak bekerja di tempat itu sebagai penjahit tapi kepala toko,’’ ujar ibu dari Habibah Asma’ul Husna (17) dan Zulfikri Ilmiawan (5) ini mengisahkan.
Setelah usaha itu oleh Bu Nadhifah Jufri ditutup lantaran beliau sudah cukup umur dan diantara anak-anaknya tidak ada yang tertarik untuk meneruskan usaha tokonya itulah akhirnya Endang mencoba untuk mandiri. Pelan-pelan ilmu yang pernah diberikan oleh wanita yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri itu ia praktekkan.
’’Dulu ibu itu sering sekali mengikutkan saya pelatihan-pelatihan kewirausahaan gitu. Beliau juga berpesan supaya saya kelak bisa mendirikan usaha sendiri. Beliau selalu berpesan agar wanita itu juga belajar untuk mandiri karena kadang wanita juga sering dihadapkan pada masalah mengatasi kesulitan perekonomian keluarga, karena itulah kemandirian seorang wanita itu juga diperlukan sekali,’’ jelasnya.
Perjuangan Berat
Itu sebabnya pula yang menjadikan Nadhifah Jufri percaya dan berpesan kepada Endang kelak jika ia sudah bisa mendirikan usaha sendiri jangan lupa untuk memperkerjakan bekas karyawannya yang terpaksa berhenti kerja setelah Alib tutup. Permintaan itu dipenuhi Endang. Sejak didirikan tahun 2000 lalu, sekarang ini para karyawan Alib dulu sudah ada yang bekerja di tempat usaha Endang tersebut.
Namun, siapa yang menyangka juga kalau mendirikan Habibah Collection ini juga bukan dilalui Endang dengan jalan yang mudah. Wanita ini justru memakai istilah berdarah-darah untuk mengambarkan betapa sulitnya mendirikan usaha ini.
’’Saya dulu kalau kulakan kain itu pinjam motor tetangga gitu. Pulang dari kulakan tetangganya pada bilang, katanya pengusaha kok nggak punya kendaraan sendiri sih? Belum lagi soal kontrakan rumah. Dulunya salah satu dari dua tempat yang kami tempati untuk konveksi saat ini adalah rumah tua yang nggak laku untuk dikontrakkan gitu karena saking angkernya. Yang punya rumah menyuruh saya untuk menempati aja dulu, supaya orang tahu kalau tempat itu nggak angker buktinya ada yang mau nempati. Ya sudah, saya bersihkan tempat itu dan kami pakai untuk kegiatan jahit menjahit. Eh, setelah keliatan ada hasilnya yang punya segera menyuruh saya bayar karena alasannya nggak nyangka aja kalau rumahnya itu dijadikan tempat konveksi. Ya sudah saya bayar ajalah daripada ribut. Rumah itu saya kontrak sekalian sampai 10 tahun ke depan. Saya renovasi juga biar nggak keliatan angker,’’ papar Endang lebih jauh.
Tak berhenti sampai disitu tekanan batin yang dialami Endang, saat ia mencari penjahit pun terkadang ia pun harus belajar menahan diri agar tak marah karena kalimat bernada sumbang kembali ia dengar dari para tetangganya itu.
“Saya kan nggak pernah membajak pegawai konveksi lain. Saya itu mencari penjahitnya satu persatu. Nanyain tetangga kiri kanan ini mereka punya nggak anak atau saudara yang bisa menjahit untuk bekerja pada saya. Kalau nggak ada yang bisa menjahit nggak papa nanti akan diajari menjahit. Eh begitu dapet, penjahitnya itu bilang gini ke saya,'Mbak sampean sanggup nggak membayar gaji saya kalau saya kerja di konveksi mbak nanti?”ungkap Endang menirukan ucapan penjahitnya itu dengan nada sedih.
Beruntunglah suaminya, Ahmad Basuki tak bosan-bosannya mensupportnya untuk terus maju dan tak menyerah. Sang suami meyakinkannya kalau kemudahan itu selalu ada dibalik kesulitan. Seiring berjalannya waktu permintaan terhadap busana desainnya juga bertambah. Alhasil, karyawannya pun bertambah.Sebulan setelah konveksinya berdiri ia mulai merekrut satu persatu karyawan hingga sekarang berjumlah 120 orang.
’’Saya alhamdulilah juga banyak dapat kemudahan. Misalnya saja saat mau beli mesin jahit dan obras. Waktu itu saya belum punya uang untuk beli mesin, saya nekat ke Pasar Turi untuk bertemu penjual mesin jahit. Begitu ketemu saya bilang ke pedagangnya itu, boleh nggak saya beli mesin jahit dan obrasnya itu tapi bayarnya nanti kalau saya sudah dapet uang tagihan dari pembeli baju saya. Pedagangnya tanya rumah saya dimana, saya bilang rumah saya di Wonorejo I, setelah itu saya diizinkan membawa pulang satu mesin jahit dan satu mesin obrasnya. Begitu saja terus. Tiap bulan saya beli mesin jahit dan obras dari bapak itu dengan pembayaran kalau sudah dapat uang tagihan saya akan segera bayar mesinnya,”imbuh Endang.
Cercaan demi cercaan ia lalui dengan sabar. Bahkan ketika ibunya menyindir agar dirinya segera punya aset sendiri pun ia hadapi dengan senyuman.
’’Pokoknya cercaan para tetangga ini baru selesai ketika saya sanggup membeli rumah yang saya jadikan kantor sekarang ini. Harganya 450 juta yang saya bayar dengan mencicil. Kalau dipikir-pikir mana ada ya rumah diluar perumahan yang mau dibayar pakai cicilan? Tapi ya itulah yang terjadi. Habis ibu saya waktu itu bilang gini,'Setahuku yang namanya konveksi itu selalu ramai kok konveksimu ini sepi kayak nggak ada kegiatan gini sih? Ya karena itulah saya beli rumah ini untuk dijadikan kantor. Supaya keliatan ramai dan ada kegiatan,’’ lanjutnya.
Menjual Sendiri
Awal busana anak desainnya jadi Endang pun berjalan sendiri sebagai tenaga pemasarannya. Ia nekat membawa dua tas besar berisi 20 potong baju untuk ia edarkan ke toko-toko. Malah pernah dalam satu hari itu ia keliling di tiga kota untuk menawarkan barang daganganya tersebut usai salat subuh.
’’Saya berangkat sendiri tuh sambil bawa dua tas besar gitu. Pertama kali saya pergi ke daerah Kediri, ke toko Noro di jalan Raden Saleh. Begitu sampai sana, yang jaga toko bilang pemiliknya sedang tidur, nggak bisa menerima saya. Makanya saya disuruh pulang. Saya kembali ke Bungurasih. Di Bungurasih saya jadi berpikir unttuk pergi ke Bangil saja, mendatangi sebuah toko untuk saya titipi barang dagangan saya itu. Begitu sampai toko tersebut dagangan saya ditolak. Ya sudah saya akhirnya nekat pergi ke Madiun, ke toko Al Barkah. Sampai sana sudah sore, tokonya malah sudah mau tutup. Sampai di sana saya bilang sama yang punya, saya titip aja dulu deh, laku nggak laku nggak masalah, yang penting untuk saat ini barang ini bisa dititipkan dulu. Saya kasih kartu nama saya. Yang punya kasian sama saya karena saya bilang saya sudah keliling tiga kota tapi dagangan nggak laku juga, makanya dagangan saya boleh dititipkan di tokonya itu,’’ tutur Endang mengingat masa-masa susah ia menawarkan barang dagangannya itu dulu.
Tak disangka-sangka, barang yang dititipkannya itu laku keras hanya dalam hitungan hari. Si pemilik toko meneleponnya dan minta dibuatkan lagi. Bahkan pemilik toko Noro yang ternyata kakak dari si pemilik toko al Barkah pun sekarang ini jadi ikutan mengambil barang dari Endang. Melihat respon itu Endang pun akhirnya berani menawarkan dagangannya ke toko Sakinah yang ada di daerah Gunung Sari.
Toko itu pun akhirnya mengiklankan tokonya di sebuah tabloid dan majalah. Dan salah satu produk yang dijadikan materi iklan itu adalah baju desain Endang itu. Ternyata disinilah titik awal bisnis Endang menampakkan hasil. Sejak diiklankan di tabloid itu permintaan barang dari konveksinya mulai meningkat. Bahkan Endang langsung menerima orderan seribu potong baju muslim anak dari sebuah label busana terkenal dari Jogja sana. Sejak saat itu ia pun mulai memikirkan kelangsungan bisnisnya tersebut untuk ia beri label nama sendiri.
Ia bukan jasa pengesub barang. Ia memberi label dagangannya sesuai nama anak pertamanya. Kini, setelah delapan tahun beroperasi Endang mulai menikmati hasilnya. Kesulitan demi kesulitan yang ia hadapi dulu rasanya sudah terbayarkan dengan melihat Habibah Collection yang didirikannya dengan berdarah-darah dulu menampakkan hasil perkembangan yang positif.
’’Salah satu kunci sukses bisnis itu adalah sabar dan fokus. Setelah Habibah Collection berdiri saya itu juga berkali-kali ditipu orang. Sudah berkali-kali pekerja saya dibajak orang. Malah ada karyawan yang tadinya sebelum bekerja pada saya hanya seorang istri sopir tapi sekarang sudah punya mobil pribadi dengan cara merugikan perusahaan saya.
Sedangkan saya saja bisa beli mobilnya karena kredit dan belum lunas sampai tahun depan. Tapi ya saya hadapi semua itu dengan sabar saja. Sebagai manusia jelas saya pernah dihinggapi stres, tapi saya kembalikan semuanya pada Allah Yang Maha Mengatur Hidup kita semua. Dengan begitu saya jadi bisa fokus bekerja untuk mengembangkan Habibah Collection lagi ke depannya,’’ katanya seraya tersenyum optimis. [niken anggraini]
Nama : Habibah, Busana Muslim Anak
Alamat : Jln Wonorejo I no 86 Surabaya
Telepon : 031-5340304/031-5477682/flexy: 031-72421102/Hp:0818319479
Email:info@habibahcollection.com
Website:www.habibahcollection.com
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
-
Memasuki dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi,
cerita, dan/atau esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa,
dan
7 tahun yang lalu
1 komentar:
artikelnya inspiratif banget nih.
salam kenal.. :)
Posting Komentar