Di kalangan BMI-HK begitu banyak grup/komunitas/organisasi, baik yang berbasis online (lebih banyak melakukan interaksi melalui telepon dan/atau internet) maupun offline (lebih banyak berinteraksi dalam pertemuan langsung). Tentu ini kabar yang baik. Komunitas/organisasi adalah sejenis wadah tempat para anggotanya berinteraksi, menggalang solidaritas, saling asah dan saling asuh dalam suasana kekeluargaan yang penuh cinta-kasih. Sementara itu, di tanah air juga ada banyak komunitas yang beranggotakan buruh/mantan buruh, dengan pembidangan yang beraneka-macam. Ada yang mengkhususkan bidang advokasi, ada yang memusatkan perhatian dan kegiatan-kegiatannya pada pemberdayaan ekonomi, seni, kerajinan, pertanian termasuk di dalamnya perikanan dan peternakan, dan lain-lain.
Oleh kerena itu, seharusnya tidak muncul dari mantan perantau yang setelah berbilang bulan menetap kembali di kampung halaman keluhan bahwa mereka kesepian. Tetapi, faktanya keluhan demikian sering terdengar. Sosok yang jika hari libur bergerak nyaris bak gangsing saking banyaknya kegiatan diikuti sewaktu di HK, baik yang berorientasi sosial, rekreasi, maupun berorientasi keuntungan finansial, mendadak merasa bagaikan kepompong di kampung halaman sendiri. Syukur jika segera mendapatkan sayap dan semakin tinggi mobilitas dan jangkauannya. Jika berangsur membeku? Itulah gawatnya.
Pengalaman berorganisasi/berkomunitas di perantauan akan menjadi lebih bermakna jika kemudian dikembangkan di kampung halaman. Bisa tetap berkomunitas dengan sesama mantan pekerja migran, bisa pula merekrut teman-teman di kampung yang memiliki ketertarikan/minat pada bidang yang sama. Kata-kata yang dapat dipedomani dalam hal ini adalah: ”Sesuatu yang susah atau bahkan nyaris mustahil diraih sendirian akan dengan mudah diraih bersama-sama.”
Perihal Komunitas
Tadi sudah disebut betapa banyak grup/komunitas/organisasi yang ada dikalangan BMI-HK. Tidak perlu disebut namanya karena akan tidak adil hanya menyebut satu-dua. Bahkan, di dalam satu bidang, sebutlah bidang seni-kerajinan misalnya, ada beberapa grup Facebook-nya. Demikian pula di bidang seni-pentas, bahkan, kalau dipersempit lagi bidangnya, misalnya menjadi seni-tari, kita masih akan menemukan ’banyak’ grup/komunitas.
Sejauh saling terjadi interaksi positif antarkomunitas, tentu semakin banyak jumlah grup itu semakin baik. Namun, akan semakin baik lagi jika dibentuk forum atau semacam wadah besar yang menaungi semua grup yang sama bidang garap atau wilayahnya.
Masing-masing grup tentu dibentuk dengan latar-belakang, visi, serta misi masing-masing. Namun, jika bidang garapnya sama, misalnya sama-sama di wilayah seni tari, atau seni kerajinan, pasti ada bagian yang dapat digunakan sebagai pilar untuk mempertemukan mereka. Dan bertumpu pada pilar itulah gerakan bersama bisa semakin bertenaga, suara bersama bisa semakin keras, dan doa bersama semakin besar peluang untuk terkabulkan.
Sebuah komunitas terbentuk/dibentuk untuk satu atau beberapa tujuan. Kemungkinannya antara lain: mempererat persaudaraan antarindividu/perorangan yang memiliki ketertarikan/minat/profesi di bidang yang sama, membangun solidaritas, dan memperluas jejaring komunikasi. Semakin besar sebuah komunitas/organisasi, semakin banyak anggotanya, semakin besar pula kekuatannya, posisi tawarnya.
Dalam konteks ini, andai saja ada kemauan untuk mempersatukan grup/komunitas yang tampaknya kini masih terlepas satu saama lain itu artinya adalah: sebuah kekuatan berlipat potensial didapat dari penyatuan itu. Kekuatan itu akan makin nyata jika sudah terbangun sistem yang bagus, ada komunitas/organisasi resmi yang kokoh (memiliki akta notaris), kemudian ada interaksi/komunikasi secara institusional lintas-komunitas yang memungkinkan dijalinnya kerja sama yang baik, termasuk dengan lembaga-lembaga di pemerintahan.
Komunitas dan Pemerintah
Kegiatan BMI yang masih di luar negri atau yang sudah kembali ke kampung halaman dan merintis usaha/bisnis sendiri patut mendapatkan apresiasi lebih. Sudah banyak contoh yang terbukti mampu membalik keadaan dari sebagai pencari kerja menjadi pemberi kerja. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak hanya mengentaskan dirinyaa, melainkan juga mengentaskan banyak orang di sekitarnya. Komunitas-komunitas itu, baik yang bergerak di bidang literasi, melek baca, dan bahkan menulis, maupun yang bergerak di bidang produksi (makanan, kerajinan, busana, dll.) pasti sangatlah besar andilnya dalam mendukung gerakan pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah. Tanpa menguranagi rasa hormat pada upaya-upaya pemerintah, malahan sering terlihat apa yang dilakukan oleh BMI sendiri lebih bermakna daripada program top-down versi pemerintah.
Dalam konteks seperti itu sesungguhnya pemerintah mesti melihat dan merangkul kegiatan positif para BMI terutama yang terwadahi dalam aneka komunitas itu. Komunitas-komunitas di kalangan BMI itu sungguh berjasa dalam hal pemberdayaan searah dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Interaksi lintas organisasi termasuk dengan lembaga pemerintah dapat dibangun dengan lebih baik oleh komunitas-komunitas terdaftar secara ’resmi’ (berakta notaris). Komunitas-komunitas yang sudah terdaftar secara resmi juga memiliki peluang untuk mengaakses berbagai macam bantuan dalam bentuk jasa, barang, maupun uang segar dari pemerintah.
Berbicara tentang Indonesia tentu tidaklah lengkap sebelum menyebut keberadaan BMI (pemerintah menyebutnya sebagai: TKI Luar Negri) yang pada semester pertama 2013 ini telah mengirim remiten ke tanahair sebesar Rp36,89 triliyun! Jangan dikira sumbangan mereka hanya berbentuk uang segar. Selain itu, mereka juga mengurangi beban berat di pundak pemerintaha berupa kewajiban menyediakan lapangan kerja di dalam negri. Oleh karenanya, pemerintah bisa dipandang sebagai ’durhaka’ terhadap sang pemilik sejati kekuasaan alias rakyatnya jika tidak bersikap apresiatif dan mendukung segenap upaya positif yang dilakukan para BMI.
Lebih ’durhaka’ lagi jika setelah tak mau memandang dengan serius upaya-upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh para BMI itu lalu pemerintah lebih suka membelanjakan uang negara untuk proyek-proyek pencitraan, termasuk berbelanja iklan (melalui media cetak maupun elektronik, melalui pemasangan baliho, selebaran, termasuk temu sosialisasi, dan lain-lain), dan untuk mengimpor TKA (tenaga kerja asing) dengan gaji yang tinggi untuk pekerjaan-pekerjaan yang sesungguhnya dapat dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Lebih lucu lagi, mengimpor dan menggaji tinggi orang asing untuk bermain(-main) sepakbola di Indonesia!
Peranan Komunitas
Warga Negara itu memiliki tabungan yang dibayarkan antara lain melalui pajak, dan asset berupa kekayaan alam yang dikelola oleh pemerintah untuk (seharusnya) kesejahteraan bersama. Pemerintah memanfaatkan dana itu berdasarkan APBN/APBD yang dibuat setiap tahun. Selain proyek/program yang dibuat oleh pemerintah, masyarakat juga memiliki hak untuk memanfaatkan dana negara itu untuk kegiatan-kegiatan kolektif maupun perorangan yang kontributif terhadap program-program pemerintah di berbagai bidang. Di sinilah terbuka peluang sangat lebar bagi komunitas/organisasi masyarakat (yang berakta notaris) untuk ikut memanfaatkan dana ”tabungan bersama” itu melalui mekanisme yang sudah diatur: mengajukan proposal melalui dinas terkait.
Bukan hanya dana segar (cash money) yang berhak diminta masyarakat dari pemerintah, melainkan juga bantuan berupa barang (misal: mesin/alat produksi, bibit tanaman/hewan ternak, buku, dll.), materi pelatihan, dan lain-lain.
Masyarakat juga memiliki semacam ”tabungan bersama” di dalam perusahaan-perusahaan besar, badan usaha milik swasta maupun pemerintah. Mereka biasanya menyalurkan/membayarkan/mengembalikan ”tabungan bersama” itu ke masyarakat melalui apa yang dikenal dengan CSR (corporate social responsibility). Semakin besar KOMUNITAS (semakin banyak jumlah anggotanya), semakin rapi tata-kelolanya, semakin eksis (padat dan berkualitas agenda kegiatannya) semakin besar pula kekuatannya untuk menarik serta ikut mengelola ”tabungan bersama” itu.” [Bonari Nabonenar]