This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 05 Maret 2012

Limbah Perca Menjadi Uang

Jika anda punya tetangga penjahit ataupun pemilik konveksi, kini mulailah menjadi penadah kain limbah perca yang tak terpakai dari mereka tersebut. Dengan sedikit kesabaran dan kemauan kuat untuk menambah ketrampilan tangan anda, maka perca tadi bisa anda ubah sebagai pintu masuknya rezeki anda berikutnya.

Disambangi Peduli pada Selasa (2/2) silam, istri Koespriadi ini sedang melatih 4 orang perempuan yang ingin memperdalam aneka ketrampilan tangan yang ia buka di rumahnya di perumahan Harapan Baru, jalan Cakra no 10 Sawotratap, Gedangan-Sidorajo. Melalui rumah belajar Aisy Craft yang ada di rumahnya inilah mantan kepala sekolah TK ini memberikan pelatihan gratis bagi siapa saja yang menginginkannya.

”Siapa saja yang ingin belajar sulam benang, sulam pita, patchwork, lukis kain, aplikasi 2 domensi-3 dimensi, serta souvenir silakan datang ke rumah saya. Pelatihannya gratis. Silakan membawa peralatannya sendiri. Tapi kalau tidak ada waktu untuk membelinya bisa menggantinya dari saya,”katanya.

Pelatihan ini ia berikan secara gratis setiap Selasa-Rabu-Kamis mulai dari jam 08.00-12.00 siang. Pelatihan sengaja digratiskan lantaran ia ingin menularkan keterampilan ini ke lebih banyak orang lagi.

”Saya bingung kalau harus disuruh ngasih harga pelatihan. Jadi digratiskan saja. Soalnya keterampilan ini asal tahu caranya bisa kok, jadi kenapa harus membayar? Tapi untuk menyemangati mereka, supaya mereka rutin belajar kadang saya suka menyemangatinya sambil mengatakan kalau belajar patchwork 4 x pertemuan gratis tapi kalau lebih dari itu bayar. Padahal sebenarnya 4 x pertemuan itu sudah bisa. Kalau untuk sulam pita 2 x pertemuan gratis kalau lebih dari itu bayar. Itu hanya untuk memicu saja. Supaya mereka rutin belajarnya. Dulu saya belum punya sistem begitu, yang datang belajar jadi nggak teratur, datang sekali terus lama nggak datang-datang lagi. Begitu datang dia sudah lupa, terpaksa mulai dari awal lagi. Nah, biar tertib makanya saya katakan begitu, dan ternyata mereka malah giat berlatih karena ingin segera bisa,”terang perempuan yang aktif di yayasan sosial Sahabat Ceria Eskey ini.

Sewaktu masih aktif bekerja sebagai kepala sekolah TK beberapa tahun silam pun, kegiatan menularkan keterampilan ini sudah ia lakukan di sela-sela kesibukannya mendidik murid-muridnya. Memanfaatkan waktu luang dari para orang tua murid yang sedang menunggui putra-putrinya sekolah, lulusan psikologi salah satu universitas swasta ternama di Surabaya ini gencar memberi pelatihan kepada mereka sebagai kegiatan pengisi waktu kala itu. 





”Mungkin merasa nanggung habis nganter terus pulang dulu jadinya mereka memutuskan untuk menunggunya saja. Sebenarnya mereka itu terlihat bukan tipe ibu-ibu yang suka ngerumpi, bengong, dan ngobrol sambil menunggui anaknya, karena ada yang bawa buku bacaan pula, akhirnya mereka saya tawari belajar keterampilan membuat tas. Mereka mau dan senang sekali. Sampai suatu saat, ketika saya salat Idul Fitri di masjid terdekat dari kediaman saya ini, kok saya lihat ada jamaah salat Ied yang pakai tas seperti yang saya latihkan ke wali murid dulu ya? Waktu saya amati, saya yakin itu bukan wali murid di TK saya. Setelah saya selidiki beberapa waktu kemudian ternyata ada salah satu ibu yang ikut pelatihan saya dulu sudah dapat pesanan tas semacam itu dari teman-teman mengajinya,”akunya bahagia.


Saat Peduli bertandang di kediamannya waktu itu, bisa dilihat oleh Peduli aneka keterampilan yang dibuat ibu dua anak ini terpampang di ruang tamu hingga teras rumahnya. Mulai hiasan dinding, tas, taplak meja, sarung bantal kursi, mukena, bros, bed cover, rok, kaos, selimut bayi, korden hingga salinan lukisan perca seharga 25 juta terpajang di sana.

”Ini sebenarnya saya salin dari lukisan asli milik salah seorang pelukis wanita Indonesia yang sudah terkenal hingga ke luar negeri. Beliau punya lukisan, terus saya salin lukisan asli tadi untuk saya buat dalam bentuk hiasan dinding dengan menggunakan kain perca,” terangnya seraya menunjuk lukisan bermotif burung merak yang terpampang di ruang tamu rumahnya.

Setidaknya ada 2 lukisan asli dari pelukis ternama tersebut yang berhasil ia salin menjadi lukisan perca menyerupai hiasan dinding itu. Selain lukisan burung merak, yang satunya lagi lukisan bermotif sejumlah burung angsa merah. Dan harga keduanya mencapai puluhan juta rupiah.

”Sebenarnya, lukisan perca ini sudah menjadi hak milik dari pelukis tadi. Kalau beliau pameran di luar negeri lukisan perca ini dibawanya untuk pameran. Sudah ditawar 25 juta rupiah yang merak itu, tapi akhirnya pilih dibawa pulang sebagai koleksi pribadi. Ini harusnya ada di galeri beliau, tapi karena saya pinjam untuk menyemangati peserta ya saya panjang dulu di sini. Nanti kalau beliau mau pameran di luar negeri ya dibawa lagi,” terangnya lebih lanjut.

Sejak Kuliah
Ketika ditanya sejak kapan ia menekuni dunia kerajinan perca, ibu dari Aisyah Hukma Shabiyya Koesevi (10 tahun) dan Abdillah Irsyadi Deedat (3 tahun) ini mengaku kalau sejak duduk dibangku kuliah pada tahun 1994 silam dirinya sudah menggelutinya. Kala itu baru teman-teman kuliahnya saja yang jadi customernya.

”Sejak kuliah saya punya hoby membuat kerajinan dari kain perca. Awalnya saya buat bed cover, setelah jadi, menurut saya bed covernya lucu juga, saya tawarkan ke teman saya. Waktu zaman kuliah kan banyak teman yang menikah, saya tawarkan pada mereka kalau menikah nanti supaya pesan ke saya untuk mendesainkan kamar pengantinnya mulai dari bed cover, korden, taplak meja rias dan kain tempat duduknya, frame foto, tempat sampah, keranjang pakaian kotor semuanya dibuat senada dari bahan kain katun agar lebih exclusif dan nggak pasaran. Tinggal kombain warna saja. Sengaja pakai katun karena kalau yang warna kain mengkilat itu sudah banyak di pasaran. Malah bisa sewa di periasnya. Ini kan bukan yang produk masal. Jadi benar-benar exclusif milik pengantin itu saja,” lanjutnya.

Di tahun 1998, ada sebuah ajang pameran Women Fair yang di selenggarakan di sebuah hotel berbintang, memanfaatkan moment tersebut akhirnya perempuan yang akrab dipanggil dengan nama Vita itu langsung memberanikan diri untuk ikut pameran tersebut.



”Saya waktu itu nekat bawa kasur sendiri, saya set menyerupai kamar pengantin stand saya saat itu. Dari sana banyak dapat pesanan, karena untuk di Indonesia sendiri masih jarang. Ada seorang ibu yang beli 4 selimut untuk di kirim ke Amerika karena anaknya sedang studi di sana,” terang perempuan berjilbab ini.

Sejak itu pesanan terus mengalir pada perempuan kelahiran Surabaya, 24 Maret 1967 ini. Sembari kuliah dan bekerja sebagai tenaga pendidik TK ia terus melayani pesanan yang datang. Untuk mempermudah pesanan selesai tepat waktu, ia sengaja memperkerjakan orang lain untuk menyelesaikannya. Sementara ia hanya membuat konsep dan mengarahkan saja. Hasilnya tetap saja menguntungkan. Untuk tahun itu saja harga jualnya sudah mencapai kisaran 1 – 1,5 juta rupiah.

Otodidak
Tak banyak yang menyangka kalau keterampilan yang mendatangkan uang meski semula dikerjakan di waktu senggang ini konon dipelajarinya justru tanpa kursus. Kegemarannya membaca buku-buku keterampilan membuatnya mempelajari sendiri apa yang sudah ia baca dari buku itu. Didukung oleh kebiasaan ibundanya yang juga suka menjahit sendiri segala pernak-pernik rumah seperti sarung bantal yang ada di rumahnya, maka hoby itu pun kini malah menjadi mata pencahariannya setelah memutuskan untuk berhenti bekerja di saat putri pertamanya memasuki umur 3 tahun.



”Awalnya saya otodidak saja. Saya beli buku keterampilan, dulu buku keterampilan semacam ini belum banyak di Indonesia. Adanya baru buku-buku dari luar negeri. Jadi kalau ada teman keluar negeri saya suka titip minta dibelikan bukunya. Saya pelajari terus saya kembangkan sendiri,”imbuhnya.

Tak hanya aplikasi perca saja yang ia kembangkan, kadang untuk satu produk Vita bisa menambahkannya dengan sulam benang maupun pita, patchwork dan lukis kain pula. Dengan begitu untuk sebuah desain yang ia keluarkan benar-benar exclusif karena setiap produk yang dikeluarkannya tidak dibuat sama dengan produk yang datang berikutnya lantaran gambar maupun aplikasi yang dipakai pastinya tidak bisa sama persis. Soal harga jual produk pun tidak bisa disamakan. Sebab bahan dan detil kesulitan sebuah produk tidaklah sama. Jadi wajar jika harga produk tidak sama. Tapi ia menyarankan agar nilai jual barang sebaiknya diambil minimal 30 % dari harga produksi yang telah dikeluarkan oleh si pembuatnya.

Lebih jauh saat disinggung apa enaknnya menjadi wirausahawan seperti yang dilakukannya kini, perempuan yang gemar memberikan pelatihan ke orang kurang sejahtera di berbagai tempat ini mengatakan kalau menjadi wiarausahawan lebih banyak memberi keuntungan karena bekerja sesuai apa yang disukai oleh orang tersebut.



”Paling enak jadi wirausahawan. Pekerjaan kita sendiri yang menentukannya. Hoby kita adalah pekerjaan kita. Kalau jadi karyawan, untuk menyalurkan hoby yang kita sukai kadang baru bisa kalau ada waktu luang saja. Saat jam kerja ya kita harus kerja. Kalau wirausahawan kan tidak begitu. Hoby kita bisa menjadi pekerjaan kita. Kita bisa melakukan pekerjaan itu dengan senang. Dan itu menyenangkan, serta memacu kreativitas kita agar bisa lebih berkembang ke depan nantinya,”paparnya menutup perbincangan dengan Peduli. [niken anggraini]