This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 18 Agustus 2010

Bukan Karyawan Biasa

Siapa bilang menjadi karyawan tak bisa membuat seseorang bisa mendapatkan celah guna mendapatkan uang lebih untuk tambahan kebutuhan rumah? Coba liat saja apa yang dilakukan Hadi Isnawan ini. Sekalipun setiap hari ia bekerja sebagai karyawan percetakan milik kakak iparnya, tapi ia juga bisa mendapatkan tambahan lebih dari sekedar karyawan biasa. Suami Sarinah ini bisa dibilang sebagai sosok pekerja keras. Dari sekitar pukul 8 pagi hingga sore ia bekerja pada usaha percetakan yang didirikan oleh kakak iparnya yang terletak di dearah Kendangsari gang XI Surabaya. Di sore harinya ia mencoba mencari kerja tambahan lagi. Memang, usaha yang digelutinya masih di bidang percetakan juga, dan masih menggunakan peralatan cetak milik kakak iparnya, namun untuk usahanya yang satu ini pendapatannya masuk ke kantong pribadinya sendiri. Bukan masuk ke CV milik kakak iparnya itu.

’’Kebetulan sama kakak ipar saya nggak apa-apa memanfaatkan mesin cetak miliknya, asal kerjaan saya sudah beres dan dilakukan diluar jam kerja saya,’’ kata Hadi.

Kebetulan kakak ipar Hadi sejak delapan tahun silam, mendirikan usaha percetakan yang sejak dulu sering menerima pesanan buku dari badan pendidikan dan pelatihan milik pemerintah Provinsi Jawa Timur. Hadi yang kala itu sudah bosan menjadi pekerja bangunan di ajak kakak iparnya untuk membantunya mengelola usaha sang kakak ipar tersebut. Seiring perjalanan waktu, setelah ia menikah sekitar empat tahun silam, ia berupaya mendapatkan uang tambahan di luar pekerjaannya sebagai karyawan sang kakak ipar tersebut. Maklum saja sebagai kepala keluarga, ia harus bertangung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya.

’’Sebenarnya gaji dari kakak ipar saya lumayan juga. Tapi, kebutuhan saya semakin hari kan semakin bertambah. Apalagi sekarang ada anak yang harus minum susu setiap hari. Jadi saya harus berpikir untuk mencari tambahan,’’ katanya memberi alasan.

Untunglah ayah dari Dian Chandra Sheva Isnawan ini pandai mencari celah untuk orderan. Bila selama ini cetakan yang ia kerjakan berupa buku maka ia sekarang mencari orderan yang bukan buku.

’’Kakak saya sering terima pesanan cetakan buku dari diklat Jatim, jadi orderan ya paling banyak buku-buku pelatihan ataupun buku panduan aja. Terus saya pikir kenapa saya nggak coba membuat cetakan-cetakan lainnya? Saya bilang ke kakak ipar saya boleh nggak saya coba untuk membuat pesanan lainnya seperti kartu nama atau undangan gitu. Kata kakak ipar saya nggak apa-apa, ya sudah saya jalankan aja,’’ terang Hadi lagi.

Bergerilya

Maka, Hadi pun mulai bergerilya. Saat sang kakak ipar memintanya untuk belanja kertas untuk pesanan buku yang datang ke CV-nya, Hadi memanfaatkan moment itu untuk menanyakan pada toko tempat ia membeli kertas itu apa ia memerlukan pesanan buku untuk nota, sticker ataupun spanduk. Jika toko itu memerlukannya, maka ia menawarkan diri untuk membuatkannya. Kadang Hadi pun menyempatkan diri mengunjungi beberapa toko lainnya untuk menayakan apakah mereka mau pesan nota tau tidak. Usaha ini tak sia-sia. Pelan tapi pasti pesanan mulai berdatangan. Selain nota ataupun sticker Hadi juga mulai mencari pelanggan untuk memesan undangan pernikahan ataupun sunatan. Usaha ini juga membuahkan hasil. Hadi juga mulai menerima pesanan undangan pernikahan ataupun sunatan dari orang-orang yang ditemuinya saat belanja kebutuhan CV kakak iparnya itu.

Untuk memenuhi permintaan pelanggannya yang mana menginginkan bentuk kertas undangannya menarik kadang Hadi menyiasatinya dengan membeli kertas undangan yang sudah jadi terus dicetak di tempatnya.

’’Kalau untuk yang tinta hitam atau yang nggak pakai warna mesin cetak kakak ipar saya bisa. Tapi, kalau mintanya tinta yang warna, biasanya saya cetakan di tempat cetak lain aja,’’ terang Hadi.

Soal keuntungan besar yang bisa diraupnya dari usaha sampingan ini, menurut bapak satu anak ini tidak terlalu membuatnya terburu-buru untuk mendapatkannya. Menurutnya saat ini yang penting usaha masih bisa berjalan dengan terus, sudah menjadi hal yang disyukurinya. Soal untung besar, belum menjadi sesuatu yang ingin dikejarnya dalam waktu dekat ini. Ia sudah merasa cukup memperoleh keuntungan yang tidak terlalu besar namun orderan yang datang padanya selalu datang setiap hari.

’’Untuk undangan kadang tergantung harga kertasnya. Kadang kalau pelanggan minta undangan yang harganya sekitar Rp 2.500, itu biasanya harga kertas undangannya sekitar seribu rupiah. Keuntungan bisa dibilang nggak terlalu besar, kan nanti saya harus membelikan plastik buat sampul undangannya. Terus saya juga harus membelikan sticker buat nempel nama, terus saya juga harus setting tulisannya, beli lempengan cetakan juga. Jadi kalau dihitung-hitung keuntungan juga nggak terlalu besar,’’ terang Hadi.

Menunjukkan Hasil

Usaha yang ditekuni Hadi ini lambat-laun mulai menunjukkan hasil. Langganan-langganan yang dulu dilayani kini jadi kerap merekomendasikan saudara atau teman mereka untuk pesan undangan, nota ataupun membuat aneka brosur ke Hadi ini bila mereka ingin membuat undangan ataupun aneka keperluan tadi. Lantaran pesanan yang dilayaninya juga mulai meningkat maka waktu untuk bekerja pun mulai sedikit ekstra pula.

Kadang Hadi harus tidur mendekati jam 12 malam dan bangun menjelang subuh untuk segera menyelesaikan orderan undangan, nota ataupun brosur yang datang padanya itu. Meski lelah, pria kelahiran Blitar ini berusaha keras memenuhi permintaan pelanggannya tepat waktu. Sebab jika pelanggan kecewa atas layanannya menurutnya itu bisa jadi boomerang yang mempengaruhi orderan yang akan datang padanya dibelakang hari kelak. Itu sebabnya ia berusaha kerja tepat waktu. Rasa lelah itu terbayar sudah manakala semua orderan selesai tepat waktu dan pelanggan segera melunasi pembayaran pesanannya itu.

Kini hasil kerja sampingannya itu sedikit demi sedikit terlihat hasilnya. Uang dari kerja sampingan ini bisa dipakai Hadi sebagai tambahan membeli seekor sapi yang kini ada di rumah orang tuanya di Blitar sana. Selain itu ia juga bisa membeli sebuah sepeda motor pula meski dengan cara menyicilnya.

’’Insya Allah tiga bulan lagi cicilan sepeda motor ini habis. Ini semua berkah dari Allah. Buat saya ini patut untuk disyukuri. Karena semua kerja keras itu kalau ditekuni dengan telaten dan sabar akan membuahkan hasil yang baik,’’ ujar pria yang kini sedang menabung agar bisa membeli rumah KPR ini. [niken anggraini]

Rabu, 11 Agustus 2010

Lagi Booming Burung Cinta (Lovebird)

’’Padahal, beberapa tahun lalu ini seekor paling seratus atau dua ratus ribu,’’ komentar seorang pengunjung Pasar Burung Splendid, Kota Malang, ketika mendengar seorang penjaga kios menjawab calon pembeli yang menanyakan harga seekor lovebird, ’’Yang kacamata kepala emas sejuta…’’ Memang lagi booming. Masih ingat betapa mahal tanaman hias gelombang cinta beberapa waktu lalu, yang kini sudah nyaris tak terdengar lagi kehebohannya? Nah.

Kali ini giliran burung cinta alias love bird yang sedang booming. Cipto, seorang pegawai di lingkungan Pemkab Trenggalek, hanya karena sejak anak-anak gemar burung, membeli sepasang lovebird kacamata kepala emas (begitulah ia menyebutnya), kepada teman sekantornya. Sepasang burung itu dibelinya dengan harga pertemanan Rp 1.500.000 (satu setengah juta rupiah). Itu disebut harga pertemanan, karena, ’’Harga pasarannya sejuta rupiah per ekor, lho!’’ katanya.

Ceritanya makin menarik ketika burung yang tergolong mahal itu (harga sepasang burung itu bisa dibelikan seekor kambing peranakan etawa yang cukup besar) dibawanya ke kampung. Orang tuanya gumun gak karuan melihat burung mahal itu. Dan gemparlah seluruh keluarga ketika ternyata kandanagnya kurang brukut, ada celah yang membuat seekor di antaranya melepaskan diri dan terbang entah ke mana.

Cipto tak putus asa. Ia kembali membeli seekor lagi sebagai gantinya yang lepas itu. Dan, sekitar 7 bulan kemudian ia sudah memiliki 3 ekor lovebird, karena 5 telor dari sepasang indukan yang dipeliharanya itu hanya satu yanag menetas. Sebagai pengalaman pertama, lumayanlah. Tetapi, gara-gara temannya merajuk untuk membelinya, anakan lovebird yang baru umur 2 bulan itu, beberapa waktu lalu, dilepaskan dengan harga Rp 1 juta.

Kini, pasangan lovebird milik Cipto itu sudah bertelor lagi. Ada 6 butir telornya. Dalam 3 bulan ke depan ia sangat mungkin dengan gampang menjual anakan yang menetas dengan harga Rp 1 juta/ekor. Bayangkan, kalau punya 80-an pasang indukan seperti Ipunk, seorang penangkar lovebird yang tinggal di Jl Lesti Gg I/44 Kota Malang, yang sempat dikunjungi Peduli itu.

Ipunk Purwo Adi, biasa disapa Ipunk, beruntung karena adiknya yang bekerja di sebuah perusahaan di Surabaya, mendapat klepercayaan sang bos untuk menerima hibah/grartis beberapa pasang love bird impor berikut kandangnya. Sepasang di antaranya yang didatangkan langsung dari Belanda, bahkan pernah ditawar dengan Rp 25 juta. Wouw!

Itulah awalnya Ipunk menangkar lovebird, yakni Juni 2009. Berapa Ipunk mendapat penghasilan per bulan dari anakan yang ia jual dari hasil penangkarannya itu, ia tidak mau mengaku. Tetapi, dari sekian banyak lovebird yang dimilikinya, ia menjual anakannya dengan harga bervariasi, sesuai jenis dan warna bulunya, dari Rp 200 ribu hingga Rp 1,5 juta/ekor.

Diakui Ipunk, kini permintaan pasar sangat tinggi. Bahkan, banyak yang pesan dan ia belum bisa memenuhinya. Jenis yang harganya melambung, menurut Ipunk, adalah jenis yang sering dilombakan dan mendapatkan juara.

Walau penangkaran lovebirdnya tergolong besar, Ipunk sepertinya santai, bahkan sehari-harinya ia tampak lebih sibuk membantu istrinya yang mengelola industri rumahan: kripik tempe.

Ipunk tak mengalami kesulitan berarti dalam usahanya menangkar lovebird, karena melalui orangtuanya sejak kecil ia sudah akrap dengan pemeliharaan/penangkaran burung kenari. Orangtua Ipunk kini juga masih mengembangkan penangkaran kenarinya, bahkan mulai juga mencoba menangkarkan cucak rawa. Sepasang cucak rawa yang dibelinya Rp 30.000.000 (tiga puluih juta rupiah) itu baru menunjukkan tanda-tanda kawin. Kandangnya dilengkapi kamera CCTV, jadi bisa selalu dimoniotor tanpa mengganggu ketenteraman si burung.

’’Ya, memang ini untuk lovebird lagi booming. Ngga tahu nanti sampai kapan. Tetapi kalau cucakrawa, itu harganya sudah stabil. Sejak dulu memang burung mahal,’’ ujar Ipunk. [purwo]

Penting: "Ngincipi" di Rumah Makan Lain

Ada sebuah rumah makan prasmanan di wilayah Tulungagung, Jawa Timur. Namanya Rumah Makan Mak Nyang. Lokasinya cukup strategis karena berada pada jalur utama yang menghubungkan kota Tulung agung dengan Trenggalek, tepatnya di Bolorejo. Pemilik warung ini adalah Slamet Muryanto (42) bersama istrinya Yayuktiani (30). Pria kelahiran Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabuppaten Trenggalek ini mulai membuka usaha rumah makan sejak 2005.

Ide untuk mendirikan rumah makan prasmanan ini berawal dari pemikiran Slamet, bahwa saat ini masyarakan rata-rata melakukan kegiatan sehari-harinya dengan mobilitas tinggi maka segala sesuatunya perlu dilakukan dengan cepat. Dari pertimbangan ini maka dengan cara prasmanan pembeli bisa memilih sendiri secara praktis tanpa harus menunggu pelayanan dari pramusaji rumah makan.

Menu yang disajikan cukup beragam, ada ladha ayam, lele goreng, oseng-oseng, puyuh goreng, sayur bening, lalapan, sayur bobor daun singkong, dan sayur lodeh. Jadi pembeli tinggal pilih dan ambil sendiri sesuai seleranya.

Adapun harga cukup terjangkau, karena hitunganya bila makan di rumah makan Mak Nyang ini yang dihitung adalah lauk yang digunakan. Menurut Slamet pelanggan sudah bisa menikmati sajian yang ada dengan uang Rp 4000 sampai Rp 10.000.

Selain rumah makan Mak Nyang ini ternyata Slamet juga memiliki rumah makan Mina Rasa yang letaknya hampir berhadap hadapan dengan rumah makan Mak Nyang. Mina rasa ini merupakan cikal bakal atau pertama kalinya Slamet terjun ke usaha rumah makan.

Sedangkan di rumah makan Mina Rasa ini menyajikan menu khusus pelanggan yang gemar masakan ikan laut atupun ikan air tawar. Menu yang disajikan dalam keadaan segar bahkan pembeli bisa memilih sendiri.

Dalam menjalankan usahanya yang jelas tidak bisa ditanngani sendiri, sementara ini Slamet dibantu oleh istrinya dan 15 orang karyawan di kedua rumah makannya.

Menurut Slamet khusus Mina Rasa resikonya relatif kecil karena semua baru bisa dimasak bila pembeli sudah memesan.

Sedangkan yang menjalankan atau mengelola Mina Rasa ia serahkan pada karyawannya yang telah menjadi kepercayaannya. Namun untuk pengadaan stok bahan bakunya tetap Slamet sendiri yang melakukan.

Di Rumah makan mina rasa ini Slamet karyawan yang menangani ada 7 orang, sedangkan di Rumah Makan Mak Nyang sejumlah 8 orang. Mereka menurut penuturan Slamet diambil dari daerahnya sendiri yaitu dari Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek.

Dari kedua rumah makan yang dimiliki setiap harinya Slamet meraup omset tidak kurang dari Rp 2 juta rupiah. Namun ketika ditanya berapa laba bersihnya dengan tersenyum ia tidak mau menyebut nominalnya.

”Usaha seperti ini sebenarnya sama saja dengan usaha lainnya, seperti yang saya alami, biarpun omsetnya setiap hari cukup lumayan namun setiap akhir bulan totalannya besar juga seperti untuk gaji karyawan, disisihkan untuk sewa lokasi, untuk pembelian bahan baku, akhirnya setelah dihitung-hitung ya… memang sisanya masih ada untuk disimpan buat jaga-jaga bila ada kebutuhan yang mendadak, siapa tahu namanya usaha kan kadang rame kadang kala ada sepinya,” ujar Slamet.

Gagal PNS

Perjalanan usaha Slamet ternyata tidak semulus yang dibayangkan banyak orang.

Awalnya selepas lulus SMA 1989 ia melanjutkan kuliah di SGPLB setelah lulus ia sempat nganggur dan menarik becak sambil jualan karung, itu dijalani selama 1 tahun. Lantas tahun berikutnya ia sempat buruh pada pedagang cengkeh, namun ia hanya bertahan selama 2 tahun karena pedagangnya bangkrut.

Tahun 1993 ia merantau ke Surabaya dan bekerja sebagai loper di Pasar Genteng, ia jalani selama 4 tahun dengan jangkauan Jawa Timur dan Madura. Dari pengalaman sebagai loper tersebut menurut Slamet ternyata banyak membantu usahanya yang dijalankan sekarang.

Tahun 1997 Slamet mencoba peruntungan dengan berbekal ijazah SGPLB mendaftarkan diri menjadi PNS namun nasib tidak berpihak padanya, uang jutaan rupiah yang digunakan sebagai pelicin hilang musnah, yang awalnya ia sudah lega karena SK sudah turun namun ternyata SK tersebut ternyata palsu maka pupuslah harapannya menjadi PNS.

Sejak itu ia sampai sekarang sudah tidak tertarik menjadi PNS. Lantas mulai Tahun 2000 ia mencoba usaha sendiri. Mula-mula yang dilakukan adalah jualan ikan hias dengan menyewa stan kecil di kota Tulung Agung selama 1 tahun dengan harga sewa Rp 650.000/bulan.

Dengan modal Rp 5 juta ternyata sudah cukup lengkap untuk mengisi stannya dengan berbagai jenis ikan hias. Dengan modal pengalaman sebagai loper ternyata sangat membantu untuk menarik pembeli.

Saat itu setiap hari menurut Slamet rata-rata omsetnya Rp 300 000. cukup lumayan sebagai pemula. Kemudian terjadilah boming ikan lohan, saat itulah bagi Slamet merupakan berkah yang tak terduga keuntungan yang diperoleh setiap hari hitungannya sudah jutaan.

Dari keuntungan itu ia tanamkan juga pada usaha pembuatan aquarium yang sampai saat ini tetap dijalankan. Namun Slamet mengkhususkan pembuatan aquarium untuk kalangan menengah ke atas dengan harga Rp 2 juta sampai Rp 30 juta per unit, lengkap dengan isinya.

Sedangkan awal mulanya Slamet membuka usaha rumah makan ceritanya ketika ada ada pemilik warung makan yang berencana menjual warung beserta tanahnya, yang kebetulan berdekatan dengan rumah produksi aquariumnya, kala itu dijual seharga Rp 30 juta.

”Saat itu kebetulan saya sedang ada uang dari hasil jualan ikan hias terutama ikan lohan, dan baru saja dapat pesanan aquarium ukuran besar dari Bupati Tulungagung, kemudian saya pikir-pikir bersama istri gimana kalau kita beli saja warung itu dan kita coba dikembangkan bila berjalan syukur dan seandainya tidak, toh masih bisa digunakan untuk lokasi ikan hias karena tempatnya cukup strategis. Ya alhamdulillah justru dari warung yang saya beli itu, usaha saya bisa berkembang seperti ini”, tutur Slamet.

Setelah berhasil mengembangkan warung yang sekarang menjadi rumah makan mina rasa, Slamet mencoba mengembangkan rumah makan prasmanan Mak Nyang, menurut penuturannya ia mengeluarkan modal hampir Rp 100 juta untuk sewa lokasi selama 10 tahun dan untuk modal usahanya.

Awal 2010 ia melebarkan sayapnya dengan menambah 2 orang karyawan ia membuka depot bakso Mak Nyang yang justru berlokasi di daerah asalnya yaitu Kecamatan Panggul.

Ekspansi ke Kampung Halaman


Saat ini rumah makan mina rasa dan depot baksonya dipegang oleh karyawan kepercayaannya sedangkan Rumah makan Maknyang tetap dikelola sendiri karena sekaligus dijadikan tempat kediamannya.

Untuk kelancaran usahanya ia membeli beberapa unit sepeda motor untuk karyawan sebuah mobil khusus untuk belanja serta satu unit mobil keluarga. Semua itu dibelinya dari uang hasil usaha rumah makan serta rumah produksi Aquarium.

Ayah dari empat orang anak ini menuturkan bahwa dalam setiap usaha pasti mengalami kendala, tapi yang penting sabar dan telaten. Selain itu yang tidak boleh dilupakan adalah harus pandai membaca peluang dan kreatif.

”Biarpun saya memiliki rumah makan sendiri saya justru lebih sering makan di luar karena dari sana saya bisa melihat dan merasakan, apa kekurangan, apa yang harus dibenahi dan apa yang harus saya lakukan pada usaha saya, baik dari segi pelayanan, rasa serta menu. Selama ini ide-ide yang ada kaitannya dengan rumah makan selalu muncul setelah saya habis makan di luar”, ujar Slamet.[purwo santosa]