This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 26 September 2009

Berangkat ke Luar Negeri Berbekal Bahasa Tarzan


Ditolong ’’Toyib’’ di Negeri Arab

Rumah yang tergolong mewah dibandingkan rumah lain di sekitarnya itu dikelilingi pagar tembok sebatas dada. Di garasi samping tampak terparkir dua buah mobil pribadi yang kelihatannya sangat terawat. Itulah rumah Sukarmin [45] warga Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, yang pernah nekad berangkat ke Arab Saudi berbekal bahasa Tarzan.


Ketika Peduli dipersilakan masuk, ternyata ruang tamunya pun tampak tertata rapi, pada dinding-dindingya terdapat beberapa potret keluarga dan hiasan kaligrafi. Setelah duduk sejenak spontan Sukarmin mengatakan, ’’Semua ini mulai dari rumah serta isinya dan duabuah mobil itu merupakan hasil jerih payah saya bersama istri bekerja menjadi TKI di Arab Saudi.’’

Awalnya Sukarmin berprofesi sebagai sopir MPU [mobil penumpang umum], sedangkan istrinya [Katmini] sebagai pedagang candak-kulak untuk waktu yang cukup lama. Mengingat hasil dari pekerjaanya saat itu hanya cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja, Sukarmin bersama istrinya memutuskan untuk mengikuti jejak tetangganya yang telah berhasil menjadi TKI ke Arab saudi.

Pada Tahun 1990 saat itu dengan biaya Rp 300.000 ia memutuskan istrinya saja yang berangkat dahulu sementara Sukarmin masih tetap melanjutkan profesinya sebagai sopir MPU sambil menunggui dua anaknya masih berumur masing-masing 8 dan 5 tahun.

Setelah berada dipenampungan selama 3 bulan Istrinya jadi berangkat ke Arab Saudi tepatnya di Riyad. Saat itu ia memperoleh majikan yang cukup keras sifatnya sehingga banyak pengalaman yang pahit bila dirasakan namun ia tetap bertahan untuk menghabiskan masa kontraknya selama 2 tahun dengan gaji 600 real [RP 300.000] perbulan.

Membangun Pondasi
Selesai kontrak Istrinya pulang kemudian uang hasil bekerja di Arab Saudi selama 2 tahun ditambah uang Sukarmin dari hasil bekerja sebagai sopir diputuskan untuk membuat pondasi rumah, dan ternyata uang tersebut hanya cukup sebatas pondasi saja. Setelah 2 bulan dirumah istrinya memutuskan untuk kembali ke Arab Saudi walau anak-anaknya belum habis rasa rindunya.

Tahun 1993 Katmini kembali berada di Riyad namun saat itu memperoleh majikan yang cukup sabar, dan lagi ia sudah cukup menguasai bahasa dan adat orang Arab sehingga tidak banyak mengalami kendala. Semua pekerjaan yang menjadi bebannya bisa diselesaikan dengan baik. Pada majikan kedua ini istrinya menyelesaikan kontraknya selama 3 tahun tanpa hambatan yang berarti. Selesai kontraknya ia kembali ke Indonesia.

Dari hasil kontrak keduanya Sukarmin berhasil menyelesaikan rumah yang di idam-idamkan. ’’Ketika istri selesai kontrak kedua kalinya baru rumah ini bisa saya selesaikan dan sedikit membeli beberapa perabotan,’’ tuturnya.

Semangat Sukarmin untuk mengumpulkan real ternyata tidak pernah pudar setelah istrinya pulang kini dirinya yang memutuskan untuk gantian berangkat ke Arab saudi. Berbekal pengalaman yang dimiliki sebagai sopir dirinya melamar untuk menjadi sopir di Arab Saudi dengan modal tekad ternyata ia mendapatkan majikan juga.

Tahun 1997 ia mendapatkan giliran untuk pemberangkatan namun mengalami penundaan sampai lima kali jadi lima kali bolak-balik dari penampungan ke bandara. ’’Nasib apa yang akan menimpa saya baru mau berangkat saja sudah mengalami hal seperti ini,’’ tuturnya mengenang masa lalunya.

Baru pada pemberangkatan kelima Sukarmin jadi terbang. Satu satunya senjata yang selalu dibawa dan tidak lepas dari tangannya adalah buku panduan berbahasa Arab, padahal ia belum menguasai bahasa tersebut.

Toyib
Setibanya di bandara ia langsung dibawa ke kantor agensinya namun sampai 4 hari ia belum juga dijemput oleh calon majikannya. Ia hampir putus asa. Tetapi ada salah seorang sopir [TKI] di agensi tersebut yang berasal dari Madiun yang sudi menolong mempertemukan dengan calon majikan dengan cara tiap hari dibawa ke bandara ABHA.

’’Untungnya ada Khusnul TKI dari Madiun yang setiap hari menjemput saya dari agensi untuk ’dipamerkan’ di bandara supaya bisa di temukan oleh calon majikan,’’ tuturnya.

Pada hari ke 4 Sukarmin bisa bertemu dengan calon majikannya. Selama ikut majikan tugas utamanya adalah mengemudikan kendaraan antar-jemput dari bandara ke pemukiman penduduk. Pada saat bulan-bulan pertama kendala yang dialami Sukarmin adalah faktor bahasa. Sering kali dia menggunakan bahasa Tarzan dan satu lagi kata- kata Toyib [iya Yuan] menjadi andalan utama.

Dengan ’’Toyib’’ ternyata menurut Sukarmin membawa berkah juga, sering dimarahi majikan karena tidak mengerti maksudnya ia jawab dengan, ’’Toyib,’’ kena tegur polisi karena melanggar aturan lalulintas pun ia jawab dengan: ’’Toyib,’’ hingga majikan dan polisipun heran dibuatnya.

’’Toyib itu membawa berkah bagi saya. Yang penting Toyib! Apa saja yang dikatakan majikan bahkan siapa saja karena saya tidak mengerti maksudnya langsung saja saya jawab, ’’Toyib!’’ tutur Sukarmin sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Setelah setahun bekerja kebetulan majikannya saat itu membutuhkan pembantu wanita untuk urusan rumah tangga. Sukarmin memberanikan diri memohon supaya istrinya saja untuk menjadi pembantu rumah tangganya, dan majikannya ternyata menyetujuinya. Jadilah Sukarmin menjemput istrinya untuk bekerja di rumah majikannya.

Setelah Sukarmin bersama Istrinya berkumpul jadi satu majikan ternyata menjadikan dirinya lebih tenang dalam bekerja. Namun ternyata pekerjaan istrinya cukup berat bahkan boleh dikata sangat berat, karena anggota keluarga majikannya yang berjumlah 15 orang itu hampir semua urusan mulai cuci pakaian maupun urusan makanan hanya istrinya sendiri yang harus menyelesaikan.

Maka, satu tahun lewat mereka memutuskan untuk pulang ke tanah air. [PUR]

Usaha Penggilingan Gabah Keliling: Petani Panen Ikut Panen


Selama masih ada petani menanam padi, mesin giling [huller] pasti dibutuhkan. Dulu, untuk jadi pengusaha penggilingan padi mesti punya modal lebih besar [daripada yang dibutuhkan sekarang], karena mesti memiliki mesin giling standard an memiliki lahan yang cukup.

Oh, tidak hanya itu. Punya lahan pun, jika lokasinya tidak memungkinkan pasti akan menemui kendala. Karena, selain mengeluarkan limbah [debu] dan kebisingan suaranya juga bisa mengganggu dan menimbulkan protes dari para tetangga. Kurang praktis pula, karena mesin model lama itu mesti menunggu pemilik gabah kering membawa gabahnya untuk digilingkan.

Sekarang, ada mesih giling berjalan [portable huller] yang bisa dibawa ke mana-mana, mendatangi pemilik gabah. Jadi, pemilik mesin giling bisa lebih proaktif menjemput bola, eh, gabah!

Nursalim [35] warga Desa Karangsoko Trenggalek, memulai usaha penggilingan keliling dengan modal modal Rp 10 juta. Uang itu dibelikan mesin giling yang telah dirakit pada rangka mobil sehingga dapat dijalankan layaknya sebuah mobil.

Saling Menguntungkan
Pada bulan-bulan sebelum panen raya tiba biasanya setiap dua hari sekali Nursalim berkeliling kampung untuk melayani pelanggannya. Bagi Nursalim saat panen raya tiba merupakan saat-saat yang ditunggu untuk mendapatkan rezeki dari jasa penggilingannya.

Setelah panen biasanya petani akan segera menggilingkan hasil panennya karena rata-rata petani menjual hasil panennya dalam bentuk beras. Itu mendatangkan keuntungan tersendiri bagi para pemilik Portable Huller, juga bagi petani yang tidak usah mengeluarkan biaya transport untuk ankutan ke tempat penggilingan.

Aktifitas yang biasanya hanya dilakukan setengah hari akan menjadi sehari penuh, pendapatannya pun lumayan. Nursalim yang pada hari-hari biasa hanya mampu mengantongi pendapatan Rp 15 – Rp 20 ribu, pada musim panen bisa pulang membawa hasil mencapai Rp 100 ribu/hari.

Daripada Buruh Tani
Bagi petani sendiri ternyata ongkos penggilingan ini tidak terlalu memberatkan. Setiap karungnya dengar berat antara 40 - 50 kg hanya dikenai ongkos giling sebesar Rp 5.000. Namun, bila bekatulnya diberikan pada pemilik gilingan ongkos gilingnya hanya sebesar Rp 1.000/karung.

Dari hasil gilingannya ini bila dibandingkan saat Nursalim masih menjadi pekerja serabutan [buruh bangunan, buruh-tani] yang belum tentu bisa dipastikan hasilnya karena kadang bekerja dan kadang tidak, ternyata roda ekonomi keluarganya mulai tertata.

Yang jelas, setiap berkeliling ayah satu anak ini pasti pulang membawa uang.

’’ Pokoknya mau berkeliling kampung , sedikit banyak ada hasil. Memang, bila sedang sepi pulang membawa Rp 10.000, sudah untung, tutur Nursalim. [PUR]

Membangun Rumah dan Menyekolahkan Anak dengan Memroduksi Alen-alen

Kutha Trenggalek, Kutha Trenggalek
kinupengan gunung-gunung tepung gelang
….
Alen-alen tekan mancapraja


[Syair yang dipetik dari Mars Kutha Trenggalek itu kurang lebih berarti bahwa Kota Trenggalek dikelilingi gunung-gunung. Dan produksi alen-alen-nya terpasarkan hingga ke daerah lain].

Begitulah. Salah satu jajan [biasa dibeli sebagai oleh-oleh] khas Trenggalek, Jawa Timur, adalah alen-alen [mengandung pengertian: seperti ali-ali atau cincin]. Bahan dasar alen-alen adalah tepung ketela/tapioka. jajanan yang bentuknya seperti cincin ini terbuat dari tepung tapioka. Salah seorang pengusaha alen-alen yang cukup dikenal ialah Warjito [Desa Sumbergedong, Kecamatan Kota].

Bapak dari dua anak ini mulai menekuni usaha pembuatan alen-alen sejak 1990. Bagi Warjito, membuat alen-alen bukan merupakan hal yang baru. Sejak kecil ia sudah akrap dengan proses pembuatan alen-alen, karena si pembuat alen-alen itu tak lain adalah orangtua Warjito. Dengan kata lain, Warjito kini menekuni usaha yang sudah dirintis orangtuanya.

Modalnya Rp 12 Ribu

Jadi pengusaha alen-alen seperti Warjito ternyata tidak perlu modal jutaan, atau bahkan ratusan ribu rupiah. Warjito memulai usahanya hanya dengan modal Rp 12.000 [dua belas ribu rupiah]! Dengan modal sekecil itu, sudah bisa dihasilkan alen-alen sebanyak 50 kg. Saat itu pemasaranya dilakukan dengan cara keliling dan sebagian dititipkan di warung-warung. Ternyata, ludes hanya dalam 5 hari.

Sekarang, Warjito rata-rata memroduksi 2 kuintal alen-alen dalam sepekan. Karyawannya ada 10 orang, dan pada saat saat ramai ia bisa mempekerjakan karyawan sebanyak 15 orang dengan sistim borongan.

Para karyawan itu pun tidak bekerja penuh waktu. Mereka datang setelah selesai mengurus pekerjaan rumah mereka [mempersiapkan anak berangkat ke sekiolah, memasak, cuci pakaian, menyapu, dan lain-lain]. Biasanya, mereka datang pukul 10.00. Setiap karyawan akan memperoleh upah Rp 2.000 setiap ia menghasilkan 1 tempayan alen-alen. Dalam sehari, setiap orang dapat menghasilkan antara 5 - 8 tempayan. Dengan demikian bisa membawa pulang upah antara Rp 10.000 – Rp 15.000.

Dalam sebulan Warjito mampu menghasilkan 8 kuintal alen-alen, dengan nilai jual sekitar Rp 6,5 juta.

Proses Pembuatan
Membuat alen-alen, sepintas tampak sepele. Tetapi, jika tak berpengalaman, biarpun jadi alen-alen rasanya akan mengecewakan.

Mula-mula tepung tapioka direbus dengan air secukupnya, kemudian diberi bumbu bawang putih, garam, serta pewarna yang terbuat dari air kunyit. Selama proses itu adonan tersebut harus diaduk supaya bumbu dan pewarna bisa benar-benar tercampur merata. Setelah dirasa sudah kenyal dan setengah matang adonan diangkat dan didinginkan.

Langkah selanjutnya adonan yang masih terasa hangat tersebut digiling dengan tangan untuk memperoleh lonjoran-lonjoran kecil. Inilah proses yang tergolong agak sulit, karena dituntut menghasilkan lonjoran yang besarnya relatif sama. Untuk mempermudah proses ini biasanya adonan ditaburi tepung yang belum direbus agar dalam proses menggiling tidak lengket di tangan.

Adonan yang telah menjadi bentuk lonjoran tersebut selanjutnya di bentuk bulatan-bulatan yang merupai cincin, yang selanjutnya sampai pada tahap penggorengan. Setelah digoreng hasilnya ditempatkan pada keranjang besar sekaligus tempat untuk meniriskan, dan selanjutnya tinggal mengemas.

Modal dan Pasar
Warjito tidak pernah dipusingkan urusan penambahan modal. ’’Terus terang saya mengenai modal usaha ya semampu saya dan sampai saat ini saya tidak pernah pimjam uang untuk tambah modal, ya laba dari hasil penjualan itu yang selama ini yang saya jadikan modal,’’ katanya.

’’Ya alhamdulillah nyatanya dengan model seperti itu saya bisa mencukupi keluarga, menyekolahkan anak dan membuat rumah,’’ imbuhnya.

Selain untuk menggantungkan hidupnya produksi alen-alen Warjito ternyata juga turut membantu menyediakan lapangan kerja.

Untuk pemasaran saat ini Warjito tinggal menyetorkan ke para pedagang tetapnya di seputar Trenggalek kota saja. Kemasan yang dipakai adalah plastik yang ia jual dengan harga Rp 7.500 [super] dan Rp 6.500 [biasa] per kg.

Dari omzet penjualan yang mencapai Rp 6,5 juta tersebuat warjito memperoleh keuntungan bersih sekitar Rp 2,5 juta per bulannya.

Adapun kendala utama yang di alami adalah bila musim penghujan, harga bahan baku tepung selalu melonjak. Akibatnya, biaya produksi meningkat, padahal harga jualnya tetap sehingga keuntungan yang diperolahnyapun akan turun secara dratis.

’’Kendala yang satu ini sulit diatasi masalahnya alen-alen ini bahan bakunya harus selalu baru bila terlalu lama ditimbun maka hasilnya tidak baik terutama pada rasa dan kerenyahannya,’’ tuturnya. [PUR]

Caping:Laris Manis Saat 17-an dan Musim Panas

Di tengah maraknya produk-produk modern yang hadir di negeri Indonesia, pria bernama singkat Kasiadi (58) ini justru percaya diri dan mantap menjual barang yang sangat sederhana, caping.

Pria asal Lamongan ini sejak tahun 1985 telah berjualan caping di sepanjang jalan Embong Cerme Surabaya. ’’Saya jualan disini (Embong Cerme, red) sejak tahun 85’ dan mungkin sekarang saya satu-satunya penjual caping di Surabaya,’’ kelakar pria murah senyum ini.

Karena jarangnya penjual caping di Surabaya, hingga sekarang Kasiadi justru eksis menggeluti usaha ini. Buktinya, setiap hari Kasiadi mampu mengantongi pendapatan minimal Rp 20 ribu hingga ratusan ribu rupiah.

Padahal prinsip hidup Kasiadi sangat sederhana, ’’Yang penting keluarga saya tidak kelaparan dan bisa makan nasi meskipun Cuma makan nasi dan garam,’’ ungkapnya.

Sebenarnya usaha yang ditekuni Kasiadi berawal dari coba-coba. Kala itu Kasiadi bekerja di sebuah pabrik hingga pada tahun 85’ ia kena PHK. Saat ia menganggur di rumah ia melihat beberapa tetangganya mahir membuat anyaman bambu, diantaranya caping, bakul nasi dan tampah.

Kasiadi pun tertarik untuk menjualkannya dan ia memilih wilayah Surabaya sebagai tempat jualan. ’’Kalau saya pilih daerah Lamongan atau sekitarnya pasti jualan saya nggak laku. Makanya saya pilih daerah Surabaya sebagai tempat jualan karena saya yakin di Surabaya orang jualan barang anyaman seperti ini masih jarang,’’ ungkapnya.

Pertengahan tahun 1985 Kasiadi membulatkan tekad berjualan di Surabaya dan memilih jalan Embong Cerme sebagai tempat jualan. ’’Saya memilih tempat jualan di daerah ini karena tak mau ambil risiko diusir Satpol PP. dan mulai tahun 85’ sampai sekarang saya belum pernah diusir Satpol PP,’’ kenangnya. Namun, pada awal 90-an Kasiadi memutuskan hanya menjual caping. Alasannya, produk yang lain sudah banyak yang berjualan, sementara caping hanya dijumpai di tempat Kasiadi.

Selain itu Kasiadi memilih tempat ini karena berdekatan dengan Pasar Keputran. Para pelanggannya memang banyak dari penjual dan pembeli Pasar keputran. ’’Biasanya yang beli caping saya para bakul di Pasar Keputran atau pembeli yang rata-rata pedagang sayuran keliling yang kulakan di Pasar Keputran,’’ terangnya.

Selain itu, saat tujuh belasan caping Kasiadi laris manis. Yang banyak dibeli adalah caping ukuran kecil seharga Rp 15 ribu. ’’Kalau tujuh belasan caping kecil laris buat karnaval anak-anak sekolah. Sementara caping besar yang harga Rp 20-25 ribu banyak dibeli bakul saat musim panas seperti bulan April – September,’’ terangnya.

Meski peluang bisnis yang lain masih banyak, Kasiadi mengaku tak tertarik berbisnis lain. Menurutnya, kalau berbisnis lain ia tak punya kemampuan. Selain itu baginya berjualan caping sudah mencukupi kehidupannya hingga bisa menyekolahkan anaknya sampai SMU. ’’Lagian kalau saya jualan yang lain, kasihan para tetangga saya yang bikin caping nanti mereka nggak punya pendapatan lagi,’’ pungkas Kasiadi yang mendapatkan untung Rp 5 ribu untuk setiap caping ini. [DEWI]

Telaga Ngebel di Ponorogo


Saat musim durian, plesir ke Telaga Ngebel sangatlah tepat. Di kiri-kanan jalan sepanjang beberapa kilometer menjelang dan di tepi jalan lingkar telaga, banyak warung buah. Ada salak, pisang, lengkeng, rambutan, dan maskotnya tentu saja adalah durian. Setelah mencicipi nikmatnya nasi tiwul ikan telaga, boleh pula pulang bawa oleh-oleh buah durian.

Telaga Ngebel berada di arah timur laut, sekitar 24 km dari kota Ponorogo. Di ketinggian 734 meter dari permukaan laut di kaki Gunung Wilis sebelah barat, membuat udara di sekitar telaga terasa sejuk, kadang malah kelewat dingin bagi mereka yang datang dari kota-kota seperti Surabaya, Semarang, atau Jakarta.

Menuju Ngebel dari arah barat [Wonogiri] langsungmasuk kota, terus ke timur, rambu-rambunya gampang dibaca. Bagi yang datang dari arah utara [Madiun], sampai di Dolopo belok kiri [ke timur] atau bisa juga dari Ponorogo kota melalui Jenangan, seperti yang datang dari arah barat. Jika dari selatan [Pacitan] langsung masuk kota baru belok kanan, lewat Jenangan. Nah, kalau dari arah timur [Trenggalek] tak perlu masuk kota, sampai di perempatan Jetis belok kanan, lalu ikuti rambu. Dari berbagai arah itu, jalan menuju Ngebel sudah diaspal mulus, lus, luuuussssss...!

Di sekeliling telaga pun sudah dibangun jalan aspal, sehingga pengunjung yang berkendaraan mobil, lebih-lebih motor, bisa berkendaraan berkeliling telaga.

Di dalam telaga terdapat pelbagai jenis ikan yang bisa dipancing. Yang tidak boleh dipancing tanpa izin khusus dari pemiliknya adalah ikan peliharaan yang ada di dalam keramba.

Telaga Ngebel belum begitu populer. Paling-paling dikenal warga luar daerah, karena menjadi bagian dari Festival Reog atau Perayaan Hari Jadi Ponorogo, atau karena ada upacara adat larung sesaji yang digelar setiap tanggal 1 Sura. Acara Grebeg Sura di Ponorogo dari tahun ke tahun tampaknya memang makin menarik, karena digabungkan dengan Festival Reog dan pameran produksi. Tambah menarik lagi, terutama bagi kaum muda, agaknya juga karena digelar pentas musik dengan mengundang artis-artis ibukota. Maka, kini acara Grebeg Sura di Ponorogo bisa disejajarkan dengan acara Sekaten di Solo maupun Jogjakarta serta Grebek Maulud di Demak.

Selain pedagang buah, di sekitar telaga banyak kios-kios yang dibangun untuk jualan ikan nila segar-bugar [maksudnya: masih hidup, Red]. Ikan nila itu diambil langsung dari keramba di telaga. Keramba-keramba itu menjadi sumber pendapatan bagi para pengelolanya, namun terasa mengurangi nilai keindahan telaga.

Sarana wisata air berupa perahu kecil hanya dijalankan pada hari Minggu. Pada hari biasa, tampaknya terlalu sepi, sehingga kalau dipaksa jalan, perahu itu hanya akan memboroskan bahan bakar saja. Pengunjung yang mengajak anak-anak bisa mengajak mereka ke taman bermain dengan sarana ayunan dan semacamnya, di sebelah utara telaga, di dekat sarana MCK. [SUS]

Usaha Meracang di Tengah Himpitan Minimarket [3]


Usaha meracang telah dilakoni perempuan lulusan Universitas Airlangga jurusan Ekonomi Akuntansi ini. Sejak menikah Nur Azizah memang memfokuskan diri menjadi ibu rumah tangga. Setelah putra-putrinya beranjak besar, ia kemudian memutuskan membuka meracang di depan rumahnya untuk mengisi kesibukan.

Zizah –begitu ia akrab dipanggil, menjual aneka kebutuhan pokok rumah tangga. Ada gula, beras, minyak goreng, telur, mie instant, kosmetika, kebutuhan wanita, kebutuhan bayi, rokok, hingga makanan dan minuman ringan.

Memulai usaha pada 2003, Zizah mengeluarkan modal awal sekitar Rp 7 juta. Dana tersebut untuk pembelian rak dan perangkatnya sebesar Rp 2 juta dan pembelian isi dagangan sebesar Rp 5 juta.

Zizah cukup bersyukur tempat tinggalnya cukup jauh dengan pasar tradisional ataupun pusat belanja sehingga penduduk sekitar memang sangat membutuhkan toko meracang sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Karena itu, lanjut Zizah, di lingkungan tempat tinggalnya banyak bertebaran tempat-tempat meracang sehingga kadang-kadang persaingan harga jadi tak sehat.

’’Selisih Rp 50 saja, pelanggan langsung lari ke tempat lain. Makanya, prinsip saya untung sedikit nggak apa-apa yang penting pelanggan tak lari,’’ ungkapnya.

Untuk memantapkan usahanya, Zizah sering bertanya kepada para pelanggannya apa saja yang mereka butuhkan, sehingga Zizah bisa langsung melengkapi dagangannya.

Misalnya saja, saat lingkungannya banyak anak sekolah, Zizah melengkapi kebutuhan untuk anak-anak sekolah seperti buku dan peralatan tulis dan makanan yang disukai anak-anak seperti es krim dan aneka snack.

Untuk kulakan, Zizah juga tak bosan-bosan mencari informasi tempat kulakan yang paling murah untuk mengejar harga dagangan yang kompetitif. Meski untuk itu Zizah harus menempuh jarak yang cukup jauh.

Uniknya, pembeli yang berhutang pun sering ditemuinya. Zizah masih menoleransi beberapa pelanggan yang berhutang. Nyatanya, menurut Zizah mereka akan membayarnya tepat waktu. [KD]

Usaha Meracang di Tengah Himpitan Minimarket [2]

Begitu lulus SMU, pria ini langsung memutuskan membantu orangtuanya melanjutkan bisnis meracang. Telah berpuluh-puluh tahun orangtua Kafi Maulana membangun bisnisnya ini.

’’Saya nggak ingat kapan orangtua buka usaha ini. Tapi, sejak saya lahir orangtua sudah punya usaha ini,’’ jelas pria single yang lahir 1975 ini.

Sebenarnya Kafi sempat ingin bekerja di pabrik atau kerja kantoran, namun melihat orangtuanya sudah cukup tua, Kafi bersama kakak perempuannya memilih meneruskan bisnis keluarganya.

Toko Kafi yang terletak di pinggir jalan Gedangan Sidoarjo, Jawa Timur, cukup besar dan berisi beragam kebutuhan. Mulai kebutuhan pokok seperti gula, beras, minyak goreng, telur dan sebagainya, hingga kebutuhan pendukung lainnya seperti kebutuhan sekolah, kebutuhan memasak, kebutuhan perempuan dan sebagainya. Kafi juga menambahkan penjualan pulsa dan wartel di tokonya ini. Hal ini untuk mengantisipasi sepinya pembeli, setelah banyak orang memilih minimarket yang kini sudah merambah gang-gang kecil di pinggiran kota.

’’Di wilayah saya sudah ada tiga minimarket yang berdiri. Ini sama saja ’membunuh’ usaha kecil seperti saya ini. Padahal, harga mereka jauh lebih mahal. Selisih harganya saja bisa sampai Rp 500,’’ ungkapnya.

Padahal, bila pelanggan belanja di tempatnya dan terlalu mahal mereka langsung protes. Anehnya, lanjut Kafi, mereka menikmati belanja di minimarket meski harganya jauh lebih mahal.

Padahal, bedanya hanya soal tempat saja, minimarket memang menyediakan tempat yang nyaman dan dilengkapi AC.

Kafi berharap, pemerintah memiliki kebijakan untuk menertibkan minimarket-minimarket yang didirikan seenaknya.

Kalau hal ini dibiarkan, ia yakin bisnis meracang seperti yang berpuluh tahun menjadi sumber kehidupannya akan mati pelahan-lahan. Untuk itu segala trik bisnis diterapkannya agar usahanya laris. Termasuk diperbolehkannya pembeli berhutang dalam jumlah tertentu, atau bayar mundur sebulan sekali saat gajian.

’’Ada yang sudah langganan bertahun-tahun, bayarnya kalau suaminya gajian setiap awal bulan. Ya nggak apa-apalah, ketimbang nggak laku. Yang penting modal kembali,’’ terangnya. [KD]

Usaha Meracang di Tengah Himpitan Minimarket [1]

Usaha meracang (toko kelontong) sering menjadi alterntif utama usaha sampingan rumah tangga. Selain tak butuh modal besar, usaha meracang bisa dilakukan di rumah, garasi, atau membuat toko kecil di areal rumah.

Mau tak mau, meracang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Apalagi bila letak rumah cukup jauh dari pasar atau pertokoan. Meski untung sedikit, usaha meracang menjadi usaha sampingan yang hingga kini dipilih banyak orang.

Meracang biasa ditemui dalam dua jenis, yakni meracang yang menjual kebutuhan pokok basah seperti sayur-mayur dan lauk-pauk, atau meracang yang menjual kebutuhan pokok kering seperti beras, gula, garam, teh, dan sebagainya.

Karena merupakan usaha rumahan, meracang sering dianggap remeh sebagai usaha ’iseng’. Padahal bila ditekuni, meracang bisa jadi sumber pendapatan pokok sehari-hari, dan tak sedikit orang yang menjadi kaya lantaran meracang.

Kesulitan utama bisnis ini –seperti dijelaskan oleh Nur Azizah, seorang pelaku bisnis meracang-- adalah banyaknya pelaku usaha sehingga menimbulkan persaingan bisnis tak sehat.

’’Di desa saya setiap sepuluh rumah hampir bisa dipastikan ada yang berjualan meracang,’’ tegasnya.

Karena banyaknya penjual maka bersaing harga sudah sangat biasa. Meski hanya terpaut Rp 50 saja pembeli bisa lari dan mencari meracang yang paling murah.

’’Kalau berbisnis meracang memang harus mengikuti harga pokok pasar sehingga bisa mematok harga yang paling murah. Meski untung sedikit yang penting pelanggan tak lari,’’ terang perempuan lulusan Universitas Airlangga yang memilih menjadi ibu rumah tangga sekaligus membuka meracang di rumahnya.

Hal yang sama juga dibenarkan oleh Kafi Maulana. Pria jebolan SMU yang membuka meracangnya di Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, setiap saat mengikuti perkembangan harga.

’’Saya sering kelayapan ke pusat-pusat belanja, mini market sampai ke pasar-pasar tradisional untuk membandingkan harga. Jangan sampai harga yang saya patok lebih mahal dari tempat lain,’’ ungkapnya.

Meski begitu Kafi kecewa juga dengan maraknya minimarket yang merambah tempat-tempat terpencil. Hal ini sangat merugikan bisnis meracang seperti yang ditekuninya dan menimbulkan persaingan tak sehat. Apalagi, lanjut Kafi, minimarket tersebut punya keungulan kelengkapan produk dan tempat yang nyaman.

Meski begitu Kafi bisa menjamin barang dagangannya jauh lebih murah ketimbang yang dijual di minimarket.

’’Selisih harganya besar, bisa sampai Rp 500 per mata dagangan. Jadi, jangan tergoda minimarket karena sebenarnya mereka jelas-jelas mahal,’’ terangnya.

Untuk melariskan usahanya, Kafi mendampingi usaha meracangnya dengan usaha wartel dan penjualan pulsa. [KD]

Jumat, 25 September 2009

Yuliati, 50 Tahun Tekuni Bisnis Rias Pengantin

Buka Kursus Rias, Masak, dan Membuat Aksesoris

KETEKUNAN, keuletan dan kerja keras adalah modal utama yang dimiliki Yuliati, pemilik Yulia Sanggar Rias dan Salon. Karena itu, wanita kelahiran 20 Juli 1940 ini bisa eksis selama 50 tahun berkarya dalam bisnis wedding, yang memang sudah sejak lama ia gemari.

’’Saya sangat senang dengan dunia fashion dan kecantikan. Kok rasanya kagum melihat orang-orang jadi lebih cantik ketika usai didandani. Karena itu saya berkomitmen akan terus menjalankan bisnis ini dengan sungguh-sungguh,’’ ujarnya mengawali pembicaraan tentang awal menekuni bidang ini.

Istri Katib dengan tiga anak ini lalu menuturkan, bahwa Jl. SMEA, (dekat SMA Khatidjah, Wonokromo, Surabaya) itu bukanlah tempat pertama ia mengawali usahanya. Dulu, pada 1957 Yuliati mengawalinya membuka sekolah dengan nama Praktis Modes. Sekolahnya itu menjadi salah satu sekolah modes yang disegani di Surabaya. Saat itu lokasinya, di Jl. Karang Rejo III/ 22 Surabaya.

’’Tahun itu, rasanya kok cuma sekolah modes milik saya yang mengenakan seragam. Dan saya masih ingat betul, tempat saya sampai penuh sesak karena banyaknya peminat kursus,’’ kenangnya.

Kemudian tahun 1967 Yuliati pindah ke Jl. Stasiun Wonokromo dan berlanjut di Raya Wonokromo. Baru pada tahun 1983, Yuliati memilih tempat di Jl. SMEA, hingga sekarang.
Seiring dengan perkembangan, Yuliati kemudian mencoba melengkapi sanggarnya. Dengan les memasak, membuat kue dan ketrampilan lain, berupa membuat aksesoris dan manik-manik pengantin.

Kini, rumah usaha Yuliati yang menempati lahan sekitar 6 x 12 meter itu, semakin berkembang dengan terus melakukan terobosan berupa paket Rias Pengantin dengan harga mulai Rp 15 juta. ’’Semua itu all in, termasuk busana dan rias pengantinnya,’’ ujarnya. Selain itu untuk make up, juga disediakan paket wisudawan, acara khusus dan pesta. ’’Andalan kami adalah pelayanan yang berkualitas. Karena kami ingin, semua konsumen kami menjadi puas,’’ ungkapnya.

Mengenai konsumen, menurutnya datang dari beragam kalangan. Pengusaha, pegawai bahkan ada jutawan pernah mencicipi sentuhan tangan Yuliati. Secara spesifik, Yuliati mengaku lebih suka mengerjakan busana pengantin tradisional dengan bahan kain tile dan bludru. Ini terbukti dengan ratusan koleksi yang terpajang di etalase. “Sebenarnya kami bisa mengerjakan semua yang terkait dengan pengantin atau hajatan lain. Tapi yang banyak memang yang bertema tradisional,” katanya.

Beragam penghargaan pernah Yuliati raih. Namun yang menurutnya paling berkesan adalah saat 2004, dimana ia bersama beberapa pengusaha lain di Surabaya menerima peniti emas di Jakarta dalam even bertema Beauty Revolution 2004. ’’Saya sangat bangga sekali, bisa menjadi bagian dalam penerimaan penghargaan itu,’’ katanya penuh bangga.

Meskipun usahanya cukup lama berkembang, namun suka duka dan pasang surut, juga sempat ia alami. Dan ia masih ingat, ketika tahun 2005 suaminya sakit dan disusul dirinya satu tahun berikutnya. ’’Bahkan saya sempat opname lho. Keadaan ini sempat membuat kegiatan Yuliati berkurang. Tapi, kami terus berusaha agar kembali eksis dan semakin berkembang,’’ imbuhnya.

Tapi itu tak membuat ia jadi patah semangat. Dengan kerja keras dan dedikasi tinggi, ia berupaya terus memajukan usahanya. ’’Anda lihat sendiri, meskipun usia saya sudah 67 tahun, saya masih terus berkarya dan berkreasi. Ini adalah dunia saya. Dunia yang memang sangat saya cintai,” tuturnya.

Meski sibuk dengan usahanya, Yuliati ternyata juga telah ’memiliki’ generasi yang bakal meneruskan usahanya. Setidaknya ada dua anaknya, Diah Anggraini dan Indah Sulistiyawati serta menantunya Ery Vivi Damayanti yang siap meneruskan usahanya. Bahkan, mereka telah mengembangkan sayap dengan menambah usaha di bidang foto. [DEWI]

Bisnis Keluarga: Membuat Kue Pelikipu

KUE atau jajanan yang diakui sebagai khas Trenggalek (Jawa Timur) ini punya setidaknya dua nama. Ia dikenal sebagai kue manco, tetapi tampaknya lebih dikenal dengan sebutan yang, mohon maaf, berkonotasi saru, yakni pelikipu. Asal tahu saja, dalam Indonesia, pelikipu itu berarti: penis mandi debu!

Selain alen-alen dan tempe kripik, kue manco ini juga diakui sebagai salah satu jajanan khas Kota Trenggalek. Kue ini dibuat dari bahan tepung beras ketan, gula, dan wijen. Ada salah satu jenis lagi yang tidak menggunakan wijen tepi dengan menggunakan butiran-butiran ketan.

Salah seorang pembuat kue manco ialah Bu Suyono (54), mulai memegang kendali produksi kue manconya sejak tahun 1991, setelah suaminya, Pak Suyono, meninggal.

’’Usaha yang saya jalani ini merupakan usaha turunan dari embah saya. Jadi saya tinggal meneruskan saja, dan nantinya anak dan cucu saya yang meneruskannya,’’ ujarnya.

Selain anggota keluarga sendiri, saat ini Bu Suyono dibantu 3 orang karyawan. Dalam sekali masak biasanya memerlukan 15 kg tepung ketan. Saat ditanya dari 15 tepung tesebut jadinya berapa biji dan kalkulasi keuntungannya berapa, Bu Suyono tidak bias menjelaskan.

’’Saya kalau ditanya berapa setiap bulannya jumlah produksi, bahan yang diperlukan apa lagi pendapatan atau laba dari produksi manco ini tidak rasanya sulit untuk menjelaskan bahkan tidak bisa memerincinya,’’ ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, ’’Membuat manco ini risikonya tinggi. Semisal waktu menggoreng ada sebagian yang tidak mengembang, dapat dipastikan lainnya pun akan rusak. Itu sering kali terjadi. Jadi, tidak saya saja, produsen lain pun bila ditanya kapasitas produksi dan pendapatan setiap bulannya pasti tidak dapat mejelaskan, jawabannya pasti seperti jawaban saya,’’ terangnya.

Pemasaran kue manco produksi Bu Suyono ini selain untuk melayani wilayah Trenggalek sendiri, juga sudah merambah ke kota lain bahkan sampai Sumatra dan Kalimantan. Biasanya pembeli datang sendiri, sedangkan untuk wilayah luar pulau pemesanan dilakukan via telepon dan pengiriman melalui paket. Teknik pembayarannya, biasanya dengan cara transfer ke rekening bank.

Kue manco ini di kemas dengan menggunakan plastik dan diberi lebel Manco Asli Trengglek. Satu bungkus berisi 10 buah dilepas dengan harga Rp 3.500. Ini harga di tingkat pedagang. Di tingkat eceran bisa mencapai Rp 5000. Untuk memenuhi permintaan pedagang tetapnya yang berada di wilayah Trenggalek seminggunya harus menyediakan 300 bungkus. Sedangkan pelanggan dari luar wilayah permintaan tidak bisa diduga.

’’Untuk pedagang luar wilayah biasanya nelpon lebih dahulu, atau pesan terlebih dahulu,’’ ujarnya.

Saat menjelang hari raya ternyata pesanan dari luar daerah sudah banyak yang masuk, ’’Alhamdulillah saat ini sudah banyak yang memesan lewat telephon , bahkan ada yang sudah mentransfer sejumlah uang untuk membayar pesanannya,’’ ujar Bu Suyono.

Ketika disinggung lagi mengenai pemasukan dari hasil penjualan kuenya khususnya sebulan menjelang hari raya, kembali Bu Suyono mengalihkan ke topik lain. [PURWO]

Pembuatan Sapu Ijuk Beromzet Rp 17 Juta/Bulan

Sapu ijuk, keset dari kain perca, kelihatannya sepele. Tapi, jika ditekuni, ia bisa mengantar siapa pun yang sudi menekuninya untuk menjadi jutawan.Desa Jabalsari, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung dikenal dengan industri rumahan-nya yang memproduksi peralatan kebersihan rumah tangga.

Salah satu pelaku usaha rumahan tersebut ialah Siti Rukoyah (50) warga RT 1/1, Desa Jabalsari, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung yang menekuni usaha pembuatan alat-alat pembersih rumah tangga khususnya sapu dan keset. Usaha ini Ia rintis bersama suaminya Pani (57) sejak Tahun 1980. menurut penuturannya awalnya dikerjakan sendiri dan hasilnya ia pasarkan dengan cara menitipkan pada toko-toko yang menjual kebutuhan rumah tangga.

Saat itu produk yang di hasilkan meliputi sapu yang terbuat dari ijuk, sabut kelapa, keset dari sabut kelapa dan yang terbuat dari kain perca. Namun saat ini Siti khusus memproduksi sapu ijuk dan sapu yang terbuat dari serat nanas hutan. Sementara keset id hannya menampung dari hasil produk anak didiknya.

Dalam menekuni usahannya sampai detik ini sering mengalami pasang surut namun berkat keuletan serta keyakinannya bahwa dari membuat sapu ijuk merupakan jalan penghidupannya, ternyata usahanya bisa bertahan. Bahkan saat ini Siti Rukoyah tidak lagi hanya sebagai pembuat saja, namun selain sebagai produsen dirinya juga sekaligus meranggkap sebagai pedagang pengepul.

Peluang pasar dari produk ini memang sampai saat ini cukup besar bahkan cenderung mengalami peningkatan. ’’Selama ini yang saya alami permintaan pasar terhadap produk peralatan kebersian rumah tangga setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan,’’ ujarnya.

Memang tidak mengherankan masih menurut penuturan Siti setiap bulannya khusus untuk produk sapu ijuk dan sapu serat nanas yang ia produksi sendiri bisa terjual tidak kurang dari 6000 buah. Sedangkan keset hitungannya tidak bisa menjelaskan hitunggannya dengan pasti.

Untuk memenuhi permintaan pasar tersebut saat ini Siti dibantu oleh 6 orang karyawan tetap dan dibantu 15 orang perajin asuhannya. Siti sendiri hanya menyediakan bahan baku sedangkan pengerjaannya dilakukan dirumahnya masing-masing.

Sedangkan ijuk sebagai bahan bakunya didatangkan dari Jawa barat dan sudah memiliki pemasok tetap demikian juga serat nanasnya dipasok dari kalimantan, biasanya setiap bulan datang beberapa truk dan dibagi ke beberapa pelangan/perajin yang ada di Desa ini secara bergiliran.

Yang tidak kalah pentingnya dari produk rumahan ini supaya tetap bisa bertahan adalah mutu. ’’Modal utama yang selalu saya jaga adalah mutu produk karena dengan mutu yang bagus akan lebih mudah menembus pasar dan konsumen tidak akan lari,’’ ujar Siti menandaskan.

Menurut penuturannya mutu produk juga menekan harga jualnya. Siti sendiri menetapkan tiga tingkatan harga berdasarkan mutunya. Sapu dengan harga Rp 5.000, adalah sapu dengan mutu paling baik karena dibuat dari hasil sisiran pertama dari bahan baku ijuknya, halus dan rapi. Hasil sapu dari sisiran kedua dibandrol dengan harga Rp 3.000, sedangkan hasil sisiran ketiga dia jual dengan harga Rp 2.000. Sedangkan jenis lain yang ia jual adalah keset dari kain perca dan sabut kelapa dengan harga mulai dari Rp 5.000 - Rp 25.000, dua jenis produk ini ia tampung dari perajin-perajin langganan tetapnya yang ada di daerahnya.

Bidang pemasaran, Siti Rukoyah sudah tidak mengalami banyak kendala karena sudah ada pedagang langganan tetap yang setiap bulan mengambil sediri, ’’Dulu memang saya distribusikan sendiri tapi saat ini pelanggan saya minta untuk mengambil sendiri, biarpun dari penjualan itu saya potong untuk biaya angkutannya dan itu saya pikir lebih enak karena tidak nanggung risiko di perjalanan,’’ tuturnya.

Pelanngannya selain dari wilayah Tulungagung dan Trenggalek juga ada yang dari Surabaya, Bali, Malang, Kediri, Madiun, dan Blitar.

Dari hasil penjualan peralatan kebersiahan rumah tangga ini setiap bulan Siti Rukoyah bisa mengantongi pendapatan tidak kurang dari Rp 17 juta. Setelah dikurangi biaya untuk bahan baku dan upah karyawan ia masih bisa mengantongi laba bersih sekitar Rp 4,5 juta.

Tidak mengherankan bila Siti Rukoyah bisa memberi modal usaha sejenis pada dua orang anaknya. ’’Ya, alhamdulillah dari hasil usaha ini saya bisa membari sedikit modal pada dua orang anak saya. Sedangkan anak sulung saya, Nurkayan (37) sejak lulus SMP pilih merantau ke Malaysia dan bahkan sudah kawin dan menjadi warga negara Malaysia dan baru dua kali pulang ke Indonesia,’’ terangnya. [PURWO]

Membuat Kurungan sebagai Pekerjaan Sambilan

Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, memang sejak lama terkenal sebagai pusat produksi barang-barang kerajinan berbahan dasar bambu. Dusun Nglaban, Desa Karanganyar, misanya, sejak lama dikenal sebagai penghasil sangkar atau kurungan burung dan ayam. Padahal, barang-barang kerajinan itu dihasilkan hanya dengan semangat sinambi kalane nganggur alias sebagai pengisi waktu senggang ketika sepi pekerjaan bertani.

Salah seorang perajin sangkar itu adalah Parwi (39). Sebenarnya pekerjaan utama Parwi adalah bertani. Namun, kala senggang dan bila datang musim kemarau, ia lebih menyibukkan diri dengan membuat sangkar atau kurungan.

Dalam satu minggunya ia biasanya dapat menyelesaikan 10 buah sangkar burung atau 7 buah sangkar ayam.

Bambu sebagai bahan bakunya didapat dengan menebang di kebun sendiri. Namun, kadang juga membeli dengan harga Rp 3000/batang. Satu batang bisa dijadikan 5 sampai 7 buah sangkar burung, atau 3 buah sangkar ayam.

Parwi juga berperan sebagai penampung hasil produksi tetangganya, yang kemudian ia jual lagi ke pedagang sangkar di Tulungagung dan Trenggalek. Sepekan sekali ia kirim hasil produksi sangkar sebanyak 30 sampai 50 buah.

Harga sangkarnya sendiri untuk yang biasa Rp 10.000; sedang yang halus Rp 15.000, untuk sangkar ayam mulai dari Rp 15.000 sampai Rp 25.000, tergantung dari kualitasnya.

Dulu, Parwi pernah bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan kayu di Banjarmasin,Kalimantan selama 14 tahun. Pada tahun 2000 perusahaan itu melakukan PHK massal, Parwi termasuk yang ter-PHK.

’’Setelah kena PHK, dan mau cari kerja lagi sulit, terpaksa pulang kampung dan kembali bertani nyambi buat sangkar. Mengenai hasil, yan sing penting dapur tetap ngebul,’’ tuturnya.

Dari hasil produksinya dan laba dari sangkar yang dibeli dari tetangga-tetangganya menurut Parwi setiap bulannya ia bisa memberi tambahan belanja pada istrinya Rp 500.000. Bahkan, bisa lebih pada bulan-bulan ramai pembeli yaitu Juni sampai Agustus.

Pemasaran sangkar produk ngalban ini sebenarnya telah merambah berbagai wilayah namun itu dilakukan oleh pedagang pengepul yang berada di Tulung Agung sedangkan produsen tampaknya hanya memproduksi dan menjual hasil produknya ke para pengepul.

Kendala utama produk ini adalah proses produksinya. ’’Saya sendiri selalu berfikir bagaimana caranya meraut bambu supaya bisa benar-benar halus, dan tidak dilakukan secara manual, sehingga kwalitasnya bisa bersaing, pembuatannya bisa lebih cepat dan harga bisa terkatrol,’’ terangnya. [PURWO]

Menjadi Buruh untuk Berguru

Bisnis Perbaikan Jok Motor/Mobil

Ini kisah tentang seorang anak manusia yang tergolong gigih di dalam hidupnya. Untuk mendapatkan ketrampilan merawat dan memperbaiki jok motor/mobil, harjito menjadi buruh. Walau tanpa tanda/ijasah/sertifikat, Harjito boleh dikata telah lulus dengan predikat memuaskan. Kini, ia tak hanya berhasil mmbuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain.


Sudah 10 tahun usaha servis jok sepeda motor dan mobil ini digeluti Suharjito (27) warga Desa Salamwates, Kecamatan Dongko, Trenggalek. Ketrampilan memperbaiki dan memodifikasi jok kendaraan tidak datang begitu saja. Harjito memperoleh ketrampilan tersebut dengan jalan menjadi buruh atau ikut kerja pada pelaku servis yang telah lama menjalankan usahanya.

Selama 4 tahun ia ikut bekerja menjadi pembantu tukang servis jok di daerah Ngunut, Tulungagung. Selama itu ia betul-betul menekuni dan mencermati bagaimana memperbaiki jok yang baik dan dapat memuaskan konsumen.

Setelah dirasa sudah menguasai ketrampilan tersebut, barulah Harjito pulang kampung dan mencoba membuka usaha sendiri, menerapkan ketrampilan yang dimilikinya.

Dengan modal Rp 1 juta ia membeli 1 unit mesin jahit dan beberapa perlengkapan lainnya untuk mengawali usahanya. Maka dibukalah usaha servis jok sepeda motor dan mobil itu, berlokasi 50 m sebelah barat Kantor Kecamatan Dongko. Tanah atau lokasi yang ditempati itu milik seseorang warga Dongko yang berbaik hati, karena tak menarik uang sewa.

Di Dongko, bisnis ini tanpa pesaing. Karuan saja, Harjito sering kewalahan melayani konsumennya.

Untuk meperlancar pekerjaanya, kemudian ia merekrut satu orang karyawan. Memperbaiki jok sepeda atau mobil memang dituntut trampil dan teliti. Biasanya konsumen hanya mau tahu: jok motor/mobil-nya mesti tampil seperti baru!

Saat ini kebanyakan konsumen datang untuk mengganti kulit atau bungkus saja. Adapun biaya ganti bungkus untuk yang biasa Harjito memasang tarif Rp 25.000. Sedang yang bungkus kualitas bagus Rp 50.000. Selain itu ia juga melayani konsumen yang melakukan variasi dengan biaya sesuai dengan bahan yang digunakan dan model yang diminta konsumen.

Sedangkan untuk kendaraan roda 4 biaya atau borongannya untuk servis sedang atau tidak parah Rp 750.000. Namun bila servisnya total biasanya tarifnya sampai Rp 1,5 juta, dan pengerjaanya membutuhkan waktu antara 5 sampai 7 hari. Setelah dikurangi dengan pembelian bahan sisanya sebagai upah atau hasil berkisar antara Rp 500 ribu - Rp 750 ribu.

Dari usahannya ini setiap bulannya Harjito dapat memperoleh pemasukan tidak kurang dari Rp 1 juta. ’’Biasanya sebulan rata-rata dapat Rp 1 juta. Namun, sering juga hanya mendapat Rp 500 ribu,’’ ujarnya. ’’Tapi, sejak semakin banyaknya orang yang membeli kendaraan usaha saya ya cukup lumayan,’’ lanjut Harjito.

Saat-saat ramai menurut Harjito adalah saat musim penghujan tiba sedang untuk tanggalnya adakah pada tanggal-tanggal muda, selain itu biasanya pada bulan Agustus dan menjelang hari raya juga ramai konsumen.

Ditanya soal kendala, jawabnya, ’’Selama ini saya tidak banyak mengalami kendala. Konsumen saya selama ini tidak pernah ada yang komplain, paling-paling kendalanya ya bila sepi pelanggan pemasukan sedikit.’’

Tampaknya Harjito ayah satu anak dari hasil pernikahannya dengan Parmi (24) ini cukup menikmati pekerjaannya. [PURWO]

Nyantol di (Pisang) Negri Sendiri

Setelah Berburu Rezeki di Tiga Negara

Suroso(40) warga desa Keboireng Kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung ini di desanya dikenal sebagai pedagang pisang. Kegiatan usaha ini dijalani baru sekitar 2 tahun berjalan. Tiap hari Suroso berkeliling kampung untuk membeli pisang dari petani, terutama di wilayah Prigi dan Munjungan, dua kecamatan di Kabupaten Trenggalek.


Begitu berhasil mengumpulkan pisang sepenuh mobil pikcup barulah Suroso menjualnya ke Kediri, kepada pelanggan tetapnya. Paling tidak dalam sepekan ia dapat mengirimkan satu pikcup pisang. Selain sebagai pemasok tetap pada pedagang di Kediri, Suroso sendiri di daerahnya juga melayani kebutuhan bagi orang yang mau punya hajatan.

Usaha Suroso lainnya adalah melayani pesanan kelapa dan kayu bakar.

Sebetulnya perjalanan Suroso sampai akhirnya menekuni bisnis ini ceritanya cukup panjang. Awalnya Suroso bersama Sutini(34) istrinya kedua-duanya merupakan pernah bekerja sebagai TKI di luar negri. Sutini sendiri sebelum menikah dengan Suroso pernah bekerja di Arab Saudi.

Setelah menikah dan memperoleh seorang anak, Tantri (10) giliran Suroso yang menjadi TKI.

’’Ayahnya berangkat menjadi TKI ke Arab Saudi saat anak saya Tantri masih berumur 2 bulan,’’ ujar Sutini. Selama menjadi TKI ia dipekerjakan sebagai sopir karena memang itu keahlian yang dimiliki. Sayang, kelihatannya nasib baik belum berpihak pada Suroso.

’’Saat itu saya pulang belum sampai selesai kontrak, ya sekitar 1 th lebih sedikit, karena pembayaran gaji yang tidak pernah beres bahkan pernah saya eker-ekeran dengan majikan,’’ kenang Suroso.
Setelah pulang , dan dirumah sekitar satu tahun ia kembali ke Arab Saudi untuk mengadu nasib.

’’Untuk yang kedua kalinya saya bekerja di wilayah Al Bahar Madinah dan untungnya saya memperoleh majikan yang cukup baik. Pekerjaan utama saya adalah antar jemput anak majikan ke sekolah. Saat itu saya kerja sampai selesai kontrak. Bahkan, mungkin kerena puas dengan pekerjaan saya, saat pulang ke tanah air majikan masih memberikan uang atau semacam bonus,’’ terangnya.

Setelah kembali ke Indonesia, di rumah sepertinya hanya singgah sebentar saja karena ia kembali menjadi TKI dengan tujuan Malaysia.

Sepulang dari Malaysia, Suroso berpikir untuk berhenti menjadi TKI. Hal itu sudah pula diutarakan kepada istrinya. Namun, mendadak ada tawaran seorang teman yang bekerja di Brunai yang mengatakan bahwa ada keluarga yang membutuhkan sopir dan seorang pembantu, syukur-syukur pasangan suami-istri.

Akhirnya, Suroso dan istrinya memutuskan untuk berangkat bersama istrinya menjadi TKI di Brunai Darussalam. Menurut penuturan Sutini, mereka memperoleh majikan yang baik.

’’Saya bekerja pada Tuan PG Awalludin yang masih termasuk kerabat Sultan Brunai. Suami saya menjadi sopir dan saya sendiri mengurusi segala sesuatu keperluan dapur mulai belanja sampai memasak. Saya bekerja pada keluarga Awalludin cukup kerasan, orangnya sebagai majikan cukup baik hanya saja disiplin sekali,’’ jelas Sutini.

Pulang Kampung
Karena terus dikangeni anak, Suroso bersama istrinya tak sampai finish kontrak di keluarga Awalludin. Pulanglah mereka ke tanah air.

Suroso dan sang istri lalu membeli beberapa petak tanah sawah dan pekarangan di kampung halaman.

’’Tanah dan rumah yang saya tempati ini juga saya beli dan bangun dari hasil kerja menjadi TKI, dan saya juga membeli dua petak sawah sebagai celengan,’’ tutur Suroso.

’’Sebagian sisa uang saya jadikan modal usaha dagang pisang, dan sebagian saya tabung untuk persiapan biaya sekolah anak,’’ imbuh Sutini menegaskan.

Untuk dagang pisang ini sebetulnya tidak membutuhkan modal yang terlalu besar, dengan uang Rp 5 juta sudah cukup untuk membeli 1 pikcup pisang dan segala biaya operasional.

Dari setiap pengiriman satu pikcup pisang, Suroso akan memperoleh hasil tidak kurang dari Rp 300.000. Bila dalam satu bulan bisa mengirim sebanyak empat kali maka setiap bulannya Suroso akan mengantongi laba sebesar Rp 1.200.000.

’’Dagang pisang ini asal kita pandai menaksir, untungnya sudah jelas. Apalagi setiap ada perubahan harga pedagang yang setiap minggunya saya kirimi pisang selalu memberitahu via telepon, jadi ketika saya membeli dari petani ataupun pedagang kecil hargannya selalu dapat saya sesuaikan,’’ tutur Suroso.

Tenteram
Tampaknya Suroso saat ini benar-benar telah fokus pada usahannya. Apalagi bila musim atau bulan baik, dimana musimnya orang-orang melakukan hajatan, maka selain setoran rutinnya, Sutini juga melayani permintaan atau pesanan pisang, kelapa, kayu bakar untuk keperluaan hajatan bagi masyarakat sekitarnya.

’’Biasanya saya melayani pesanan bagi orang yang mau punya hajat, dan pesanannya saya antar sampai dirmah pemesan. Adapun pembayarannya dilakukan setelah selesai hajatan biarpun begitu untungnya pun cukup lumayan,’’ ujar Sutini tanpa mau menyebutkan besar nominalnya. [PUR]

Pengusaha Rengginang di Trenggalek kurang Kreatif

Ada yang menyebutnya rengginang, tetai ada pula yang menamainya kresek. Kue atau jajanan yang terbuat dari beras ketan ini sepertinya merupakan kue yang wajib ada dalam setiap acara hajatan ataupun pesta pernikahan bagi masyarakat di wilayah Trenggalek, Ponorogo, dan Pacitan, khususnya warga pedesaan. Kue ini termasuk kue khas yang sudah tak ketahuan lagi siapa pencipta pertamanya.

Krecek biasanya dibuat dalam bentuk bundar, warnanya putih, coklat kehitaman (yang terbuat dari ketan hitam) dengan rasa khas gurih dan renyah, dan sangat cocok bila dinikmati sebagai lalapan minum kopi atau minum teh.

Sapngatun (57), ialah salah seorang pembuat krecek di Desa Nglebeng, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Di kampungnya, di RT 15, Dusun Karanganom, ada sepuluh orang pembuat krecek, termasuk Sapngatun.

Bikin krecek itu gampang. Menurut Sapngatun, mula-mula beras ketan dibersihkan/dicuci sampai bersih lantas direndam selama 3 - 4 jam, kemudian beras ketan tersebut ditanak/dikukus dengan sedikit diberi garam. Setelah hampir masak, lalu diangkat, kemudian dalam keadaan masih hangat dibentuklah menjadi bulatan pipih dengan berbagai ukuran, dan diletakkan pada anjang, yakni anyaman bambu yang dilapisi dengan merang (tangkai padi) supaya tidak lengket.

Selanjutnya krecek yang masih basah tersebut dikeringkan di bawah panas matahari selama satu hari. Bila panasnya bagus krecek sudah kering dan siap dikemas/digoreng.

Sapngatun sudah sejak 1980 menggeluti usaha pembuatan krecek ini dan rata-rata setiap harinya bisa menghabiskan 10 kg beras ketan, dan ia menjualnya setiap 5 hari sekali, sebanyak 50 kg krecek mentah.

’’Setiap hari saya memasak 10 kg ketan, dan saya kerjakan sendiri, hanya dibantu suami saya. Sebelum subuh semua itu mulai saya kerjakan, dan paling lama sampai pukul 8.00 WIB pekerjaan sudah kelar semua tinggal menjemur saja,’’ ungkap Sapngatun.

Setelah kering krecek tersebut siap dipasarkan dan ternyata pemasarannya pun tidak terlalu sulit. Setiap 5 hari sekali Sapngatun cukup membawa kreceknya ke Pasar Panggul, sekitar 2 km dari rumahnya. Ia sudah memiliki pelanggan tetap yaitu pedagang dari Pacitan, Lorok, dan Ponorogo, dan harus menyediakan 50 kg krecek.

Pedagang-pedagang tersebut nantinya yang akan memasarkan ke berbagai daerah baik dalam bentuk krecek mentah maupun yang telah digoreng terlebih dahulu

Sapngatun menjual kreceknya dengan harga Rp 7.500/kg untuk ukuran besar terdiri dari 10 biji, ukuran sedang berisi 15 biji sedangkan ukuran kecil 20 sampai 25 biji. Untuk produk yang diberi capuran gula merah ia jual Rp 10.000/kg.

Bila saat ini harga beras ketan Rp 5.200/kg dan jika telah menjadi krecek bisa laku Rp 7.500, maka Sapngatun setiap 5 hari dapat memperoleh hasil Rp 115.000 dari hasil penjualan 50 kg krecek, dan dalam satu bulan akan diperoleh hasil 6 x Rp 115.000 = Rp 690.000.

’’Hasilnya cukup lumayan apa lagi dan idhep-idhep mencari kesibukan apalagi kedua anak saya sudah berumahtangga sendiri-sendiri,’’ tutur Sapngatun.

Kendala utama pembuatan krecek ini satu-sattunya adalah bila datang musim penghujan, kesulitannya pada proses pengeringan yang memerlukan waktu lama. Padahal, bila krecek tidak segera kering akan mengakibatkan mutunya kurang bagus, apalagi bila sampai terkena gerimis, biarpun sedikit dapat dipastikan krecek akan hancur bila digoreng, dan kerugian bagi saya karena untuk menjaga mutu krecek tersebut tidak akan saya jual.

Sebetulnya, menurut Sapngatun, usaha pembutan krecek ini cukup menjanjikan. Permintaan terus meningkat, apalagi bila menjelang hari raya dan musim orang hajatan. Sayangnya, usaha pembuatan krecek ini belum tersentuh oleh teknologi baik dari segi pengeringan, kemasan, dan ragam modelnya. [PUR]

Memroduksi Gula Jawa

Geno Jadi Pioner di Kabupaten Trenggalek

Sudah sekitar 2 tahun berjalan, perekonomiaan masyarakat Kecamatan Pule makin menggeliat. Setelah pembudidayaan sapi perah menunjukkan keberhasilasn, kini di kecamatan tersebut, tepatnya di Desa Krajan (300 m sebelah barat Pasar Pule), dikembangkan pabrik pengolahan gula jawa dari tebu.


Pelaku sekaligus pemilik usaha ini adalah Geno (50). Ayah seorang anak hasil dari pernikahannya dengan Wagiyem (45) ini, baru 2 bulan mendirikan usaha penggilingan tebu untuk dijadikan gula jawa.

Usaha itu dibuka Geno setelah medapatkan saran dari orang-orang yang berpengalaman bahwa membuat gula jawa memiliki prospek yang cukup menjanjikan.

Di Wilayah Pule, sudah 2 tahun ini banyak ladang penduduk yang telah disulap menjadi ladang tebu. Menurut salah seorang pegawai Kecamatan Pule, di seluruh wilayahnya terdapat lebih dari seratus hektar lahan tebu.

''Awalnya saya ragu, namun dengan niat ingsun dengan modal Rp 30 juta saya gunakan untuk membuat rumah produksi serta membeli 1 set mesin giling bekas beserta 9 buah jedhi, yang saya beli dari Madiun,'' ungkap Geno.

Didukung Keluarga
Geno sendiri mencoba terjun pada usaha pembuatan gula jawa ini telah mendapat dukungan dari keluarga, bahkan anak menantunya (Rahmat Mustofa) yang saat ini bekerja menjadi TKI di Korea.

''Saya sarankan juga pada Mustafa bila dapat uang, daripada untuk membangun rumah, lebih baik untuk modal buka usaha. Mustafa sendiri mengiyakan,'' tuturnya.

Dengan 4 orang karyawan, dalam sehari pabrik milik Geno mampu menggiling tebu sebanyak 5 ton. Dari olahan tersebut Geno bisa memperoleh 5 kuintal gula jawa. Jumlah produksi, kata Geno, bisa meningkat pada bulan Agustus hingga September. Hal ini karena pada bulan-bulan itu merupakan puncak musim kemarau sehingga kandungan gula pada tanaman tebu bisa optimal.

Untuk mencukupi kebutuhan bahan baku produksinya, Geno sementara ini cukup membeli tebu dari penduduk di Wilayah Pule dengan harga Rp 24.000/kuintal. Saat ini, harga gula jawa Rp 3.500/kg atau Rp 350.000/kuintal.

Bila dalam satu hari bisa giling sebanyak 5 ton tebu dengan harga Rp 1.200.000, akan dihasilkan 5 kuintal gula seharga Rp 1.750.000. Setelah dikurangi biaya operasional Rp 100.000 dan gaji karyawan setiap kuintal gula sebesar Rp 20.000 = Rp 100.000, Geno akan memperoleh penghasilan bersih Rp 350.000/hari.

Saat ini pemasaran gula hasil produksi Geno cukup dijual ke pabrik kecap yang berada di Desa Ngetal, Kecamatan Pogalan, Trenggalek. Dalam waktu dua bulan ini, Geno sudah dapat mengirimkan gula sebanyak 2.5 ton ke pabrik kecap tersebut dan masih ada sekitar 1.5 ton yang siap kirim.

Kendala
Kendala yang dialami sebetulnya tidak banyak. ''Mengenai kendala, dari sektor produksinya, belum ada. Ya, paling-paling urusan mesin gilingnya dan itu wajar. Pasalnya, saya akui ini hal baru bagi saya dan karyawan saya. Bagi saya, saat ini kendala utama adalah permodalan untuk membeli bahan baku bila saatnya tebu panen raya,'' ujarnya.

Saat ini, paling tidak Geno telah menjadi pelopor di Trenggalek, khususnya di Kecamatan Pule. Pasalnya, saat ini di kecamatan tersebut Geno-lah satu-satunya warga yang berani mendirikan pabrik pengolahan gula jawa. Tidak hanya di Kecamatan Pule, bahkah mungkin di Kabupaten Trenggalek, Geno-lah satu-satunya. [PUR]

Tapioka Mendongkrak Harga Singkong

Ketela pohon merupakan komuditas pertanian yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Trenggalek terutama warga pedesaan. Disamping sebagai bahan makanan pokok, untuk menambah nilai jual, ketela pohon dapat diolah menjadi bermacam jenis makanan (jajanan) semisal kripik, gethuk, alen-alen, dan sebagainya. Selain itu, ketela pohon dapat diolah atau diproses menjadi tepung tapioca sebagai bahan dasar berbagai macam kue.

Salah satu pengsaha yang melakukan proses pembuatan tepung tapioka adalah Aminah (49) warga Dusun Oro-Oro Ombo Desa Pogalan, Kecamatan Pogalan, Kabupatan Trenggalek. Di Desa Pogalan ada sekitar 20 orang yang memiliki usaha pembuatan tepung tapioka. Aminah, bahkan memulai bisnisnya di pem buatan tepiung tapioka ini sejak 1975.

’’Usaha pembuatan tepung tapioka (sari ketela) ini sudah sejak lama saya jalani yaitu sekitar tahun 1975. Awalnya saya masih menggunakan parut biasa. Setelah ketela dikupas kulitnya lantas diparut. Hasil parutan tersebut diperas dengan menambahkan air secukupnya. Air perasan itu dibiarkan selama 1 sampai 2 jam maka tepungnya akan mengendap terpisah dari airnya. Selanjutnya, antara tepung dan air dipisahkan dan tepung diambil untuk dijemur sampai kering. Hasil penjualan tepung kala itu ya cukup untuk menambah kebutuhan dapur,’’ tuturnya mengenang.

Kini usaha pembuatan tepung tapioka yang dilakukan Aminah prosesnya sudah menggunakan mesin yang kemampuan produksinya cukup besar. Penggunaan alat-alat mekanik ini dilakukan secara bertahap.

’’Penggunaan parut biasa saya lakukan dari tahun 1975 hingga 1980, sampai suatu saat ada pembeli tepung saya yang bernama Koh Jing (dari Jawa Tengah) yang memnyarankan untuk menggunakan parutan mekanik, bahkan Koh Jing sendiri yang mencarikan dan merakit parutan tersebut,’’ ujarnya.

’’Sejak menggunakan parut mekanik yang digerakkan memakai roda sepeda produksi tepung yang saya hasilkan mengalami peningkatan yang cukup pesat, yang biasanya sehari paling banter 15 Kg sejak itu bisa mencapai 25-30 kg tepung,’’ lanjut Aminah.

Aminah sendiri selalu mengikuti perkembangan mengenai seluk-beluk tepung tapioka khususnya yang berkaitan dengan proses produksinya hingga sekarang semua peralatan produksinya sudah menggunakan mesin yang dibeli secara bertahap dengan menghabiskan biaya Rp 25 Juta.

Saat ini produksi tepung tapioka yang dihasilkan mencapai 10 Ton setiap bulannya. Untuk menghasikan tepung tersebut Aminah dibantu oleh 12 orang karyawan, yang masing masing karyawan memiliki tugas sendiri-sendiri. Ada yang kebagian mengupas ketela, nggiling(mengoperasikan mesin parut) serta menjemur tepung.

Kapasitas produksinya sendiri menurut Aminah tergantung dari banyak sedikitnya stok ketela.”Kalau pas banyak kiriman ketela sehari bisa giling 3 sampai 4 ton ketela, tapi bila sepi paling-paling 1 ton,’’ ujarnya.

Hujan Jadi kendala
’’Kendala utama produk ini adalah bila saat musim penghujan tiba. Yaitu mengalami kesulitan dalam pengeringganya. Yang biasanya bisa kering dalam 2 atau 3 hari bisa sampai 1 minggu, sehinngga mengakibatkan turunnya Produksi,’’ ujar Aminah.

Setiap 1 Ton ketela paling tidak bisa didapatkan 2 kuintal tepung tapioka. Untuk mencukupi kebutuhan bahan bakunya Para pengusaha tepung termasuk Aminah dipasok oleh pedagang ketela dari berbagai wilayah antara lain dari Kecamatan Dongko, Pule Watulimo, Prigi, Bendungan dan Daerah Pogalan sendiri.

Harga ketela saat ini Rp 400, setiap kilonya bila pasokan lancar atau musim panen raya sebulan bisa nemcapai 50 ton ketela, dengan hasil tidak kurang dari 10 ton tepung tapioka.

Pemasaran tepung tapioka produksi Pogalan ini telah merambah berbagai daerah, yaitu Blitar, Tulungagung, Kediri. Bahkan, Aminah punya pelanggan dari Bekasi dan Jakarta yang setiap 3 bulan sekali minta dikirimi 5 ton tepung.

Saat ditanya perihal laba setiap bulannya Aminah enggan untuk menjelaskan. Namun, bila kalkulasinya ketika saat ini harga tepung tapioka Rp 2.500/kg maka hasil penjualan dari 10 ton tepung akan diperoleh Rp 25 juta, lantas dikurangi pembelian ketela sebanyak 50 ton kali Rp 400 = Rp 20 juta maka hasilnya ada Rp 5 juta . Kemudian dari hasil penjualan gamblong (ampas ketela) Rp 1 juta, total Rp 6 juta.

Dari hasil Rp 6 juta tersebut setelah dikurangi upah karyawan dan biaya operasional, menurut Aminah, masih ada sisa Rp 3,5 juta. Dapat diambil kesimpulan bila laba bersihnya paling tidak Rp 2,5 juta/bulan.

Tidak mengherankan bila melihat hasil yang cukup besar tersebut Aminah bisa membiayai kuliah kedua anak perempuannya, dan memberi modal usaha sejenis pada anak laki-lakinya. [PUR]

Udik Setia Adi, Pembuat Kerajinan Kayu

Dari Peralatan Dapur Rambah Kerajinan Kayu

Sepuluh tahun lalu, Malang dikenal sebagai produsen peralatan dapur berbahan kayu, seperti misalnya cobek, sendok nasi, bakul dan masih banyak lagi.


Namun seiring masuknya produk-produk peralatan dapur dari luar negeri yang lebih murah dan berkualitas, produk-produk dari Malang mulai tersisih. Padahal ratusan masyarakat Malang hidup dari bisnis ini, salah satunya Udik Setia Adi.

Untuk itulah pria yang akrab dipanggil Udik ini memutar otak bagaimana membangkitkan kembali usaha ini.

’’Dulu produk-produk rumah tangga kami terpajang di jalan-jalan. Namun, sudah lima tahun lalu usaha ini mati suri,’’ ungkapnya didampingi istrinya ditemui saat menggelar pameran di Surabaya beberapa waktu lalu.

Tak mau berpangku tangan, Udik memutar otak agar usaha ini dapat bangkit kembali. Hingga pada 2002 lalu datang seorang pengusaha Surabaya ke rumahnya. Ia menyodorkan beberapa contoh kerajinan kayu yang di produksi dari China.
’’Saya ditantang untuk membuat kerajinan seperti contoh. Kalau bisa dia akan pesan banyak untuk diekspor,’’ ungkapnya.

Udik kembali bersemangat untuk menggairahkan usaha turun temurun dari orangtuanya tersebut. Menggunakan bahan dasar kayu MDF (kayu lapis buangan pabrik) dan modal Rp 1 juta, Udik membuat aneka kerajinan yang diinginkan pengusaha tersebut, yakni pigura kayu, rantang kayu, lemari kayu dan gantungan baju kayu. ’’Alhamdulillah ternyata dia puas dengan buatan saya sehingga dia kemudian pesan dalam jumlah besar,’’ ungkapnya yang kemudian memperoleh pesanan sebanyak satu kontainer untuk di ekspor ke China.

Pria yang kini tinggal di Batu, Malang, ini sekarang mulai banyak kebanjiran order. Ada 40 buah kerajinan kayu yang siap dihasilkan oleh Udik. Produksinya kini juga merambah kota-kota besar di Indonesia dan luar negeri. Apalagi, lanjutnya, bahan dasar kayu sangat mudah didapatkan di Malang dan sekitarnya. “Rata-rata bahannya menggunakan kayu MDF, kayu pinus dan kayu damar.

Kini Udik telah memiliki 14 orang karyawan dengan produksi sebanyak 30-50 model kerajinan setiap hari mampu dihasilkan. Harga yang dipatok bervariasi sesuai dengan tingkat kesulitan. Yang paling murah masih peralatan dapur konvensional yang dijual antara Rp 3.000 – Rp 30 ribu. Sedangkan yang sudah menggunakan motif-motif modern seperti motif tokoh kartun dan robot yang ditempel di rantang kayu, bangku, meja hingga lemari, menurut Udik prosesnya agak rumit sehingga harganya mahal. ’’Kalau yang ada gambar kartunnya paling murah Rp 30 ribu untuk rak buku atau rantang susun hingga ratusan ribu rupiah,’’ terangnya.

Ke depan, Udik ingin membangun toko khusus yang menjual kerajinan kayu buatannya. Sayangnya saat ini dana masih menjadi kendala utama. Udik mulai mengembangkan pasar kerajinan kayu ke peralatan rumah tangga yang saat ini banyak peminatnya seperti lemari kayu, box bayi, dan kursi anak. Meski begitu hingga kini Udik juga masih bertahan dengan memproduksi peralatan dapur turun temurun. [DEWI]

Lilik Sriyati, Produsen Telur Asin Aneka Rasa

Rasa Original hingga Buah-buahan

Pernah merasakan telur asin rasa strawberry atau rasa coklat? Kedengarannya aneh, namun setelah dicoba ternyata rasanya sangat lezat. Telur asin aneka rasa ini hanya bisa didapatkan di tangan Lilik Sriyati, pembuat telur asin bermerek ’Ilham’.


Wanita yang berdomisili di Mastrip Waru Gunung Karang Pilang Surabaya, punya ide menciptakan ragam rasa telur asin setelah banyaknya pesanan telur asin datang padanya.

’’Waktu itu sekitar tahun 2002 saya mulai bisa membuat telur asin dan coba-coba jualan. Di hari pertama saya jualan, saya sudah mendapatkan pesanan telur asin 400 butir,’’ kenangnya.

Bermodalkan Rp 300 ribu, wanita berputra tiga ini mencoba memenuhi pesanan yang datang padanya dan ternyata pemesan puas. Hari-hari berikutnya, Lilik mulai kebanjiran pesanan. Setiap butir telur bebek mentah ia beli seharga Rp 750. Sedangkan telur yang sudah jadi telur asing matang dihargainya seharga Rp 1.500. Itu artinya Lilik bisa meraup keuntungan 100 persen. Namun hal ini seimbang dengan proses pembuatan telur asin yang membutuhkan waktu lama, bahkan hingga seminggu.

Namun sayangnya, rasa telur asin, menurut Lilik hanya itu-itu saja, asin. Melihat banyaknya peluang di bisnis ini, ia kemudian mencoba membuat beragam rasa telur asin. ’’Biar pelanggan saya tidak bosan. Apalagi biasanya telur asin ini banyak dipesan untuk acara pernikahan. Kalau rasanya bermacam-macam kan lebih menarik,’’ ungkapnya.

Ia kemudian mengawali pembuatan telur asin dengan rasa bawang. Caranya, sebelum telur asin dimasak, Lilik merendam telur asin mentah ke dalam air bawang selama berjam-jam. Hasilnya setelah dimasak, telur asin rasa bawang lebih nikmat dan gurih. ’’Saya sampai kewalahan memenuhi pesanan,’’ terangnya.

Sukses dengan rasa bawang, Lilik mencoba rasa yang lain, yakni rasa strawberry dan coklat. Caranya sedikit lebih rumit, setiap telur sebelum dimasak disuntikkan essence dari rasa yang dikehendaki. Rasa strawberry misalnya, berarti Lilik harus menyuntikkan essence rasa trawberry ke setiap telur. Setelah dimasak, selain rasanya bak makan buah strawberry asin, warna telur pun jadi lebih cantik. Merah untuk rasa strawberry dan coklat untuk rasa coklat.

Sayangnya kemajuan bisnis ini tidak diimbangi dengan kapasitas penghasil telur bebek setiap hari. Untuk 400 telur saja, Lilik harus menunggu selama seminggu lebih. Apalagi menurutnya, saat ini peternak telur bebek sudah sangat langka.

’’Untuk wilayah Surabaya, peternak bebek sudah jarang. Jadi, saya harus ke Mojokerto, Sidoarjo, atau Gresik untuk mencari telur bebek yang berkualitas,’’ terangnya. Tak jarang Lilik berani memberikan uang muka pada peternak bebek, namun tiba hari yang ditentukan ternyata bebek-bebek mereka tidak mau bertelur.

Padahal kualitas telur bebek mentah sendiri nantinya akan sangat mempengaruhi kualitas telur asin, rasa, hingga masir tidaknya telur.

Apabila ingin menghasilkan telur asin yang nikmat dan masir, maka telur-telur yang dihasilkan berasal dari bebek-bebek sawah yang masih mengonsumsi makanan alami dan bukan makanan ternak instant.

Tidak itu saja, proses pembuatan telur asin sendiri juga berpengaruh terhadap rasa telur. Mulai pemilihan telur, proses pembungkusan dengan garam dan tanah hingga ke proses pengeraman dan pemasakan membutuhkan waktu hingga tujuh hari.

’’Jadi kalau mau pesan telur asin ke saya, paling tidak harus sebulan atau tiga minggu sebelumnya,’’ ungkapnya.

Telur-telur buatan Lilik kini mulai merambah ke wilayah luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Untuk pemasaran saat ini Lilik dibantu ketiga anaknya dan suaminya. Selain menjual telur asin matang, Lilik juga menjual telur-telur asin mentah yang masih terbungkus kendil tanah. Untuk satu kendil telur mentah isi 10 buah dihargainya Rp 14 ribu. Sementara untuk telur matang ia jual eceran Rp 1.500-an. Ia berharap makanan tradisional ini masih bisa bertahan, salah satunya adalah dengan masih bertahannya petani bebek. [DEWI]

Taman Wisata Sengkaling

Dilengkapi Taman Satwa, Kapal Misteri, hingga Arena Go-Kart

Meski telah berusia lebih dri 20 tahun, tempat wisata yang dulu dikenal sebagai Pemandian Sengkaling ini tetap menjadi pilihan pengunjung terutama anak-anak. Pasalnya, pihak manajemen Sengkaling telah memperbarui dan melengkapi segala fasilitasnya. Mulai taman satwa yang dilengkapi goa buatan, arena Bom-bom Car dan Go-Kart. Beberapa fasilitas yang telah lama ada seperti Kapal Misteri Bajak Laut dan berbagai kapal yang disewakan juga telah berwajah ‘baru’.

Fasilitas kapal yang disewakan misalnya. Bila dulu hanya tersedia perahu motor seharga Rp 2.500 per orang, sepeda air Rp 10 ribu dan sepeda motor air seharga Rp 20 ribu, maka kini telah tersedia Bumper Boat dan Kiddy Ride. Bumper Boat adalah kapal yang menggunakan mesin motor yang bisa berjalan memutar diatas air. Permainan ini bisa dinikmati dengan merogoh kocek Rp 10 ribu per boat. Sedangkan Kiddy Ride bisa dinikmati dengan Rp 1.000 per koin. Masing-masing, fasilitas ini bisa dimainkan selama15 menit di sebuah danau buatan yang udaranya cukup segar.

Dengan harga tiket masu 10 ribu, Anda bisa menikmati segala keindahan dan kesejukan alam pinggiran kota Malang, serta berbagai permainan seru mulai pukul 06.00–17.00 WIB. Kolam renang Sengkaling yang terletak di bagian bawah masih nampak bersih dan segar hasil air pegunungan khas Malang. Selain itu, masih ada pula kolam renang in door yang berada di atas Kapal Misteri Bajak Laut yang dilengkapi dengan restoran dan live music. Tapi, untuk memasuki area ini Anda harus menyiapkan dana tambahan lho.

Bila ingin menghabiskan waktu untuk bermain permainan seru, Go-Kart dan Bom-bom Car adalah pilihannya. Bila arena Bom-bom Car berada di dek teratas tepatnya berada di atas fasilitas sewa kapal, maka arena balap Go-Kart berada di dekat pintu keluar.

Tak puasa sampai disitu, pengunjung Sengkaling juga bisa menikmati berbagai panganan khas Malang seperti bakso Malang atau bakso bakar di berbagai restoran yang telah disediakan. Ada pula makanan khas Jawa Timur lainnya.disini, Anda juga bakal dihibur dengan live music.

Puas bermain, bagi Anda yang ingin berbelanja oleh-oleh juga telah tersedia. Pasalnya, dia erea parkir mobil telah disediakan sebuah pasar kecil yang menyediakan berbagai buah dan sayur segar hasil kota pegunungan tersebut. Seperti apel Malang, wortel, buncis, jeruk dan lain sebagainya. Selain itu juga ada aneka peralatan dapur seperti wajan, laya dan uleg-uleg dari batu serta berbagai mainan anak baik yang khas seperti kolintang hingga mobil-mobilan sampai boneka hasil kerajinan tangan warga Malang.

Satu-satunya pemandangan yang tak sedap dipandang mata adalah kolam ikan yang berada tak jauh dari pintu masuk yang terlihat kotor dan tak terawat. Airnya nampak keruh dan sedikit. Di sana-sini juga tampak lumut. [NUY HARBIS]

13 Tahun Membakar Jagung


Panen Rupiah Saat Libur Sekolah

Berjualan kecil-kecilan seperti jagung bakar di tempat wisata rupanya cukup menguntungkan. Siti Zaenab (39) misalnya yang telah 13 tahun memasarkan jagung bakarnya di tempat wisata Sengkaling. Untuk menyiasati agar tetap untung, ia hanya berjualan saat ramai pengunjung saja. Penasaran bagaimana kisahnya?


13 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menekuni suatu pekerjaan. Tapi itulah yang dilakukan Siti Zaenab yang membuka stan jagung bakar di kawasan Taman Wisata Sengkaling, Malang. Ia cukup beruntung lantaran tinggal di Kelurahan Sengkaling, dirinya bisa menyewa sebuah stan untuk menggelar dagangannya sejak 1994.

’’Pihak Departemen Sengkaling memberi prioritas bagi warga Kelurahan Sengkaling untuk berjualan disini,’’ aku Zaenab kepada Peduli.

Apalagi, sang suami telah 23 tahun mengabdikan diri sebagai karyawan manajemen sebuah rokok yang mengelola tempat wisata ini. Sehingga, ia bisa mendapatkan lokasi stan yang cukup strategis yaitu di jalan protokol tempat bermain Sengkaling. Tapi, kemudahan ini tak lantas membuatnya terbebas dari biaya sewa yang harus ditanggungnya lho. Setiap bulan, Zaenab harus mengeluarkan uang Rp 200 ribu untuk stannya. Cukup murah memang. Tapi, kalau dihitung dalam setahun tarif sewa stannya mencapai Rp 2,4 juta.

’’Tapi, penghasilannya cukup lumayan untuk bantu-bantu suami membesarkan anak,’’ ujarnya seraya tersenyum.

Buktinya, setiap hari Zaenab mampu menghabiskan rata-rata 150 biji jagung bakar setiap harinya. Malah, saat libur sekolah, Lebaran atau Natal dan tahun baru pendapatannya meningkat 2 kali bahkan hampir 3 kali lipat karena jagung bakarnya laku 300 hingga 400 biji. Bila dihitung dengan rupiah, omzet per harinya rata-rata Rp 300 ribu per hari.

Penghasilannya ini diperoleh dari selisih harga jagung baker yang cukup lumayan. Bila jagung bakarnya dijual seharga Rp 2.000, maka harga beli per jagung mencapai tak sampai Rp 400. ’’ Saya biasa beli 1 ombyok (isi 22 biji-Red) seharga Rp 8.000,’’ akunya.

Tapi, tak semua jagung layak dijual lho. Terkadang ada beberapa yang biji jagungnya jarang.Namun, ia juga tak perlu keluar ongkos untuk trasportasi lantaran jagung yang dibelinya diantar langsung ke rumah. Sehingga, pada saat libur sekolah Zaenab bisa panen penghasilan dengan membawa pulang Rp 700 ribu saban hari.

’’Paling ramai kalau pas libur panjang sekolah, tahun baru, Lebaran Saya bisa bawa pulang Rp 700 ribu per hari. Paling sepi Saya hanya dapat Rp 200 ribu itu kalau hari biasa. Tapi, larisan biyen mbak (sebelum krismon-Red). Kalau dulu Saya bisa dapat rata-rata Rp 700 ribu sampai 800 ribu per hari,’’ ungkap ibu dua anak ini.
Menurut Zaenab, omzetnya yang menurun drastis ini banyak disebabkan adanya krisis moneter yang mengakibatkan sepinya pengunjung tempat wisata Sengkaling.

’’Tingginya kebutuhan hidup membuat orang jarang berkunjung ke tempat-tempat wisata. Paling banter pas liburan sekolah dan hari libur saja,’’ sambungnya.

Selain itu, jenis dagangannya yang semakin berkurang juga menjadi penyebab berkurangnya pendapatan Zaenab. Pasalnya, dulu ia juga menyediakan minuman seperti soft drink atau teh dingin sebagai pelengkap. Meski tak banyak dapat untung, namun Zaenab bisa mendapatkan harga beli dua kali lipat lebih murah dari distributor pilihannya. Jika setiap botolnya seorang penjual mendapat Rp 200 Zaenab mampu membawa pulang Rp 400. ’’Tapi sudah 1 bulan ini semua minuman dikelola dari pihak manajemen Sengkaling. Jadi Saya nggak bisa belanja lebih murah Rp 200 dari luar. Makanya Saya putuskan nggak berjaulan minuman lagi,’’ papar Zaenab yang kini mengganti dagangannya dengan cilok (pentol mini-Red) ini.

Meskipun demikian ia tetap bersyukur karena usahanya ini mampu membatu keuangan keluarga untuk membesarkan dua orang anaknya yang kini duduk di bangku kelas 2 SMP dan 3 SMA. Kuncinya hanya satu, yaitu pandai-pandai memilih hari paling ramai untuk menggelar dagangan.

’’Nggak perlu berjualan setiap hari kalau nggak mau malah rugi besar. Cukup hari sabtu dan Minggu, tanggal merah sama libur sekolah saja. Wong kalau hari biasa sepi pengunjung. Rugi tenaga dan kulakan jagungnya kalau nekad jualan ,’’ terang penjual yang mulai berdagang sejak pukul 06.00 sampai 17.00 WIB ini.

Alhasil, ia tak pernah membuka stan jagung bakarnya di kawasan ini pada hari biasa selain hari libur. Khusus saat libur sekolah ada bulan Juni–Juli, Zaenab meluangkan waktunya untuk berjualan setiap hari non stop selama sebulan. Bagaimana, Anda ingin mencoba bisnis kecil-kecilan ini? [NUY HARBIS]

Budidaya Buah Naga [2]

Cara Budidaya yang Baik untuk Produktivitas

Buah naga mudah sekali tumbuh. Meski begitu, penerapan teknik budidaya yang baik menjadi kenicayaan agar tinggi produktivitasnya dan bagus kualitas buahnya sehingga memberikan keuntungan optimal. Untuk itu, serangkaian proses mesti dilalui, meliputi penyiapan lahan dan perlengkapan tanam, penyiapan bibit, penanaman, pemupukan, pembumbunan, penyiraman, pemberantasan hama dan penyakit, pemangkasan, dan seleksi bunga dan buah.


Ada 2 sistem budidaya, menurut Tulus Subagyo. Yakni, sistem tunggal dan sistem jemuran (ganda). Dua sistem ini punya kesamaan, yakni pemakaian pilar beton untuk menyangga tanaman karena buah naga merambat. Dalam sistem tunggal, pilar ditanam sedalam 30 cm. Ukuran pilar adalah tinggi 2 m, bersisi, dan lebar tiap sisi 10—15 cm. Tiap sisi ditanam 1 bibit yang disiapkan lewat setek. Sehingga, untuk 1 pilar ditanam 4 bibit. Di atas pilar diberi ban yang disilang besi cor.

Dalam sistem ganda, dibuat bedeng berukuran panjang 4 m, lebar 1,5 m, dan tinggi 40 cm. Jarak tanam antarpilar 2 m. Tanaman dibuat berhadapan. Jarak antarbibit 30 cm. Tiap 1 bedeng ditanami 26 bibit. ’’Sistem ini lebih irit dan bisa menampung bibit lebih banyak,’’ kata Tulus.

Pupuk
Pupuk sangat penting karena buah naga rakus nutrisi. Jika kekurangan pupuk, batang akan kecil. Akibatnya, produksi terganggu. Pemupukan buah naga dilakukan saat awal tanam, sebelum setek terlalu besar.

Selanjutnya, tiap 3 bulan sekali hingga akhir produksi (15 - 20 tahun), tanaman dipupuk dengan kotoran sapi/kambing per tiang 30 kg. Kemudian, untuk merangsang bunga, menjelang pembumbunan sekitar Agustus - September, ditambahkan unsur fospor dan kalium organik 2 kali/bulan selama 2 bulan.
Saat berbuah, pupuk kandang tetap diberikan 2 minggu sekali. Pembumbunan tanah dilakukan untuk merangsang pertumbuhan akar di punggung batang. Ini dilakukan bersamaan dengan pemupukan.

Penyiraman
Tanaman buah naga sangat memerlukan air, tapi tidak boleh terendam karena akan menyebabkan batang busuk. Penyiraman dilakukan hanya jika tanah kering. Hanya saja, pada 10 hari pertama tanam, perlu dilakukan penyiraman secara ekstraintensif dengan cara mengocorkan air ke lubang tanam sebanyak 5 liter per 2 lubang tanam.

Hama & Penyakit
Hama dan penyakit ganas jarang ditemukan. Paling banter hanya yang menggigit bakal buah sehingga cacad. Saat awal tumbuh, semut, belalang, atau bekicot biasanya memakan tunas muda dan mengisap cairannya. Ini berakibat pertumbuhan stagnan selama 1 bulan sebelum tumbuh lagi. Karena itu, pangkas tunas yang terserang. Maka, proses tumbuh tunas baru sekitar 3 minggu lebih cepat. Hewan pengganggu itu diatasi dengan insektisida.

Pemangkasan
Pemangkasan dilakukan saat tanaman berusia 7 bulan. Yang dipangkas adalah bagian ujung atas tunas-tunas baru. Ini dilakukan untuk merangsang bunga. Pemangkasan juga dilakukan setiap 2 minggu. Yang dipangkas adalah tunas-tunas di pangkal tanaman. Semua dibuang, kecuali calon sulur buah.

Seleksi Bunga & Buah
Setelah 7 - 9 bulan, bunga yang akan jadi buah bermunculan. Agar buah besar, bunga perlu diseleksi. Pada 1 sulur hanya dipertahankan 1 - 3 buah. Caranya, rompes bunga ukuran kecil dan yang cepat mekar. Bunga yang kecil dan bunga yang cepat mekarnya biasanya menghasilkan buah yang kecil.

Bagaimana jika ukuran bunga seragam? Pilih bunga yang di ujung sulur karena relatif lebih banyak mendapatkan hara. [KUSWINARTO]


Potensial Jadi Produk Olahan yang Menyehatkan

Buah naga memang enak dikonsumsi dalam kondisi segar (fresh). Namun, tidak menutup kemungkinan jika dibuat makanan/minuman, olahan buah ini bisa menjadi komoditas yang memiliki nilai jual tinggi.

Buah naga tidak saja enak dikonumsi, tetapi juga mengandung khasiat yang dapat menyembuhkan banyak penyakit. Manfaat bagi kesehatan ini saja sudah menjadikan buah naga berpotensi dijadikan produk olahan sebagaimana banyak buah-buahan lain yang telah dijadikan berbagai macam produk olahan.

Keterangan Dokter

Menurut dr. Ira Setya Waty Subagyo, istri Tulus Subagyo, buah naga memiliki banyak kegunaan bagi kesehatan karena dalam daging buahnya terkandung protein, fat, crude fiber atau serat, beta carotene, kalsium, zat besi, vitamin B1, vitamin C, dan ribofvlavin.

Dijelakan Ira, Protein penting untuk pertumbuhan sel tubuh selain mempercepat proses penyembuhan luka dan tumbuh-kembangnya balita. Fat dalam jumlah kecil merupakan komponen pendukung bagi perkembangan sel syaraf, terutama sel otak. Sementara itu, crude fiber/serat memudahkan buang air besar dan mencegah sembelit sehingga fungsi pencernaan terjaga dengan baik. Kanker usus pun dapat dicegah secara dini. Dalam buah naga kandungan serat ini cukup tinggi.

Beta carotene penting untuk retina dan mencegah rabun senja. Beta carotene juga berperan penting dalam menjaga kondisi struktur sel epithel dan pertumbuhan tulang, sedangkan kalsium berperan penting dalam pembentukan dan pertumbuhan tulang, dan zat besi penting dalam peredaran sel darah merah sehingga mencegah anemia (kurang darah).

Adapun vitamin B1, vitamin ini berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat, vitamin C berperanan dalam menjaga elastisitas dan kehalusan kulit, sedangkan ribofvlavin berperan dalam sintesis asam nukleat. Juga berpengaruh pada pematangan sel dan pemeliharaan integritas jaringan syaraf.

Khasiat Lain
Tak hanya itu, menurut Ira, masih banyak khasiat lain dari buah naga. Karena mengandung antioksidan alami, buah naga juga dipercaya bisa melawan penyakit hati. Bahkan, berdasarkan hasil penelitian, buah naga juga berkhasiat sebagai obat untuk mengurangi kadar kolesterol dalam darah, menguatkan fungsi ginjal, penyeimbang gula darah, menyembuhkan panas dalam, dan sariawan.

Kata Ira, buah naga juga dapat meningkatkan dayatahan tubuh, mengurangi tekanan emosi, menetralkan toksin (racun) dalam darah, turunkan kadar lemak, menyembuhkan asam urat. Selain itu, buah naga juga dapat mengurangi keputihan pada wanita.

Pengolahan buah naga bisa menghasilkan produk olahan yang lezat sekaligus bikin badan sehat karena dapat juga berfungi sebagai obat. Dan tentu, produk olahan ini rasanya tak mungkin harganya lebih rendah ketimbang buah naga segar. [KUSWINARTO]

Budidaya Buah Naga [1]

Untung Rp 6,5 Juta/Bulan di Tahun Pertama

Seperti apa rasa buah naga, ini masih asing bagi banyak orang Indonesia. Sebab, nama buahnya saja—buah naga—masih terdengar asing di telinga. Maklum, tak seperti jeruk atau mangga, buah naga tak dijual di banyak tempat. Hingga kini, buah naga hanya dijual di beberapa supermarket dan toko buah. Bagaimana peluang bisnis buah ini?


Buah naga (dragon fruit) ukurannya agak besar dan saat matang bentuknya oval. Buah yang juga dikenal dengan nama pitahaya ini beratnya sekitar 200--800 gram/buah. Saat matang, daging buah ini berlendir. Rasanya manis, segar, dan sedikit asam. Di dalam daging buah terdapat banyak biji kecil. Biji-biji itu terlihat seperti wijen. Buah naga sangat enak dikonsumsi dalam kondisi fresh. Sehingga, buah ini sangat baik disimpan di dalam kulkas.

Tanaman buah naga masuk kategori kaktus epiphytic. Artinya, batang tanamannya sebagian terpendam di dalam tanah (bisa mencapai 15 cm), sebagian lagi di atas tanah. Bagian batang yang di atas tanah merambat dan bisa menjulur sampai panjang. Bahkan, pemberian nama ’buah naga’ itu sendiri konon karena tanaman ini menjulur, mengingatkan pada naga (ular).

Meski jumlahnya belum banyak, di Indonesia telah ada pembudidaya buah ini. Hingga kini, ada 4 varietas yang bisa dibudidayakan, yakni buah naga berdaging putih, kuning, merah, dan buah naga berdaging hitam (super red).

Keuntungan yang didapat pembudidaya lumayan besar. Karena, dari pembudidaya, harga jual buah naga cukup mahal. Tulus Subagyo, pembudidaya buah naga hitam (super red) dari CV Tirta di Perum Graha Dewata Blok FF1 No. 1 Joyo Agung, Kota Malang, mengatakan harga jual buah naga (petik kebun) rata-rata Rp 15.000/kg. ’’Harga jual tertinggi Rp 35.000 per kg. Sementara saat booming, harga jualnya Rp 10.000 per kg,’’ ungkap dia.

Setiap pohon buah naga rata-rata mampu menghasilkan 25—30 buah. Jika beratnya 200--800 gram/buah, berarti dapat dihasilkan buah naga sebanyak 5—24 kg/pohon. Jadi, dari 1 pohon saja, akan diperoleh pendapatan sebesar Rp 75.000—Rp 360.000 jika harga jualnya rata-rata Rp 15.000/kg. Jika pas harga jual tertinggi (Rp 35.000/kg), pendapatan dari 1 pohon sebesar Rp 175.000—Rp 840.000. Saat harga jual rendah (saat booming), yakni Rp 10.000/kg, pendapatan dari 1 pohon pun masih lumayan, yakni Rp 50.000—Rp 240.000.

Itu baru dari 1 pohon! Sementara di Kecamatan Sragi, Lampung Selatan, Suwarno yang membudidayakan buah naga kuning sudah beberapa kali panen. Hasil tiap kali panen rata-rata mencapai 17 ton/ha. Lha, hitung sendiri itu berapa kalau dirupiahkan!

Untung Berlipat
Menurut Tulus Subagyo, buah naga termasuk jenis tanaman yang tak mengenal musim. Maksudnya, tanaman ini berbuah sepanjang tahun. ’’Pada produksi penuh, tanaman buah naga ini sirkulasinya mencapai 5—7 kali pembuahan/tahun,’’ ungkap mantan TKI Jepang ini.

Tulus mengemukakan budidaya buah naga sangat prospektif. Itulah sebabnya dirinya semakin serius menekuni budidaya buah ini. Kata dia, jika menanam 1000 bibit saja, pada panen tahun pertama akan diperoleh pendapatan bersih per bulan sebesar Rp 6,5 juta. Pendapatan itu sudah benar-benar bersih karena sudah dikurangi ongkos budidaya, tenaga, dan lain-lainnya.

Menariknya lagi, dan ini yang membuat Tulus semakin bergairah membudidayakannya, berdasarkan pengalamannya, Tulus mengatakan bahwa keuntungan dari tanamam ini tiap tahun berlipat dan akan terus berlipat hingga tanaman berusia 15 tahun.

Jika tanam 1000 bibit dan memperoleh pendapatan bersih Rp 6,5 juta/bulan pada tahun pertama, pada tahun kedua pendapatan bersihnya menjadi sebesar Rp 14 juta/bulan. ’’Begitu. Dan seterusnya akan berkelipatan sampai 15 tahun, bahkan 20 tahun,’’ kata dia.

Bagaimana keuntungan bisa meningkat drastis seperti itu? Tulus menjelaskan, itu karena sulur-sulur produksi pada tanaman buah naga semakin lama semakin banyak. Bertambah banyaknya sulur produksi itu membuat tanaman akan menghasilkan buah yang semakin banyak pula. [KUSWINARTO]

Sate Cempe [3]

Gampang Diolah

Saban hari kedai ’Sate Kambing Barongan’ milik Unik dan istrinya itu selalu dipenuhi pelanggan. Utamanya pada jam makan siang dan makan malam. Padahal, sang pemilik kedai yang dibukanya selama 24 jam non stop ini mengaku tak punya resep khusus. Padahal, jalinan dagingnya terasa begitu empuk dan sama sekali tak berbau amis khas daging kambing.

’’Kalau resep khusus nggak ada. Ini sama saja seperti sate biasanya,’’ aku Unik.

Bumbunya pun sama seperti bumbu sate pada umumnya. Yaitu, bumbu kecap dengan sedikit kacang tanah yang ditumbuk halus lalu diberi irisan bawang merah. Begitu pula dengan bumbu sebelum dagingnya dibakar. ’’Hanya dicelupkan di dalam air kecap saja sebelum dibakar,’’ sahutnya.

Para pelanggan yang datang pun ari berbagai daerah. Contohnya saja Joko dan Maliki asal Gresik. Mereka selalu mampir bila lewat Sepanjang. ’’Yang paling enak satenya. Karena bumbunya meresap dan dagingnya empuk,’’ aku Joko (27) yang bekerja di sebuah perusahaan swasta.

Memang, tekstur daging mudanya (cempe-Red) yang empuk membuat Unik tak perlu menghabiskan waktu lama untuk mengolah masakannya. Begitu pula dengan resep gule hasil racikan sang istri.

’’Untuk menghilangkan aroma kuat daging kambing Saya pakai serai yang dimemarkan lalu digongso bersama bumbu selama satu jam,’’ ungkap anak kedua dari lima bersaudara ini.

Satu-satunya kelebihan yang selalu dipegang teguhnya adalah menyediakan makanan fresh alias bukan sisa kemarin. Pasalnya, daging kambing yang diolahnya jadi masakan adalah daging kambing muda yang baru saja di potong.dan diolah saat ada pesanan. Kambing muda yang baru dipotong pun ia pajang di depan kedai agar pelanggannya tahu bahwa daging yang mereka olah benar-benar fresh from the opened. Di depan pelanggannya pla daging kambing itu baru mereka iris sebanyak yang dipesan pelanggan.

Nah, lantaran kedainya buka selama 24 jan non stop, maka tak terhitung pula berapa kali mereka memasak panganannya. Setiap kali masak mereka membuat 6-7 panci berukuran besar. ’’Pokoknya begitu ada pesanan dagingnya baru kita iris lalu dibakar. Begitu juga dengan gulenya. Begitu mau habis kita buat yang baru lagi. Begitu seterusnya tanpa mengenal jam. Jadi, pelanggan mau datang jam berapapun untuk beli pasti Kita layani.’’

’’Daging gulenya empuk. Tapi sepertinya yang masak gule ganti-ganti, makanya rasanya juga beda-beda,’’ tutur Hari (56), pegawai Terminal Bungurasih yang hampir setiap malam mampir.

’’Kadang-kadang kasinen,’’ sahut sang istri, Sri Endang Lestari (51) yang tinggal di Menganti, Gresik ini. [NUY HARBIS]

Sate Cempe [2

Selalu Berusaha Familier pada Pelanggan

Membuka usaha kedai sate hingga meraih omzet mencapai Rp 200 juta memang tak mudah. Jika ditanya tentang kiat bisnisnya untuk meraih sukses seperti sekarang Unik hanya menjawab bahwa ia lebih mengdepankan kejujuran ketimbang manajemen untuk mengelola keuangannya. Bahkan, sang pegawai pun lebih sreg disebutnya sebagai rekan kerja.


’’Saya selalu berusaha untuk melatih diri dan menanamkan kejujuran di benak rekan kerja Saya. Sehingga, semuanya (pegawai-Red) bebas untuk pegang kasir. Nggak harus dipegang oleh satu orang atau istri Saya saja. Siapapun yang ingin pegang boleh,’’ terang Unik.

Malah, kalaupun sang rekan kerja ingin makan sate saban hari atau mencuri uang hasil jerih payahnya pun Unik tak ambil pusing. ’’Mau makan sate silahkan ambil, kalau mau nyolong ya ayuk. Tetap Saya biarkan pegang kasir. Tapi Saya batasi ruang geraknya dan Saya awasi dari jauh,’’ tukasnya.

Karena berpegang pada kejujuran itulah Unik mengaku tak pernah mencatat hasil pemasukannya hari itu. ’’Yang penting cukup untuk makan dan mencukupi kebutuhan anak, istri dan rekan kerja Saya itu saja sudah cukup,’’

Selain itu, kesuksesan yang diraih itu diakui Unik merupakan hasil dari liputan wartawan. Ia meraa sangat beruntung karena sejak diliput oleh sebuah televisi lokal kedai satenya jadi ramai dikunjungi pembeli. Yang semula hanya laku 3 – 4 kambing saja mulai mencapai 10 – 20 kambing. Bahkan, setelah liputan kedua televise lokal yang baru berdiri beberapa bulan ini ia mampu menghabiskan sampai 40 kambing setiap malam.

Terakhir, dalam hal pelayanan kedai ’Sate Kambing Barongan’ adalah kunci utama. Pasalnya, pria ini menerapkan asas kekeluargaan dalam memberikan service¬-nya. ’’Soal pelayanan kepada pembeli bukan lagi kunci utama tapi sudah fardlu ‘ain. Yang penting itu merasa familier. Entah itu menyapa duluan atau assalamu’alaikum, masiyo nggak kenal tapi berusaha untuk selalu akrap supaya pembeli itu merasa nyaman,’’ ungkapnya.

Saking akrabnya, Unik pun bersedia terjun langsung untuk memindahkan mobil atau menyeberangkan pelanggannya tanpa ditarik biaya. ’’Maklum, kedai saya nggak punya lahan parkir. Jadi kalau waktu makan siang parkirnya sampai menutupi kantor-kantor di sekitarnya. Ini juga yang membuat saya merasa sungkan sama mereka,’’ keluhnya.

Karena itulah, Unik memiliki obsesi untuk membuka satu cabang yang letaknya tak jauh dari kedainya sekarang namun dengan lahan parkir yang luas. Selain itu, ia juga berharap bisa membawa kedua orangtuanya untuk menunaikan ibadah haji tahun ini sebelum ia berangkat haji bersama istri dan anaknya. ’’Amin. Mudah-mudahan bisa terkabul. Itu memang keinginan Saya.’’ [NUY HARBIS]

Sate Cempe [1]

Jualan Sate Cempe, Raih Omzet Fantastis!

Pengin kaya mendadak? Anda bisa coba ikuti jejak Pak Unik (45), begitu ia akrab disapa, pedagang sate cempe yang baru 7 bulan ini bisa menikmati kesuksesan setelah enam tahun jungkir-balik. Pemilik ’Sate Kambing Barongan’ di Jl Wonocolo 65, Sepanjang, Sidoarjo ini pernah terbelit hutang hampir senilai Rp 1 milyar gara-gara usahanya ini. Apa ya kunci suksesnya?

Berbisnis makanan hingga saat ini memang menjadi ladang bagus yang masih bisa digarap. Meski awalnya harus jungkir-balik, bila mau berusaha dan tawakal, sukses pasti bisa tergenggam. Seperti Unik yang memulai usahanya berdagang sate cempe (kambing muda-Red) pada 2001 ini. Bayangkan saja, usaha yang dimulai dari sebuah warung kecil di Pasar Sepanjang itu kini telah menghasilkan omzet Rp 100 juta per hari. Pendapatan itu diperoleh dengan cara berjualan selama 24 jam. Tapi, untuk meraih sukses harus dilaluinya dengan jungkir-balik dulu selama 6 tahun lho…!

Ayah satu anak ini memang tak patah semangat untuk menjalankan bisnisnya berdagang sate cempe. Sejak berdagang di sebuah warung di Pasar Sepanjang, ia banting tulang dari pagi hingga pagi lagi untuk mencari rejeki bagi istri dan Yusuf (14), anaknya. Betapa tidak, mulai pukul 06.00 –18.00 WIB Unik menggelar dagangannya di Pasar Sepanjang. Lalu, pada pukul 18.00 hingga 02.00 dini hari ia ganti menggelar dagangannya di sebuah warung tenda di depan Jl Wonocolo 65 tempat kedai ’Sate Kambing Barongan’ miliknya kini. Cita-citanya waktu itu cuma satu, yaitu punya kedai yang bisa buka 24 jam. Untuk mewujudkan niatnya ini kedai satenya sengaja berdiri tanpa pintu.

’’Dulunya dalam sehari hanya bisa habis 1 kambing saja. Lama-lama meningkat jadi 2, 3, 10 bahkan 40 per hari seperti sekarang,’’ ujar Unik memulai kisahnya.

Tapi, untuk mendapatkan hasil seperti sekarang Unik harus rela mengalami kerugian hingga jumlahnya mencapai Rp 1 milyar. Bahkan ia harus rela menjual harga dirinya. Wah, kok bisa ya?

’’Yang namanya merintis Saya sudah sering jatuh bangun sampai terbelit banyak hutang gara-gara usaha ini,’’ sahutnya.

Ceritanya, saat Unik berdagang di pasar dulu ia sempat jadi boreg (bandar -Red) arisan. Saat pertama berdagang sate, Unik mengaku tak punya modal sedikitpun. Untungnya, ada orang yang juga pengusaha kambing mau bekerjasama untuk menyediakannya seekor kambing muda. Tapi sayang, baru sekali memberi modal kambing sang juragan (begitu ia menyebutnya-Red) tak mau lagi membantunya lagi. Maka, uang hasil arisan pun mulai digerogoti. Ia kerap mengalami kerugian. Untuk menutup kerugian dan biaya hidupnya ia dana yang telah dihabiskan mencapai hampir Rp 1 milyar. Alhasil, saat uang arisan itu diminta oleh sang pemiliknya Unik pun kalang-kabut. Harta bendanya pun habis dijual untuk menutup uang yang telah dipakainya. Rumah, dua mobil dan berbagai tanahnya pun terpaksa terjual. ’’Saking parahnya, harga diri saya juga ikut terjual,’’ sambungnya.

Betapa tidak, gara-gara itu ia harus dimaki dan dicemooh seluruh pedagang pasar. Alhasil, ia harus hidup terlunta-lunta selama lima tahun lebih untuk mengembalikan uang tersebut. ’’Sampai sekarang saja masih ada yang belum saya kembalikan. Mereka ini teman saya. Jadi mereka bilang, biar saja dipakai dulu untuk modal saya usaha,’’ akunya polos.

Ia pun kembali putar otak agar usaha yang jadi tumpuan hidup keluarganya itu tak mandeg. Beruntung, ada juragan lain yang mau meminjamkan dua kambing potongnya untuk menggelar kedai satenya kembali. Unik pun dibantu sang istri dan anaknya untuk berjualan sate. ’’Setelah dagangan dua kambing Saya ini laku dan juragan kasih saya dua kambing lainnya, baru saya bayar dua kambing yang pertama. Begitu seterusnya sampai saya bisa mandiri,’’ papar pria yang menikah pada 1991 ini.

Hingga akhirnya penghasilannya meningkat secara fantastis sejak awal tahun ini. Omzet setiap harinya saja mencapai Rp 6 – 8 juta dari hasil 30 – 40 ekor cempe yang terjual. Setiap cempenya mampu menghasilkan 200 tusuk sate yang dijualnya Rp 10 ribu tiap 10 tusuk dan juga gule yang dijual seharga Rp 5 ribu. Atau, setiap bulannya mencapai Rp 200 juta. Tak heran, satu per satu harta benda mulai dikumpulkan. Mulai rumah, tanah dan kendaraan telah ia miliki. Sebuah bangunan yang dibelinya seharga Rp 60 juta yang kini dipakainya untuk kedai pun sanggup terbeli. Malah, ia sanggup menggaji rekan kerjanya (pegawai-Red) sebanyak 18 orang. Sangat menggiurkan bukan? Semua ini diakui Unik bisa teraih atas rida Allah. [NUY HARBIS]