This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 24 Januari 2008

Kiki Amalia: Tertarik Bisnis Restoran Plus Pijat

Meski tergolong pendatang baru di dunia hiburan, Kiki Amalia tak mengabaikan masa depan. Saat ini, dia berangan-angan mendirikan sebuah rumah makan.Menurut dara kelahiran Jakarta 26 November 1981 ini, keinginan membuka bisnis kuliner itu timbul karena salah satu hobinya: makan. Kiki ingin membuat restoran berkonsep one stop shopping.


Yang tak kalah menarik, dia ingin mengkhususkan restoran tersebut untuk kaum hawa. ’’Aku pengin bikin restoran yang bisa dijadiin tempat ngumpul para perempuan,’’ ujarnya.

Bukan hanya makan dan minum. Kiki membayangkan, di restorannya nanti, para pengunjung bisa dimanjakan oleh pelayanan lain. ’’Misalnya, setelah makan, mereka bisa pijat kaki atau relaksasi,’’ ungkap perempuan 25 tahun tersebut.

Demi mewujudkan keinginan itu, Kiki mulai mengumpulkan uang. Hanya, dia belum bersedia mengungkapkan berapa lama lagi tabungannya cukup untuk memulai bisnis baru tersebut.

Menurut dia, usahanya nanti tidak sepenuhnya menggunakan uang dari tabungan pribadi. Dia berniat meminjam modal lebih besar ke bank. ’’Ada beberapa saudara yang membantu aku. Mereka akan mengusahakan peminjaman modal ke bank,’’ jelasnya.

Selain urusan modal, beberapa waktu belakangan, setiap ada pekerjaan di luar kota, Kiki selalu menyempatkan berburu makanan khas. Selain itu, dia mulai rajin mengikuti demo masak. Saat ini, dia mengaku sudah menguasai cara pembuatan beberapa makanan khas Indonesia.[KD]

Jumat, 11 Januari 2008

Keinginan Mengubah Nasib dan Mitos Sisipus

Banyak alasan yang bisa kita kemukakan untuk pertanyaan, ’’Mengapa kita jauh-jauh terbang ke negeri orang untuk sebuah pekerjaan (domestik) yang keras ini?’’ Yang tergolong paling populer adalah: ’’Memperbaiki nasib.’’ Maka, pertanyaan berikutnya adalah, sejauh mana kita setia dan bersungguh-sungguh dengan alasan itu? Apakah perbaikan nasib itu hanya kita maknai sebagai perubahan penampilan berikut peningkatan ketebalan kantong saat kita masih melewati hari-hari penuh cucuran keringat, dan bahkan air mata? Apakah kita serta-merta merasa sudah bernasib baik ketika menerima gaji ribuan dolar, bisa memiliki ponsel keluaran terbaru dengan fitur yang sangat beragam, punya baju, tas, dan bahkan aksesoris lain yang tak kalah trendinya dibandingkan dengan yang menempel di tubuh para selebritis yang sukses menaklukkan Jakarta itu?

Jika kita tidak punya cukup keserdasan, kearifan, dan ketrampilan, seberapa lamakah benda-benda glamour dan uang ratusan juta rupiah itu akan betah menyertai kita? Tanpa punya perencanaan masa depan yang matang berkaitan dengan modal --berapa pun jumlahnya—yang kita kumpulkan dengan kerja keras itu, dalam waktu yang singkat semuanya bisa saja menguap tanpa bekas.

Seorang guru dan pengarang yang namanya populer di jagad Sastra Jawa Modern asal Kalidawir, Tulungagung, Jawa Timur –Tiwiek SA namanya-- suatu kali mengatakan, banyak perempuan di kampungnya yang pulang dari luar negeri dengan keberhasilan: membawa sejumlah uang, tetapi kemudian hanya menghabiskan hari-harinya di kampung untuk berbelanja. Televisi, VCD player, tape compo, sepeda motor, dan bahkan ada pula yang beli mobil. Rumah yang semula sederhana pun dibongkar, disulap menjadi rumah mewah. Alhasil, pada bulan kesekian di kampung, satu per satu barang yang bisa dijual pun berlepasan. Televisi yang semula 21 inchi mungkret jadi 14 inchi, motor yang semula masuk pegadaian pun segera benar-benar terjual. Bahkan juga mobil. Dan ketika tak ada lagi yang sekiranya bisa diuangkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pilihannya adalah: kembali ke luar negeri!

’’Bukan seorang dua orang lho yang begitu itu,’’ kata Pak Tiwiek dengan logat Jawa-nya yang kental, ’’tapi banyak!’’

Mereka yang terjebak pada pola seperti itu, pulang bawa uang, beli-beli, lalu jual-jual, dan balik lagi ke luar negeri, dan begitu lagi, begitu lagi, hingga suatu hari nanti otot sudah tak bisa lagi diajak kompromi alias sudah loyo dan kemudian menjadi jompo, mengingatkan kita pada Sisipus yang menjadi mitos atau cerita rakyat dari Zaman Yunani Kuno. Sisipus adalah semacam siput, yang dikutuk oleh dewa. Ia harus merangkak mendorong sebuah batu ke puncak bukit. Begitu sampai di puncak, maka batu itu pun mengelinding lagi ke lembah. Lalu Sisipus turun lagi mengambil batu itu untuk mendorongnya lagi ke puncak. Begitu seterusnya, Sisipus mengulang-ulang keberhasilan dan sekaligus kegagalan sepanjang hidupnya. Betapa celakanya!

Jangan-jangan dalam hal ini ada kesalahan masyarakat kita yang cenderung keburu mengelu-elukan atau memuji orang yang pinter cari duit sebagai orang yang pinter. Padahal, pinter cari duit barulah setengah dari kepintaran itu, yang baru jadi utuh sebagai sebuah kepintaran jika diikuti pula oleh kepintaran mengelolanya. Dan, menurut istilah pengarang buku The Cashflow Quadrant, Robert T. Kiyosaki, sukses seseorang diukur oleh ini: apakah ia bekerja untuk uang ataukah uang yang bekerja untuknya![]


PURWO SANTOSA

Tarini: Naik Garuda Gratis karena Tulisan


Beberapa waktu lalu (08/02/06) Tarini Sorrita (34), salah seorang anggota Cafe de Kossta, pulang kampung (Cirebon, Jawa Barat). Kesempatan cuti itu sekaligus dimanfaatkan Rini --begitulah sapaan akrap ibu seorang gadis 11 tahun ini—untuk meluncurkan buku cerpen-nya, Penari Naga Kecil (PNK). Acara peluncuran buku cerpen itu menyusul kesuksesan pentas sastra buruh migran yang sebelumnya telah beberapa kali digelar di Surabaya, Blitar, Jogjakarta, Wonosobo, Jember, bersama para penulis: Denok Rokhmatika, Etik Juwita, Maria Bo Niok, Winna Karni, Tania Roos.

Menjelang tengah malam yang dingin pada tanggal 10, Rini bertolak dari Cirebon ke Jogjakarta bersama ayah, ibu, dan putri tunggalnya, Wati Suhartini (11).

Siang harinya, saya datang dan segera bergabung dengan mereka yang sudah beristirahat bersama panitia: Maria Bo Niok yang kemudian jadi moderator acara dan Mr Gunkid. Bahkan cuci muka pun belum sempat, Maria sudah mengajak pergi ke Sekolah PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang didirikan oleh Serikat Pekerja Rumah Tangga Jogjakarta. Bertemu para siswa dan aktivis SPRT itu sungguh menyenangkan.

Sore, kami berempat langsung menuju Toko Buku Togamas di Jl Gejayan, tempat diskusi dan peluncuran buku PNK. Lepas magrib salah seorang panitia yang ditugasi menjemput orangtua dan anak Rini datang di tempat acara.

Cuaca Jogjakarta sedang sangat bersahabat. Tamu berdatangan. Ada aktivis LSM, ada mahasiswa, ada penulis. Tak kepalang tanggung, pengarang trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, dan pengamat sastra M Nurrahmat yang Kepala SMU 8 Jogjakarta diundang sebagai pembicara. Mereka pun sudah siap di tempat beberapa lama sebelum waktu yang ditentukan. Banyak pula rekan-rekan pers yang datang meliput. Ada dari Kompas, Gatra, Kedaulatan Rakyat, dan lain-lain, dan bahkan ada pula wartawan TVRI yang datang bersama jurukameranya. Penyair dan akademisi sastra Prof Dr Rachmat Djoko Pradopo pun hadir dan memberikan ucapan selamat secara khusus kepada Rini.

Para anggota SPRT Jogja, seorang di antara mereka didapuk membacakan salah satu cerpen karya Tarini dan seorang yang lain lagi membacakan puisi karya mereka sendiri, telah siap jauh waktu.

Acara berjalan lancar dan menarik. Semua komentar bernada dukungan dan menyemangati Rini. Setelah memberikan beberapa catatan, bahkan, M. Nurrahmat mengatakan, ’’Saya acungkan dua jempol untuk Mbak Rini!’’

Pesan Ahmad Tohari buat Rini, lebih-kurang begini, ’’Mbak Rini, salah satu kunci sukses seorang penulis itu ialah jangan pernah merasa jadi atau mencapai puncak sebagai penulis. Sebab, begitu perasaan itu timbul, tamatlah riwayat kita!’’

Tanggal 13 Februai, malam, Rini sudah berada di Surabaya, tepatnya di Gedung Cak Durasim, Kompleks Taman Budaya Jawa Timur, Jl Gentengkali 85 Surabaya dalam acara yang sama, diskusi dan pembacaan cerpennya. Didapuk sebagai pembahas adalah sastrawan Beni Setia (Madiun) dan Dra Emy Susanti, Msi, Ketua Pusat Studi Wanita Universitas Airlangga.

Acara yang juga dimeriahkan dengan kedatangan ratusan siswa SMU Trimurti Surabaya bersama guru bahasa Indonesia mereka, Ibu Ndari, diawali sambutan Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur, Dr. Setya Yuwana Sudikan, dan Kepala Taman Budaya Jawa Timur, Drs. Pribadi Agus Santosa, Msi.

Kata Beni, mengambil salah satu cerpen Rini sebagai acuan, Rini adalah tipe pekerja rumah tangga yang benar-benar profesional, bahkan telah memiliki kuatan yang bisa dibilang luar biasa yang memungkinkan ia berani dan bisa jothakan alias diam-diaman dengan Sang Majikan. ’’Lihatlah ini,’’ kata Beni sambil menunjuk sebuah gambar di dalam buku Penari Naga Kecil, ’’Rini bisa diam-diaman dengan majikannya, dan hanya berkomunikasi dengan tulisan pada secarik kertas!’’

Sementara itu, Emy menilai bahwa Rini bisa menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan di antara kita tidak perlu menibulkan masalah. ’’Rini bisa bersahabat dengan orang-orang dari negara mana saja tanpa masalah, seperti terlihat pada cerpennya Ular Putih, Ular Coklat, Ular Hitam!’’

Ada yang jauh lebih menarik daripada cerpen-cerpen Rini di dalam bukunya itu, yakni cerita tentang pengalaman Rini dengan Terminal III Bandara Soekarno-Hatta. []

Peduli

Syukurlah, setelah mengalami masa-masa kehamilan ide yang cukup panjang, akhirnya lahirlah majalan ini: Peduli. Mengapa nama Peduli kita pilih? Selama di antara kita masih ada rasa saling peduli, tak akan ada beban yang terlalu berat, tak akan ada masalah yang terlalu rumit, tak akan ada jalan yang terlalu sempit.

Dunia bergerak sebegitu cepat, dan semakin cepat terasa. Handphone model terkini yang kita beli sebulan lalu tiba-tiba saja hari ini sudah terasa sebagai barang antik. Lagu teranyar yang sangat kita sukai tiba-tiba saja sudah hampir jadi tembang kenangan hanya beberapa saat setelah kita menghafalkan syairnya. Secara ekstrimnya, begitulah. Maka, misalnya Anda sempat menjenguk kampung halaman beberapa waktu lalu dan tiba-tiba saja terobsesi untuk suatu sat nanti --setelah memutuskan berhenti bekerja di luar negeri— hendak membuka restoran di kota kelahiran, jangan-jangan kini obsesi itu sudah nggak pas lagi! Misalnya, karena semakin lesunya perekonomian, banyak orang jadi menahan diri untuk tidak makan di restoran.
Jika boleh agak sedikit muluk, Peduli hadir di tengah-tengah para pembaca sekalian untuk membantu menciptakan kondisi yang bagus bagi inspirasi dan terarahnya gagasan-gagasan dalam rangka perencanaan masa depan kita semua.

Untuk mencapai keberhasilan di dalam bidang apa pun, ketrampilan memang boleh diletakkan pada urutan pertama. Namun di sisinya, harus kita perkuat pula sikap yang didasari oleh pengetahuan dan wawasan yang luas. Kita tidak hanya dituntut trampil menghasilkan barang atau jasa, tetapi juga mesti pintar menerobos pasar. Maka, membangun hubungan atau berkomunikasi dengan pihak lain, membangun jaringan, adalah modal tersendiri yang nilainya bisa mengalahkan uang kontan. Itulah sebabnya Peduli merasa perlu melengkapi diri dengan rubrik-rubrik yang berkaitan dengan upaya pengembangan mental dan kepribadian.

Bahkan ada pula rubrik seni dan sastra. Ada cerpen, ada puisi, ada cerita bersambung. Melalui seni kita bisa mempertajam perasaan, intuisi, mengembangkan imajinasi, dan meningkatkan ketrampilan berimprovisasi atau melakukan tindakan dadakan sesuai dengan kebutuhan situasional. Itu semua bukanlah potensi individu yang hanya perlu bagi urusan berseni-seni. Orang berdagang pun mesti memiliki intuisi dan kemampuan berimprovisasi.

Kita tidak akan menjadi tua dan akhirnya mati hanya dengan tumpukan harta benda, melainkan juga dengan harta yang bukan benda. Sebab kata orang bijak, seperti pula yang diajarkan oleh semua agama, harta yang bukan benda itulah –termasuk kesediaan kita untuk selalu saling peduli-- yang bisa tetap kita bawa setelah kita mati. [REDAKSI]

Peduli

PETUGAS IMIGRASI DI BANDARA SOEKARNO - HATTA

Kali ini saya ingin berbagi sedikit cerita tentang pengalaman ketika saya cuti ke Indonesia. Kebetulan saya PP-nya Hong Kong – Jakarta. Nah, pada saat saya ingin check in (kayak hotel saja heheheh...), petugas Imigrasi yang memeriksa pasport dan visa itu menanyakan secarik kertas warna putih-hijau yang harus diisi nama, alamat, dan lain-lain. Saya disangka kelupaan karena saya memang tidak begitu peduli. Tadinya, saya pikir, asal ada pasport sudah akan beres semua.

Si Petugas berseragam coklat muda bertanya, ’’Kamu mau ke mana?’’

’’Ke Hong Kong, Pak,’’ Tak lupa saya berikan senyum termanis.

Tetapi, tiba-tiba.....

’’PRT ya? Lha kenapa belum kamu isi ini?’’ sambil dia menunjukkan kepada saya 2 lembar formulir kecil itu. Wajah itu benar-benar kurasakan tak bersahabat, seolah saya bekerja sebagai pembantu itu bener-bener bisa seenaknya dihardik.

Dengan hati yang sedikit sakit, namun senyum ini tetap saya umbar untuknya, ’’Oh,maaf Pak, biar saya isi di sebelah sana,,’’ kataku sambil menerima formulir itu dan menuju meja kecil tak jauh dari situ.

Dan di belakang saya ada seorang gadis cantik nan seksi.

’’Mau kemana Mbak?’’ tanya Si Petugas kepada perempuan seksi itu. Kok, sama perempuan itu Si Petugas bersikap jauh lebih manis, ya?

’’Ke Korea, Pak!’’ jawab gadis itu sembari senyum dan mengulurkan pasportnya.

’’Kerja ya?’’ Si Petugas masih terus menatap gadis itu dengan senyum ramahnya.

’’Tidak Pak, ikut suami di sana!’’ Dan dengan cepat dia melayani gadis seksi itu, sambil sesekali berbisik dengan teman di sampingnya.

Saya terus memerhatikan kedua Petugas Imigrasi yang duduk bersebelahan itu. Entah mengapa, tiba-tiba saya muak melihatnya. Apakah karena saya seorang buruh dan tak secantik perempuan sekdi itu sehingga mereka bisa semena-mena terhadap saya? Menelanjangi jiwa saya hingga tak tersisa harga diri ini?

Namun, akhirnya saya memilih tak peduli. Dalam hitungan menit saya sudah kembali dengan formulir itu.

’’Cepat amat! Siapa yang membantumu menulis?’’ dengan mengamati tulisan saya dan pandangan ejekan itu tetap dia tujukan. Mungkin dia pikir aneh kalau seorang pembantu bisa menulis dengan cepat.

Nah, kan! Dia protes, ’’Lha kamu lulusan apa kok nulisnya cepat?’’

’’Maaaf Pak, pesawat akan segera berangkat, sudah waktunya!’’ saya tak pernah menjawab pertanyaanya lagi.
Kenapa mereka tak pernah menghargai warganya sendiri ya? Hanya itu yang ada dalam pikiran saya. Apa salahnya menjadi seorang pekerja rumah tangga? Apakah haram? Apakah yang cantik-cantik itu juga cantik di dalamnya?

TKI itu adalah ’’mutiara dalam debu’’. Kebanyakan orang akan memandang rendah, padahal mereka menyimpan kekayaan yang tak semua orang bisa memilikinya: Pengalaman Hidup, bukankah hal termahal dalam hidup ini. Itu saja. Dan saya berharap, andai saja para Petugas Imigrasi itu tahu bahwa saya dan teman-teman adalah bagian dari rakyat yang menggaji mereka pula! Terdengar lucu, kan?

Dan andai mereka tahu, jangankan menulis isian 2 lembar formulir. Kehidupan mereka selama 5 tahun pun bisa saya tuliskan dalam beberapa menit? Sombong? Saya rasa tidak. Karena justru ini mendorong saya untuk menuliskan tentang keadilan yang selalu terlupakan untuk kawan-kawan TKI. Itu saja.

Hong Kong, 06 Februari 2006

Tanti Reog
tanti_wae@yahoo.com

sumber: Peduli

Pinky Saptandari, Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan

’’Tetaplah Bangga pada Bangsa dan Negara Sendiri’’


Penampilannya luwes, bersahaja, dan tutur bahasanya lembut. Tapi, ia berani melontarkan kritik tajam untuk masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Itulah sosok Pinky Saptandari yang kini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Pemberdayaan PerempuanRepublik Indonesia. Apa pendapatnya tentang perempuan Indonesia yang berada di luar negeri sebagai domestic worker?

Sebutan pahlawan devisa bagi para tenaga kerja Indonesia yang mengais rejeki ke luar negeri begitu berarti bagi Pinky Saptandari. Ibu dua anak ini tak ingin julukan itu hanya sekedar manis di bibir saja tanpa langkah konkrit semua pihak untuk melindungi kepentingan para domestic worker alias PRT (pekerja rumah tangga) yang kerap menjadi korban eksploitasi ini.

’’Semua orang bilang TKI, termasuk TKW itu pahlawan devisa. Gubernur Jawa Timur Imam Utomo juga bilang begitu. Tapi wujud konkritnya apa? Apa hanya sekedar diucapkan? Yang seperti itu yang menurut saya harus ada kerjasama semua pihak, banyak hal perlu dibenahi, karena ini merupakan tanggungjawab kita bersama,’’ tegasnya saat ditemui di kantor Dewan Kota jalan Diponegoro Surabaya.

Menurut Pinky, pembenahan ini meliputi seluruh aspek pengiriman tenaga kerja Indonesia. Dan ini membutuhkan peran berbagai pihak mulai di tingkat kelurahan, kabupaten, kota provinsi, pemerintah, sampai pihak-pihak yang menjadi tempat tujuan para tenaga kerja (naker).

Prihatin

’’Kasihan lho mereka-mereka ini (TKI, Red). Di satu sisi dia disebut pahlawan devisa, tapi di sisi lain mereka diperlakukan seperti sapi perahan,’’ ujar Pinky dengan logat Suroboyoannya yang kental.

Keprihatinan Pinky ini tertuju pada nasib naker yang memrihatinkan di luar negeri. Para naker ilegal yang dipulangkan secara paksa termasuk para perempuan yang mengalami nasib mengenaskan akibat siksaan Sang Majikan atau pelecehan seksual membuat semua pihak harus segera bertindak. Sayangnya, peran nota kesepahaman antara dua negara juga belum maksimal. Padahal baru nota kesepahaman antara Indonesia–Malaysia yang telah disepakati. Itu pun belum sepenuhnya melindungi kepentingan tenaga kerja kita di Malaysia. Peraturan tenaga kerja yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia pun dianggap beberapa kalangan tak memuaskan.

Untuk itu pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan kita dengan Pusat Studi Wanita Malaysia saat ini sedang melakukan kajian. Kajian yang berkelanjutan. Kemudian, kajian tentang berbagai persoalan tenaga kerja kedua belah pihak yang kerap timbul ini di publikasikan dalam workshop di tingkat negara.

’’Nanti semua pihak yang berkepentingan dengan ketenagakerjaan itu diundang untuk mendengarkan hasil kajian tersebut. Langkah ini diharapkan bisa menjadi rekomendasi untuk dibuatnya kebijakan baru termasuk dalam perubahan nota kesepahaman antara kedua negara,’’ papar tokoh perempuan asal Surabaya ini.

Tujuannya tak lain adalah untuk melindungi kepentingan warga Negara masing-masing. Selain itu, juga untuk menguatkan bargaining position naker kita di mata negara lain. ’’Kalau Filipina bisa membuat bargaining position-nya kuat, kenapa kita tidak bisa?’’ sahutnya berapi-api.

Harus Cukup Bekal

Perhatian pemerintah terhadap pengusaha PJTKI nakal juga diperlukan. Setidaknya, pemerintah harus menindak tegas para PJTKI yang tidak sesuai aturan, terutama PJTKI yang terbukti mengirim tenaga kerja secara ilegal.

’’Walaupun resmi ternyata tidak semua PJTKI memberikan hak-haknya, memberikan informasi yang lengkap dan mendidik para TKW dengan bekal yang cukup. Baik technical skill maupun sosial skill seperti masalah hukum, bahasa, dan kultur negara lain. Padahal itu perlu!’’ seru wanita yang punya hobi melukis ini.

Saat ini Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Pendidikan Nasional sedang mendesain suatu sistem yang akan dijadikan standar bagi pengusaha PJTKI.

’’Standar ini nantinya juga berguna dalam penentuan akreditasi PJTKI setiap tahun yang segera ditetapkan oleh pemerintah. Dan sanksi yang diberlakukan pun sangat tegas agar membuat jera. Yaitu, berupa pencabutan ijin usaha bagi PJTKI yang tidak melaksanakannya,’’ sambung Pinky.

’’Kemarin di Medan saya temukan ada 14 anak yang bisa dibebaskan dari trafficking. Nah, untuk memulangkan mereka ke tempat asalnya ini kan seharusnya biayanya ditanggung oleh pemerintah daerah. Makanya, harus ada alokasi dana Pemerintah Daerah yang dipersiapkan untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini.’’

Bank Minded

Munculnya calo dan pungli di sekeliling para naker utamanya setelah kembali ke Indonesia juga harus segera ditangani. Sejak mereka mendaftar menjadi TKW, di Bandara Soekarno - Hatta hingga kembali ke tempat asal mereka.

Menurut Pinky, persoalan ini juga terkait dengan pemberdayaan dan kemandirian tenaga kerja itu sendiri. Para naker terutama TKW harus memiliki strategi untuk melindungi dirinya sekaligus mengamankan uangnya dari calo dan pungli.

’’Saya suka pada sebuah lembaga yang mengajarkan kepada TKW untuk bank minded. Gaji dibayar lewat bank. Dan, ketika mereka pulang pun tidak membawa banyak uang, secukupnya saja. Ini kan menguntungkan mereka, karena sumber pemerasan itu tidak ada,’’ terang ibu yang masih tampak cantik diusianya yang ke-47 ini.

’’Mata rantai praktik pungli dan calo ini harus diblokir. Dan upaya ini telah kita mulai sesuai Instruksi Menteri bahwa pemulangan tenaga kerja itu harus didampingi oleh dinas tenaga kerja,’’ tuturnya.

Peran masyarakat pun juga dibutuhkan. Terutama untuk mengubah stigma yang memandang rendah para TKW. Sebab, cara pandang seperti itu malah membuat para TKW jadi bertindak semaunya bahkan kehilangan rasa nasionalismenya.

’’Saya sangat jengkel dengan sikap pramugari pesawat yang cenderung meremehkan para TKW. Tapi, bagaimanapun saya berpesan kepada para TKW yang sudah lama di negeri orang ini agar tetap bangga pada bangsa dan negaranya sendiri.’’



Kemandirian

Pinky Saptandari sejak dulu dikenal sebagai tokoh kritis yang berani bersuara tentang berbagai persoalan. Seperti masalah perkotaan, gender, dunia kampus, anak jalanan, bahkan pemerintahan yang menyangkut kepentingan banyak pihak. Ia juga dikenal sebagai sosok yang jujur, mandiri, dan mendukung prinsip demokrasi.

Pinky juga tak segan mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan. Baik berupa pemikiran maupun tenaga ia tuangkan melalui aktivitas sosial yang dilakukannya sebagai Sekjen Dewan Kota Surabaya. Ia kerap membantu orang-orang kurang mampu dengan menggelar acara atau menggalang dana dari anggota Dewan Kota untuk membiayai aktivitas sosial tersebut. Ia pun rela untuk merogoh koceknya bagi yang membutuhkan. Bahkan, ia mau banting tulang demi membiayai aktivitasnya ini. Dan ia mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya.

’’Bagi saya itu bukan masalah. Karena saya melakukannya dengan ikhlas, senang hati, dan tanpa beban. Apalagi sejak kecil saya memang suka cari uang. Making some money untuk membiayai aktivitas sosial saya,” ungkap tokoh perempuan yang ramah ini.

Sikapnya itu ia turunkan pada kedua putranya sejak kecil. Ketika anak pertamanya masih kelas 4 SD, ia berani membawa adiknya yang sedang sakit ke rumah sakit tanpa bantuan orang tuanya. Bahkan, meski dirinya berkecukupan, anak-anaknya tak segan menjadi loper koran ataupun waitress sekedar untuk menimba pengalaman.

Bagi Pinky, kemandirian adalah tanggung jawab setiap orang. Tak peduli pria atau wanita. ’’Posisi pria dan wanita bagi saya itu setara. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang. Dan rumah tangga adalah kerjasama antara dua belah pihak semacam simbiosis mutualisme. Jadi, segalanya harus dirundingkan bersama. Kuncinya adalah komunikasi,’’ tuturnya seraya tersenyum. [NUY HARBIS]



Biodata :

Nama : Pinky Saptandari
TTL : Surabaya, 26 Mei 1958
Anak : dua putra
Pendidikan : 1984 Sarjana jurusan Sosiologi Unair Surabaya
1992 Studi Perempuan dan Pembangunan di Leiden, Netherland
1994 S2 jurusan Antropologi UI
Karir : Staf pengajar FISIP Unair Surabaya [1985 – sekarang]
Sekjen Dewan Kota [2002 – sekarang ]
Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan 2005 – sekarang

Bali saka Hongkong: Lik Kis Pengin Bukak Cafe lan Terus Nulis


’’Janma tan kena kinira, bathok bolu isi madu.’’ Mangkono unen-unen kang saiki wis ora populer lan ora pati dianggep. Upamane, dening sapa wae sing nganggep manawa pekerja rumah tangga utawa domestic worker [kerep diarani: rewang, batur, babu] kadidene pakaryan kang asor drajate. Lik Kismawati, sangsaya cas-cis-cus basa Inggris-e, dadi aktivis, lan sangsaya mekar bakat nulise sawise 7 taun dadi rewang neng Hongkong.



Dadi TKI watara 7 taun ing Hongkong wus cukup tumrap Lik Kis [jeneng jangkepe: Lik Kismawati].’’Sabisa-bisa aku ora arep bali kerja neng luwar negri maneh,’’ kandhane pawestri asal Desa Kraton, Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, iki. Lha, njur, apa rencanane sabanjure?

Ing kulawargane, Lik—ngono biasane dheweke diundang— iki anak mbarep. Sedulure 4. Kadidene anak mbarep, kenya 27 taun iki ngrumangsani gedhene tanggungjawabe. Apamaneh ngelingi yen kulawargane klebu sekeng. Ya merga sekenge kulawargane kuwi, biyen Lik mung bisa mungkasi sekolahe ing kelas 2 SMA.

Lik Kis dadi TKI wiwit November 1999 ing Hongkong nganti 15 Juni 2006. Dheweke rumangsa jinangkung pengeran jalaran sasuwene megawe ing Hongkong ora nate kepalang prekara sing abot. Majikane wong Hongkong asli. Majikan lanang pegawe restoran, dene Si Nyonya megawe ing rumah sakit.

Ing negarane Andy Lauw kuwi, Lik aktif ing organisasi Indonesiaan Migrant Worker Union (IMWU), lan ing pakumpulane para penulis: Komunitas Perantau Nusantara (Kopernus), lan Café de Kosta.

Kadidene anggota IMWU, dhek November 2005, Lik diprecaya makili organisasi TKI iku nekani acara ing Korea suwene 12 dina.

Pinter Nulis

Lik Kish hobi, lan dhasare pancen pinter nulis. Tulisane kang sepisanan kapacak ing kalawarti arupa reportase, yakuwi ing Tabloid Suara (Hong Kong). Tulisan sabanjure arupa esai lan crita cekak abasa Indonesia, kapacak ing kalawarti-kalawarti babaran Hongkong kaya ta: Intermezo, Berita Indonesia, Peduli, Ekspresi, lan Apa Kabar. Sawatara crita cekake uga kapacak ing ariwarti babaran Indonesia: Sinar Harapan (Jakarta) lan Surya (Surabaya). Saperangan cirta cekake Lik uga kapacak ing buku-buku kumpulan crita cekak: Kumpulan Cerpen Srikandi (2006), Nyanyian Imigran (2006), lan Selasar Kenangan (2006).

Kanthi tulisan-tulisane, Lik uga klebu kerep menang lomba. Wadon sing ora doyan pedhes iki tau dadi Juara II lan Juara Harapan III ing sayembara ngarang crita cekak kang dianakake dening Forum Lingkar Pena (FLP) Hongkong tahun 2005.

Suka-sekele Urip neng Paran

Jenenge wae wong bara, urip adoh saka kulawarga lan kampung kelairan, rasa kangen kuwi sok nganti thukul dadi prenthuling luh kang banjur tumetes nelesi pipi. Luwih-luwih, upamane, ing malem lan dina riyaya, ati rasane kaya nelangsa merga ora bisa kumpul kulawarga. Untunge, ujare Lik, neng Hongkong akeh kancane. Kanthi aktif ing organisasi lan nindakake bab-bab sing positif, ati kang sok tumlawung bisa dadi lejar.

Lik banjur kandha manawa rasa sedhih kang paling nandhes ing batine dhek isih ana Hongkong yakuwi nalika nampa kabar manawa wong tuwa lanange kang nyambutgawe dadi sopir, Sutrisno, tilar donya (Desember 2003). ’’Rasaku sedhih banget wektu kuwi,’’ kandhane Lik kang ngaku nganti seprene durung duwe pacangan iki.

Pengin Bukak Café

Sawise bali bali saka Hongkong, Lik mantep ora bakal budhal dadi TKI maneh. Dheweke pengin bukak usaha dhewe senajan cilik-cilikan. ’’Aku pengin wirausaha. Saiki isih nimbang-nimbang, milang-miling, endi sing sekirane nguntungake lan bisa taktindakake, sambi nerusake hobiku nulis,’’ ujare.

Kanggo pawitan, saiki Lik wis tuku lemah ing tlatah Gresik perangan kidul. ’’Saiki aku ya durung ngreti bakal taknggo apa lemah kuwi. Nanging, takkira bakal nguntungake, jalaran krungu-krungu neng kono mengko bakal dibangun tol Surabaya – Mojokerto, malah bakal ana terminale barang.’’

Pengin bukak usaha apa? ’’Penginku sih, bukak cafĂ©. Sajake, ing lingkunganku usaha iku kepetung nguntungake,’’ mengkono pratelane Lik kang saiki isih kumpul wong tuwane ing Krian, Sidoarjo. [BONARI NABONENAR/KUSWINARTO]
sUmber: Majalah Jaya Baya

Penghargaan bagi Mereka yang Peduli

Peduli 10 [Februari 2007], seperti edisi sebelumnya, selain menampilkan laporan mengeni pengusaha atau pebisnis yang sukses [dengan ukuran kesuksesan yang relatif] juga menampilkan mereka yang kurang atau bahkan boleh dibilang tidak sukses. Yang sukses, antara lain, peternak lebah dengan produk utama madu, madu propolis, dan bee pollen, yang omzetnya sekitar Rp 30 juta/ bulan, dan pengusaha monte yang bisa meraup pendapatan Rp 3 juta – Rp 5 juta per hari.

Hariyono SE, peternak tawon alias lebah di Lawang, Malang, Jawa Timur, bahkan telah mendapatkan Asean Best Executive Award 2003 – 2004 dan 2005 -2006, serta Asean Best Executive Citra Award 2006. Ia memang layak mendapatkan predikat itu. Ia memang kreatif. Ia telah mendobrak tradisi dengan melakukan inovasi. Pendeknya, Hariyono adalah tokoh yang telah melakukan modernisasi dalam usaha peternakan tawon. Hebatnya lagi, ia memelajari semua itu dari sang ayah, dan terutama dari alam, sebab ijasah sarjananya pun tak ada sangkut-pautnya dengan bidang peternakan, apalagi khusus peternakan tawon. Hariyono ialah seorang sarjana akuntansi.

Inovasi

Secara tradisional, turun-temurun, para petani di kampung-kampung memelihara tawon di sebuah kotak kayu [glodhogan]. Walau mereka tahu khasiatnya, tahu mahal harganya, tetap saja mereka memelihara tawon hanya sebagai sampingan. Karena itu caranya pun sangat sederhana: membuat kotak kayu [glodhogan] dipasang di tempat tertentu [biasanya di ladang] dan membiarkannya sang tawon datang secara sukarela untuk menghuninya. Kemudian, glodhogan itu diusung ke dekat rumah atau tak jarang pula dibiarkan di tempatnya semula, dan sesekali ditengok kalau-kalau sudah bisa diundhuh [dipanen] madu dan larvanya.

Hariyono memang telah mendobrak tradisi demikian itu. Ia mengerahkan segenap konsentrasinya untuk menekuni bisnis peternakan tawon. Dan berbagai inovasi pun dilakukannya, sejak cara-cara pemeliharaan, cara memanen, dan pengolahan hasil produksinya.

Berbagi Ilmu

Ada hal lain yang tak kalah hebatnya yang dilakukan Hariyono, yakni bagaimana ia menularkan ilmu dan ketrampilannya kepada orang-orang yang tepat. Seperti ditulis Peduli, Hariyono memelihara tawonnya dengan sistem penggembalaan. Dengan truk ia membawa kotak-kotak tawonnya ke daerah-daerah yang memiliki persediaan bunga yang cukup. Kadang sampai 3 atau 6 bulan di suatu tempat, sebelum harus berpindah ke tempat lain yang jaraknya bisa beratus-ratus kilometer. Untuk melakukan perawatan dan penjagaan terhadap tawonnya di tempat penggembalaan itu Hariyono memanfaatkan tenaga-tenaga lokal. Dan kepada merekalah Hariyono menularkan ilmu [modern] memelihara tawon.

Maka, jika suatu kali Anda melintasi wilayah Pucanganak [di Jalur Trenggalek – Ponorogo, Jawa Timur] dan mendapati papan bertuliskan, ’’Jual Madu Murni,’’ tak pelak lagi, bisnis itu dikelola oleh orang yang telah belajar dari Hariyono. Tak sedikit orang yang telah mendapatkan ilmu dari Haryono, mereka tersebar di berbagai tempat di Jawa, dan bahkan juga di Bali. Sebab, di mana Hariyono menggembalakan tawonnya, di situ pulalah ia menularkan ilmunya, secara sukarela pula!

Pemberdayaan Masyarakat

Model pemberdayaan masyarakat seperti yang dilakukan oleh Haryono, dilakukan pula oleh beberapa pebisnis di bidang lain, termasuk di bidang kerajinan pembuatan aksesoris berbahan dasar monte, di Surabaya. Sayangnya, Hariyono dan beberapa pengusaha yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat di sekitarnya itu kurang mendapat perhatian pemerintah. Perhatian yang bagaimana? Tentu saja bukan perhatian seperti yang kita berikan kepada anak kecil yang sedang rewel, atau bahkan kepada fakir yang sedang kelaparan.

Bahkan, mestinya, Pemerintah mau belajar dari orang-orang kreatif bin inovatif itu, terutama dalam hal upaya pemberdayaan masyarakat. Selama ini, sejak Zaman Orde Baru, kita melihat Pemerintah menggelontor dana bantuan yang tidak sedikit untuk memberdayakan masyarakat. Sebutlah contoh, berapa banyak dana digelontor untuk program bantuan bibit [unggul] ternak kambing, sapi, kelinci, dan lain-lain. Berkali-kali bantuan bibit ternak dikirim, tetapi hampir selalu nihil hasilnya. Bantuan-bantuan itu seperti menguap begitu saja.

Jangan Mendikte

Jangan-jangan lebih banyak pengusaha yang dilahirkan oleh pengusaha-pengusaha peduli seperti Hariyono itu daripada yang dilahirkan oleh Pemerintah? Jika pun demikian, agaknya kita tidak terlalu susah untuk menuding biangnya. Seperti lazimnya program-program alias proyek yang bersifat didiktekan dari atas ke bawah, seolah-olah Pemerintah itu melihat dan mengangankan seluruh orang kampung/desa menjadi peternak kambing, menjadi peternak sapi, menjadi peternak kelinci, dan seterusnya. Padahal, kita tahu setiap orang itu lahir dengan garis tangan, bakat, dan minatnya masing-masing.

Jika mau memetik hasil yang bagus, mestinya proyek-proyek itu dilaksanakan dengan melihat secara jeli potensi-potensi yang ada di masyarakat, dan jangan dipukul rata begitu. Maka, kini saatnya kita bertanya, sudahkah Pemerintah menunjukkan kepeduliannya, misalnya, terhadap para perajin gerabah di Kecamatan Panggul, Trengalek, Jawa Timur [dilaporkan pula di Peduli 10] yang sejak berpuluh tahun bertahan di dalam ’kemiskinan’ mereka [miskin modal, dan lebih-lebih miskin kreasi]? [Bonari Nabonenar, Pimred Peduli]

Sumber: BI

Setelah Berdemo, Apa Lagi?

Selain menurunkan hasil liputan mengenai bertanam semangka, pembuatan tiwul instan, dan keberhasilan pengusaha salon yang merintis bisnisnya dari sebuah gang sempit nan becek, Majalah Peduli edisi Januari 2007 [sedang ngantri di percetakan ketika tulisan ini dibuat] juga menurunkan hasil liputan tentang para buruh di Jawa Timur yang berdemo, menuntut revisi UMK [Upah Minimum Kabupaten/Kota] 2007. Ada yang menarik dari kenyataan ini.

Orang kadang mengeluhkan pendemo yang menimbulkan kemacetan lalulintas, mengakibatkan kerusakan pagar, tanaman, dan lain-lain, selain tak jarang memicu kekerasan, bentrok antara pendemo itu sendiri dengan aparat. Tapi, lihatlah para penjual es cendol, tukang bakso, dan para pengasong, mereka dapat peluang mengais rezeki dari kerumunan yang timbul karena adanya demo.

Nah. Kalau demo mengakibatkan kemacetan lalulintas dan lain-lain hal yang tidak mengenakkan, tepatkah rasa tidak senang itu dialamatkan langsung kepada para pendemo? Apakah mereka pernah berpikir bahwa negara, perusahaan, boleh jadi adalah alamat yang paling tepat untuk sasaran ketidaksenangan, kejengkelan, dan bahkan kemarahan itu? Apakah ketika buruh telah mendapatkan hak-haknya secara pasti, telah sejahtera [walau istilah ini terlalu lentur] mereka masih perlu berdemonstrasi, nglurug ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat, Ke Kantor Bupati, Kantor Gubernur, dan bahkan ke Istana Negara?

Tetapi, kapan keadaan dimana kaum buruh tidak perlu berdemo itu akan jadi kenyataan? Bukankah telah jadi kebiasaan, si kuat akan cenderung memerdayai si lemah? Kaum buruh selama ini diremehkan, bahkan nilainya hanya diukur dengan harga-harga: ikan asin, beras, gula, dan cabe merah berkualitas rendah. Oke, mungkin akan ada yang menimpali, ’’Kalau upah buruh dinaikkan, perusahaan merugi, pemodal mana mau berinvestasi di Indonesia?’’ Maka, tidak perlu ilmu ekonomi tingkat tinggi, lihatlah kenyataan ini: banyak tenaga kerja asal Indonesia bekerja di perusahaan-perusahaan, di perindustrian di luar negri, dibayar berlipat-lipat kali bayaran di negeri sendiri untuk memroduksi barang-barang yang pada akhirnya dilempar ke pasar Indonesia. Bagaimana hal ini bisa terjadi, jika kita masih menganggap bayaran mereka di negeri sendiri terlalu mahal? Bukankah begitu nalarnya?

Seperti dikutip Peduli, sebuah tim melakukan survei harga pasar sebelum UMK itu ditetapkan. ’’Asisten Kesejahteraan Masyarakat [Kesra] Pemerintah Propinsi Jatim Drs Endro Siswantoro MSi menegaskan, UMK ditetapkan setelah dilakukan survei oleh Dewan Pengupahan dan unsur Tripartit [pengusaha, pekerja, dan buruh] yang diketuai Badan Pusat Statistik [BPS] dari masing-masing kabupaten/kota. Mereka melakukan survei harga pasar dengan mengacu mekanisme yang ditetapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigasi [Menakertrans] No 17 Tahun 2005 tentang Survei Harga Pasar untuk Menentukan Kebutuhan Hidup Layak [KHL].’’

Dengan laporan ini, sayangnya, kita masih punya pertanyaan: berapa orang anggota keluarga yang ditanggung oleh seorang buruh yang diasumsikan penentu kebijakan penetapan UMK ini? Lalu, seberapa longgar rentang antara ’’kebutuhan hidup layak’’ dengan kemungkinan kenaikan harga-harga, termasuk inflasi? Bukankah beras yang awal bulan lalu seharga kurang dari Rp 5 ribu/kg kini sudah lebih dari Rp 5 ribu/kg? Pertanyaannya lagi, apakah seorang buruh hanya diupah sebesar kebutuhan hidupnya dalam sebulan, dan tak sedikit pun diberi kesempatan untuk menabung demi hari tua? Jangan jawab pertanyaan terakhir ini, tetapi ingatlah bahwa pemutusan hubungan kerja [PHK] biasanya adalah ’bencana’ bagi seorang buruh. Jika buruh bisa menabung, tentu hantaman PHK itu tak sedahsyat seperti yang biasa kita saksikan selama ini.

Jadi, demonstrasi adalah perbuatan yang diperbolehkan, dimungkinkan oleh tatanan pemerintahan yang demokratis, tetapi tampaknya memang dibenci oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan dengan segenap aparatnya.

Jika buruh merasa ada hak-haknya yang terlanggar dan diam saja, itu sama halnya dengan menzalimi diri sendiri. Tetapi, jika bisa, demo bukanlah satu-satunya cara untuk memerangi ’’ketidakadilan dunia’’ ini. Banyak contoh [ada pula yang tampil di Peduli edisi Januari 2007] orang-orang yang mendapatkan hikmah dari kenyataan pahit bernama PHK itu. Ternyata mereka bisa keluar dari krisis, dan bahkan serta-merta muncul kreativitasnya yang tanpa ’kejutan’ bernama PHK itu bisa jadi akan tetap tumpul. Mereka berusaha sendiri, berbisnis sendiri, dan kemudian mendapatkan penghasilan jauh lebih besar daripada saat mereka menjadi buruh. [Bonari Nabonenar, Pimred Peduli]

Sumber: BI

Jangan hanya Pesta jika Peduli

Sering, waktu terasa begitu cepat melaju. Terutama ketika kita sungguh-sungguh sibuk, 24 jam dalam sehari serasa kurang. Waktu dirasa jalan terlalu lambat, tampaknya, hanya oleh orang-orang yang sedang sakit dan atau mereka yang tidak mau bekerja. Syukurlah, segenap awak Peduli dikaruniai kesehatan, dan kesibukan, dan merasa: waktu jalan cepat. Lha, tiba-tiba saja kita sudah akan berjumpa Peduli edisi 11 [Maret 2007]. Artinya, bulan April 2007 nanti akan terbit Peduli edisi 12 [edisi ulang tahun]. Edisi ulang tahun yang akan digarap dalam irama kesibukan yang makin meningkat berkaitan dengan rencana menggelar FESTIVAL SASTRA BURUH 2007 [Blitar, 30 April – 1 Mei 2007].

Manusia, jika ia masih berumur setahun, namanya adalah bayi. Ia perlu dijaga dan dirawat secara istimewa. Makanan suplemen, dan bahkan susu bikinan pabrik pun mesti diberikan buat si bayi, walau ia juga secara rutin masih bisa ngemik susu ibunya. Lha, yang diperlukan Peduli yang masih akan berumur setahun tak lain dan tak bukan adalah kepedulian para pembacanya. Maka, Redaksi menunggu komentar, saran, dan kritik dari para pembacanya.

Ndilalah, selain mengulangtahuni Peduli, pada bulan April juga biasanya kita memeringati hari kelahiran pahlawan emansipasi Ibu Kartini. Biasanya, Peringatan Hari Kartini diisi dengan berbagai kegiatan bernuansa: perempuan. Ada lomba peragaan busana, lomba memasak, dan memaksa laki-laki [bapak-bapak] melakukan hal-hal yang biasa dilakukan perempuan, misalnya: menggulung stagen atau centhing, suami merias wajah istri, dan lain-lain yang rasanya memang sensasional. Dan selebihnya adalah pesta, perayaan, yang bisa saja sesunguhnya tidak begitu nyambung dengan Semangat Kartini.

Apakah kita akan merasa perjuangan Ibu Kartini telah menuai sukses ketika kita bisa memaksa bapak-bapak diam di rumah mengurus anak sambil memasak dan memberi peluang para ibu bekerja di kantor [di luar rumah]? Itukah persamaan hak yang sesungguhnya? Apakah Ibu Kartini bisa tersenyum [seandainya beliau masih hidup] melihat angka kekerasan dalam rumah tangga [KDRT] yang makin hari makin meningkat dan hampir semua kasus dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan? Itu belum termasuk kekerasan di luar rumah tangga dan di luar rumah yang juga hampir seluruh korbannya adalah perempuan.

Banyak orang yang cukup dramatik di atas podium ketika menggambarkan keadaan perempuan yang terlalu sering ditindas, lebih-lebih perempuan pekerja, tak terkecuali pekerja rumah tangga [PRT] baik yang bekerja di dalam maupun di luar negri, tetapi seolah kehilangan semangat begitu turun dari podium. Rasanya makin hari kita memang semakin banyak urusan, semakin banyak kepentingan. Lalu, secara alamiah masing-masing kepentingan itu merebut diri kita pada momentumnya masing-masing. Dan kita menjadi pelupa karena makin hari makin banyak yang mesti kita ingat.

Siapa yang tak tahu bahwa banyak pekerja perempuan kita, khususnya yang bekerja di luar negri, tak hanya memeras keringat, tetapi tak jarang pula keluar air mata, dan bahkan darah? Itunglah berapa pekerja perempuan kita yang pulang dalam ujud jenasah, dan bahkan hanya tinggal nama dan beritanya saja? Berapa pula yang mengalami perlakuan buruk sejak sebelum berangkat, ketika berada di penampungan, ketika bekerja, dan bahkan di dalam perjalanan pulang kembali ke tanah air? Pelaku kejahatan ada di mana-mana: di terminal, bandara, dan bahkan di tengah perjalanan. Siapa mau peduli? Di depan kamera televisi, di atas podium, orang berbicara berapi-api. Tetapi setelah itu, semuanya menjadi dingin.

Panitia FESTIVAL SASTRA BURUH 2007 menyadari semua itu. Karenanya, untuk acara yang bakal digelar di Blitar [30 April – 1 Mei 2007] itu Panitia menyoba mengundang berbagai pihak terkait urusan perburuhan: LSM, Pejabat Disnaker, Kepala Daerah Kabupaten/Kota, Para Buruh, Seniman, PJTKI. Kita berharap semua pihak akan ambil bagian di dalam dialog yang kalau perlu tidak usah terlalu berapi-api, tetapi juga jangan gampang dilupakan.

Jadi, jika kita benar-benar mau peduli, pesta atau festival hanyalah sebuah sarana. Adalah wadah untuk terjadinya dialog dalam suasana yang lebih sejuk, dan indah [mengutip bagian pengantar dari proposalnya], dengan harapan akan didapat banyak inspirasi untuk mewarnai kebijakan, tindakan, perilaku yang lebih baik di kemudian hari.

Jadi, jangan hanya sekadar pesta.....! [Bonari Nabonenar, Pemimpin Redaksi Peduli, salah seorang penanggung jawab acara Festival Sastra Buruh 2007]

Sumber: BI

Kamis, 10 Januari 2008

Eni Kusuma Penulis Buku Anda Luar Biasa!!!


Setelah 6 tahun jadi TKI di Hong Kong, perempuan mungil asal Banyuwangi ini pulang ke tanah air untuk seterusnya sejak 25 Februari 2007 lalu. Sejarah penting pun ia ciptakan di awal-awal come back-nya. Tak tanggung-tanggung, sekaligus tiga sejarah ia ciptakan. Apa saja?

Beberapa bulan ini, wajah dan profil putri bungsu pasangan M. Yasin [60] dan Asfia [55] ini menjadi ’’santapan’’ sejumlah media massa. Pemilik nama asli Eni Kusumawati yang lahir di Banyuwangi, 22 Agustus 1972, ini pun telah tampil di sejumlah stasiun televisi.

Itu terutama terkait dengan terbitnya buku karangan Eni—panggilan Eni Kusumawati—berjudul Anda Luar Biasa!!! April 2007 lalu. Buku tersebut disebut-sebut sebagai buku motivator pertama yang lahir dari tangan seorang [mantan] pekerja rumah tangga [PRT] yang bekerja di luar negeri.

Sebagaimana judulnya, Anda Luar Biasa!!!, isi buku tersebut ternyata memang luar biasa. Dari sejumlah endorsment yang diberikan oleh beberapa orang yang cukup dikenal—sebagian seorang motivator—di buku tersebut, antara lain dapat diketahui bobot buku karya alumnus SMAN 1 Banyuwangi [kini SMAN 1 Glagah] ini. Semuanya menilai buku tersebut luar biasa dan dahsyat.

Pengakuan atas bobot buku Eni juga datang dalam Festival Sastra Buruh 2007 di Kampung Seni Bagus Putu Parto di Desa Gogodeso, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, 30 April 2007—1 Mei 2007 lalu. Darmono Saputro yang jadi salah seorang pembicara—mewakili kepala Subdin Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Jawa Timur yang berhalangan hadir—menyebut buku karya Eni memang luar biasa.

Menikah

Senin, 2 April 2007 menjadi hari istimewa karena hari itulah warga Jalan Belitung 21 Banyuwangi ini melepas masa lajangnya, menikah, dan menghilangkan keperawanannya dengan lelaki yang kini menjadi suaminya, Hisam [30], yang juga asal Banyuwangi.
Proses pertemuan hingga pernikahan adik dari Puji Rahayu Astuti [38] dan Ani Sulistyorini [35] ini dengan suaminya Hisam yang seorang karyawan perusahaan mebel kualitas ekspor ini boleh dibilang cukup unik juga. Ada kisah mirip-mirip juga dengan novel Siti Nurbaya. [Baca Nikah atau Enggak, Keputusan Ada di Bandara]. [KUS]

Masakan Codot ’Batman’ Goreng di Kediri

Tambah Rame Pembeli setelah Masuk TV dan Majalah


Codot [bhs. Jawa] adalah kelelawar buah. Kelelawar ini beda dengan yang biasa tinggal di atap rumah kosong. Memang keduanya sama-sama biasa berkeliaran setelah hari gelap. Namun, makanan codot khusus, yakni buah-buahan masak semisal sawo dan duku.

Di Kota Kediri, Jawa Timur, tepatnya di Desa Gayam, Kecamatan Mojoroto, ada sebuah keluarga yang menjadikan codot sebagai sumber penghasilan. Tukimin dan istrinya, Inamah, adalah keluarga yang dimaksud. Caranya, keluarga ini menggoreng codot-codot hasil tangkapan, kemudian menjualnya, layaknya masakan lain semisal satai, ayam goreng, dan pecel lele.

Ketika Senin [07/05] Peduli bertandang ke rumahnya yang sekaligus jadi rumah makan sederhana, Pak Min—panggilan Tukimin—mengaku, masakan Batman Goreng—nama menu codot goreng itu—disukai banyak pembeli.

’’Ada saja orang datang ke sini. Ada yang mau mencicipi rasanya seperti apa, ada pula yang datang karena ketagihan. Apalagi setelah Batman Goreng ini masuk majalah dan TV. Tambah rame lagi. Tak hanya orang Jawa Timur menginginkan Batman Goreng. Orang di Jakarta, Jawa Barat, bahkan Singapura ada yang pesan. Kami mengirimnya lewat paket,’’ ungkap Pak Min.

Selain karena masakan tak biasa dan langka, Batman Goreng diburu pembeli juga karena dipercaya berkhasiat menyembuhkan asma dan alergi. ’’Bukan kami yang bilang bisa menyembuhkan asma. Pembeli membuktikan sendiri, lalu bilang pada kami,’’ ungkap Inamah.

Sejak 1985

Bagi banyak orang, codot goreng memang menu baru. Bahkan sebagian orang sudah merasa ngeri ketika membayangkannya, apalagi menyantapnya. Namun bagi Pak Min dan beberapa temannya, menyantap codot goreng sudah biasa. Sejak tahun 1975, Pak Min sudah sering mengonsumsi codot. Baru tahun 1985, usaha makanan Batman Goreng dibuka.

Sejak usaha Batman Goreng, setiap malam Pak Min berburu codot dengan senapan angin. Selain berburu sendiri, Pak Min juga membeli codot dari pemburu lain. Tak hanya wilayah Kediri dijelajahi Pak Min dan kawan-kawan untuk mendapatkan codot. Mereka berburu sampai ke Blitar dan Nganjuk. Yang didatangi adalah tempat-tempat yang banyak terdapat buah-buahan masak. Dalam semalam didapat codot sebanyak 100—150 ekor. Pak Min mengatakan, dari para penangkap, codot dibelinya seharga Rp 2.000/ekor.

Harga pembelian codot dari pemburu itu termasuk mahal. Namun, menurut Pak Min, mendapatkan codot ketika berburu memang juga termasuk susah, apalagi jika tidak sedang ada musim buah. Sementara itu, untuk membudidayakan codot, dipandang Pak Min masih belum bisa. Pasalnya, itu memerlukan pakan berupa buah-buahan masak yang tentu tidak sedikit. Selain itu, kata Pak Min, codot itu kalau beranak cuma satu dan dibawa ke mana-mana. ’’Tidak seperti kucing yang sekali beranak bisa dua, tiga, atau empat. Lagipula, berburu codot kan termasuk membantu para pemilik kebun buah. Soalnya, codot ini kan termasuk hama buah-buahan,’’ kata Pak Min.

Pengolahan

Pengolahannya, codot terlebih dahulu dikropok (dibakar dengan arang) supaya bulu halusnya hilang. Setelah dikropok, daging codot dimasukkan ke dalam panic, lalu disiapkan bawang putih, bawang merah, cabai rawit merah, dan merica. Bumbu-bumbu itu dihaluskan, lalu dimasukkan ke dalam panci berisi daging codot tadi, kemudian dimasak sampai bumbu meresap. Setelah itu, codot digoreng dan siap santap.

Satu porsi Batman Goreng terdri dari seekor codot goreng, sepiring nasi, dan sepiring sambal. Satu porsi dijual seharga Rp 4000. Setiap hari, Pak Min dan istrinya dapat mengolah 80—100 ekor codot.

Saat berkunjung ke warung Pak Min, Peduli sempat mencoba satu porsi Batman Goreng itu. Gimana rasanya? Emh, nyam nyam nyam nyam. Jawabnya, datang dan cicipi sendiri aja, ya? [KUSWINARTO]

Mantan TKI HK Buka Warung Kopi Sederhana

Dapat Untung Bersih Rp 2,5 Juta/Bulan


Setinggi-tinggi bangau terbang hinggapnya di pelimbahan juga. Sejauh-jauh burung merantau, kelak akan pulang juga pulang juga ke sarangnya. Pulang dari Hong Kong [atau dari negara lain tempat bekerja] lalu apa setelah kembali berada di Indonesia? Mengongkosi hidup sehari-hari dengan uang tabungan, atau membuka usaha/bisnis untuk mengembangkan modal yang dipunya?

Tampaknya banyak yang punya pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Juga Marwiyah [29] perempuan asal Desa Andongsari, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Single parent dengan seorang anak berusia 10 tahun ini telah bekerja di Hong Kong untuk dua periode. Periode pertama di Chung Kwan O selama 4 tahun. Ketika habis kontrak [kedua] pulang ke Indonesia untuk menyelesaikan urusan keluarga. Lalu balik lagi ke Hong Kong, dan bekerja di kawasan Jordan. Karena sesuatu hal terpaksa ia putus kontrak dan pulang [September 2005] dan berencana menetap di tanah air.

Selama sekitar 2 tahun [sejak 2005] Marwiyah terus bergelut dengan pertanyaan, ’’Apa ya bisnis yang bisa saya lakukan?’’

Ternyata, pertanyaan itu mendapatkan jawaban dari seorang sahabat yang didapatnya di sanggar senam. ’’Mbak, bukalah cafĂ© saja. Aku sudah melakukannya, dan lumayan lho, penghasilannya,’’ Marwiyah menirukan anjuran sahabatnya itu.

Maka, mulailah Marwiyah membuka usaha café [warung kopi] di tepi jalan raya dengan menyewa sebuah rumah [jadi, bukan warung tenda] pada 25 Maret 2005. Belum genap 3 bulan. Bahkan, ketika Peduli mengunjungi warungnya [awal Mei 2007] terhitung belum genap 2 bulan.

Tetapi, Marwiyah sudah menampakkan optimismenya. Apalagi, mengingat bahwa menu yang ia sediakan belum lengkap seperti yang diangan-angankan. Selain kopi, the, wedang jahe, susu, susu-jahe, kopi susu, kopi jahe, dan berbagai soft-drink, baru bisa menyediakan mie rebus dan mie goreng. Jajanannya pun baru beberapa jenis, antara lain kacang goreng, krupuk, dan marning.

’’Ya, lumayan Mas, kemarin saya itung, saya dapat dua juta setengah [Rp 2,5 juta, Red] bersih,’’ tutur Marwiyah. ’’Padahal, ini belum lengkap. Maunya sih, banyak jenis minuman lagi yang kami sediakan. Tetapi masih nunggu modal bertambah,’’ imbuhnya.

Memang terlihat lumintu [pengunjungnya datang dan pergi] walau tidak ramai-ramai amat. ’’Ini memang lagi sepi Mas, lebih sepi ketimbang biasanya, soalnya di selatan itu ada kompetisi bola voli. Jadi orang-orang pada ke sana,’’ Marwiyah menjelaskan.

Masalah Nonteknis

Rumah untuk café itu disewa Marwiyah Rp 4,5 juta untuk 3 tahun. Selain untuk kulakan bahan pokok, termasuk kulak jajanan, secara rutin [setiap bulan] Marwiyah harus mengeluarkan dana untuk menggaji 2 orang pembantunya, sekaligus menemaninya membuka cafenya [yang saat Peduli berkunjung belum diberi nama] dari pukul 09:00 hingga pukul 24:00.

Di luar soal kekurangan modal untukpengembangan usahanya, Marwiyah mengakui ada hal-hal nonteknis yang mengganggu perasaannya, yakni suara-suara orang di sekitar yang kadang sebegitu sumbang. ’’Ya begitulah, di kampung, buka usaha warung sedangkan status saya janda, orang-orang ngomongnya sering nggak enak di telinga. Mereka hanya rasan-rasan [tidak berbicara langsung di hadapan yang bersangkutan, Red] tetapi kan akhirnya kedengaran juga,’’ keluh Marwiyah.
’’Tetapi, biar saja, wong kami buka usaha baik-baik, niatnya baik, dan apa yang kita lakukan juga tidak seperti yang ada di pikiran orang-orang yang berkomentar miring itu kok,’’ tambahnya. [NAB]

Café de Kossta


Arsusi alias Ida, suatu kali mengatakan bahwa ’’sangar sastra’’ yang dibentuknya, CafĂ© de Kossta, mesti dibiarkan terbuka. Seperti halnya sebuah cafĂ©, semua orang boleh datang, sekadar nongkrong, methingkrang, njenthit, atau mau apa, sambil minum juga boleh, makan juga boleh, makan apa saja, minum apa saja, boleh bayar sendiri, boleh nraktir dan ditraktir, pokoknya bebas banget. Tetapi jangan salah, bebas banget bukan berarti liar, sebab kebebasan sebebas-bebasnya pun ada batasnya, berupa: kebebasan orang/pihak lain.

Begitulah pula kenyataan yang bisa kita lihat di milis kossakata@yahoogroups.com [ada yang datang, betah berlama-lama, ada yang nongol dan segera lenyap bagai ditelan bumi, ada yang cat katon cat ilang [sesekali muncul dan beberapa kali menghilang?].

Ida, sejak awal sudah bercita-cita memiliki penerbitan sendiri, untuk membantu teman-teman yang ingin menerbitkan karya tulisnya --yang memerlukan bantuan, tentunya. Tetapi, cita-cita itu hingga kini belum juga kesampaian. Kalaupun misalnya dalam waktu dekat bisa direalisasikan, penerbitan itu pun kelak juga tidak dimaksudkan untuk menjadi penerbitan yang ’’menguasai’’ tulisan para kosster. Sebab, kita akan merasa jauh lebih bangga apabila ada di antara kita yang bisa menerbitkan karyanya melalui penerbit-penerbit yang sudah ada dan punya reputasi yang membanggakan. Seperti yang terjadi pada tulisan [kumcer dan kumpuis] Maria Bo Niok. Kata Maria, ’’Pak, saya sungguh merasa bangga, sebab bukan saya menawar-nawarkan tulisan saya itu, tetapi pihak penerbit yang bersusah-payah memburunya ke rumah saya [yang perlu naik ojek ’’uji nyali’’ itu, Bon].’’

April ini juga, Eni Kusuma memutuskan pulang kembali ke tanah air [Banyuwangi] menikah dengan pria idamannya, dan menerbitkan buku motivasi Anda Luar Biasa!!!-nya. Penerbitnya Fivestar, Tangerang. Eni juga jadi salah satu maskot Festival Sastra Buruh [Blitar, 30 April – 1 Mei 2007]. Agendanya pun padat, 2 Mei Eni harus berbicara di hadapan para mahasiswa di Unibraw Malang, 3 Mei talk show di JTV dan di Delta FM Surabaya, dan 4 Mei di Universitas Jember.

Mesti saja terasa ganjil jika Café de Kossta merasa telah membantu membesarkan nama seorang Eni Kusuma, walau ketika ditanya Metro TV, SCTV, Jawa Pos, Nyata, Eni hampir selalu menyebut-nyebut nama Kossta. Dengan tidak merasa telah begini-begitu [tapi harus punya keinginan: ingin begini ingin begitu] Café de Kossta telah melakukan darma-nya benar-benar sebagai sebuah café. Gagasan-gagasan kecil mungil dan bahkan gagasan-gagasan besar, tak jarang muncul dari sebuah café yang dibiarkan tumbuh secara alamiah, tidak dikooptasi oleh ideologi, isme, aliran, atau hal-hal lain yang bersifat mengungkung.

Sedangkan, bagi Anda yang sedang atau hendak menggeluti dunia bisnis, apa pun jenisnya, di bidang jasa maupun material, jika tidak kaya ide atau gagasan, potensi untuk tergilas itu semakin besar. Itulah sebabnya, maka kita berkepentingan untuk bersama-sama menjaga agar Café de Kossta tetap berada di jalurnya.[BONARI]


peduli 13

Air Tuba Dibalas dengan Air Susu

Eni Kusuma penulis buku motivasi Anda Luar Biasa!!! itu, pada suatu sore di hari Minggu mengirim pesan pendek ke awak Redaksi Peduli, ’’Apakah Redaksi Peduli sudah baca Jawa Pos hari ini, tentang seseorang yang bantu biaya sekolah anak-anak tak mampu dengan modal sampah? Pengin sekali saya mengikuti jejaknya.’’

Demikianlah, ternyata di tengah kegelisahan berkait kondisi bangsa yang tak kunjung mentas dari keterpurukan ini, ketika para koruptor makin dijaring seolah makin berkembang biak --dijaring pun sering hanya nyantol sebentar lalu lepas bebas kembali, ketika ketegakan hukum dipertanyakan banyak orang, masih ada sosok-sosok yang membuat kita dapat menarik napas lega. Rasa kemanusiaan kita sebegitu tersentuhnya menyaksikan orang-orang yang tak menunggu jadi jutawan untuk bertindak sebagai dermawan.

Orang tak perlu menunggu jadi Bill Gates, jadi Alfred Nobel, atau jadi Pulitzer untuk jadi dermawan. Juga, tidak perlu menjadi kaya dengan berkorupsi lebih dulu untuk menjadi dermawan. Orang bisa beramal baik dengan apa yang dimiliki, bahkan kalau yang dimilikinya hanya seulas senyum. Ketika senyum itu tulus, itu pun bernilai sedekah, dicatat sebagai amal kebaikan, dan oleh karenanya merupakan bentuk kedermawanan pula.

Kita melihat pula kawan-kawan TKI-HK yang ketika pulang menyempatkan mampir untuk memberikan bantuan bagi seseorang yang terlilit kemiskinan di suatu kampung di salah satu sudut wilayah Jawa Timur, juga ketika para TKI HK yang tergabung di wadah NBF [Nongkrong Bareng Fans Club] atau dari komunitas lain, bahkan juga yang secara individual menyisihkan sebagian hartanya untuk disumbangkan kepada para korban semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, korban Gempa Jogja beberapa waktu lalu, dan lain-lain.

Kita begitu tersentuh. Sayangnya, media-media di Indonesia tampaknya kurang tertarik atau mungkin memang tidak sempat menyaksikan aksi-aksi kemanusiaan yang sunguh mulia itu. Maka, terkait dengan pemberitaan-pemberitaan tentang duka-derita para TKI yang menerima perlakuan kurang baik hingga yang layak disebut sebagai kejahatan oleh individu, lembaga, termasuk yang bernama Pemerintah Republik Indonesia, kita bisa –untuk aksi kemanusiaan para TKI dermawan itu—mamasang [terbalik] pepatah lama, ’’Air tuba dibalas dengan air susu.’’

REDAKSI
pEDULI 14

SETELAH PULANG JADI APA?

Eni Kusuma

Kalimat itu pertama kali saya dengar dari Mentor saya, Edy Zaqeus [penulis buku-buku best seller] yang menanyakan tentang saya setelah pulang nanti. Dan yang terakhir dari Mr. A Meng, kakak ipar majikan perempuan saya, ketika kami sedang di meja makan di sebuah restoran, menunggu kedatangan famili yang lain untuk makan siang. Kebetulan saya dan dia sedang bertugas memesan tempat. Sambil menunggu itulah kami ngobrol.

Jawaban yang saya berikan pada mentor saya adalah bahwa saya bisa menjadi apa saja asal saya terus belajar apa yang saya ingin lakukan. Jawaban sama pula saya berikan kepada Mr. Ameng. Berikut petikannya yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:

Mr. Ameng: Setelah kamu pulang nanti, apa yang akan kamu lakukan?
Saya: Saya bisa melakukan apa saja yang ingin saya lakukan. Karena saya sudah punya uang di bank, hasil tabungan saya selama enam tahun di sini.

Mr. Ameng : Oh ya?

Saya: Gak banyak, tapi bisa membuat saya tenang dalam hal keuangan. Sebagian beli rumah kecil ga begitu bagus, untuk disewakan, sebagian lagi beli sepetak tanah untuk ditanami cabe rawit. Sebagian lagi tetap di bank. Sementara saya bisa tinggal di rumah orang tua atau mertua nanti jika saya menikah.

Mr. Ameng : Perempuan cerdas. Rumah yang ditempati orang lain itu tidak perlu mewah. Kalo bisa jangan beli yang mewah, ini untuk menghindari hal-hal yang merugikan kamu.

Saya: Hehehe...! Makasih.

Mr. Ameng: Jadi orang memang seharusnya begitu. Kebanyakan orang Hong Kong berpikir seperti itu. Lihat kami, kami hidup bahagia. Kami yang sudah berumur 40 tahunan hanya makan tidur dan kerja pun jika kami suka melakukannya. Kami tidak pernah khawatir dengan keuangan kami. Banyak orang Hong Kong tidak pernah khawatir dengan keuangannya, hidup bahagia. Saya lihat orang Indonesia tidak demikian. Sedikit orang Indonesia yang berpikir seperti itu. Kebanyakan mereka suka bersenang-senang di usia muda, malas dan tidak punya tujuan dalam hidup mereka.

Saya: Yah... jika saja banyak orang Indonesia yang berpikir seperti yang seharusnya, seperti yang Anda katakan, tentu Indonesia maju sejak dulu.

Mr. Ameng: Mereka lebih suka menghabiskan uang daripada membuat uang jadi menghasilkan. Mereka lebih suka bekerja keras sepanjang usia daripada mengelola uang yang sudah didapat selama jangka waktu tertentu dengan sedikit kerja saja atau tanpa mereka kerja.

Saya: Benar. Memang seharusnya begitu.

Mr. Ameng: Suatu saat nanti saya bersama keluarga akan mengunjungi Indonesia, kami belum pernah ke sana [Mereka sudah pernah keliling dunia]. Bisakah kami menemui kamu di sana?

Saya: Tentu boleh dengan sanang hati, bagaimana kalo di Bali. di Jakarta sedang banjir.

Mr. Ameng: Apakah di Bali ada restoran dan hotel seperti ini [menunjuk restoran mewah tempat kami makan siang, siang itu].

Saya: Oh tentu! Ada SPA-nya juga...lho!

Mr. Ameng: Wah!

[Saya tidak cerita padanya jika saya menulis buku yang akan segera diterbitkan sebentar lagi....]

*) Eni Kusuma ialah penulis buku Anda Luar Biasa!!! [Buku motivasi pertama yang ditulis oleh pemulung sampah & pekerja rumah tangga].

Sastrawan Jawa Tiwiek SA Bicara Soal TKI


Belum Banyak TKI Memikirkan Lapangan Kerja

Lelaki kelahiran 8 Juni 1948 ini lebih dikenal luas sebagai guru dan sastrawan. Namun, pemilik nama asli Suwigyo Adi ini ternyata juga punya perhatian lebih kepada TKI yang kerja di luar negeri. Penilaian suami Ruliyah ini patut mendapat perhatian TKI.

Kamis sore [01/03] Peduli berkunjung di kediaman Tiwiek SA di Desa Karangtalun, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tuluagung, Jawa Timur. Ngobrol agak panjang tentang sastra, pembicaraan kemudian meluncur ke persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Bermula dari kekagumannya terhadap tulisan sastra karya TKI.

Mantan kepala sekolah yang kini telah dikaruniai dua orang cucu ini mengaku, novel Catatan Harian Seorang Pramuwisma karya Rini Widyawati [mantan TKI Malaysia dan Hong Kong] sampai dia keloni saat tidur. Ia tak menyangka Rini Widyawati yang ’cuma’ lulusan SLTP bisa menulis novel sehebat itu.

’’Saya tidak akan pernah tahu kalau di luar negeri banyak TKI mendapat perlakuan yang tidak manusiawi kalau saya tidak membaca novel Rini,’’ ungkap penerima penghargaan dari Yayasan Rancage dan Yayasan Umm Aminah Foundation tahun 2006 itu.

Salah seorang kemenakannya, sebetulnya ada yang pernah jadi TKI, yakni di Abu Dhabi. ’’Tapi kalau pulang, dia tidak pernah cerita tentang perlakuan yang diterima TKI selama bekerja di sana,’’ ungkap Tiwiek dalam bahasa Jawa.

Menyayangkan

Menurut Tiwiek SA, banyak sekali orang Tulungagung yang menjadi TKI di luar negeri. Bahkan, menurut dia, di Jawa Timur, Tulungagunglah yang paling berhasil. Di sekitar rumah tinggalnya juga tak sedikit yang berangkat ke luar negeri sebagai TKI.

Bagaimana penilaiannya terhadap TKI? ’’Di sini [Tulungagung—Red], anak sini kalau ke luar negri itu sasarannya, pertama, rumah. Pasti rumah. Rumah mereka bagus-bagus. Kedua, setelah rumah adalah kendaraan. Terus, nanti pulang, ya sudah, ya cuma motor-motoran nggrang-nggreng, mobil-mobilan nggrang-nggreng. Nah, nanti uangnya habis, balik ke luar negeri lagi. Kalau tidak begitu, barang-barang yang telah dibelina dijual lagi. Itu karena kebutuhan hidup bergerak terus dan memerlukan biaya, sementara dirinya tidak lagi bekerja.’’

Disayangkan Tiwiek SA, jarang dari mereka yang berpikir untuk membuka lapangan kerja. ’’Ya, ada yang berpikir membuka lapangan kerja, tapi cuma sedikit. Yang banyak, ya yang seperti itu tadi,’’ ungkapnya.

Menurut dia, kalau TKI memikirkan lapangan kerja, tentu dirinya tidak perlu lagi berpikir untuk kembali lagi ke luar negeri setelah pulang ke kampung halaman. TKI sudah bisa mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang telah diciptakannya sendiri. Malah kalau sampai bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain, tentu itu lebih baik lagi.

Berjasa

Namun demikian, Tiwiek SA mengakui bahwa para TKI memiliki jasa besar terhadap kemajuan daerahnya, bahkan negaranya. Buktinya, kata dia, beberapa desa di Tulungagung rumahnya bagus-bagus dan jalannya aspal mulus-mulus.

’’Desa bisa menjadi seperti itu sebagian juga karena jasanya TKI,’’ kata pengarang yang hingga akhir 2006 lalu telah menghasilkan lebih dari 200 karya sastra, baik berbahasa Jawa maupun berbahasa Indonesia.

Oleh karena jasa-jasanya itu, Tiwiek SA berpendapat, tak sepantasnya para TKI mendapat perlakuan yang buruk seperti yang dikisahkan di dalam bebeberapa karya sastra karangan TKI dan mantan TKI. [KUS]

E N O K

Retnayu Ayu


’’You are the love of my life,
i knew it right from the start,
the moment i looked at you,
you found a place in my heart...’’




MP-3-ku terus mendayu-ndayu, meluruh-larutkan hatiku dalam sendu yang suntuk. Aku mendesah, lalu kutarik nafas beratku dalam-dalam, iringi resahku, mengenang kembali kisah beberapa tahun lalu.

’’Kak...’’ sapa manjanya menggelitik telingaku.

’’Hai...’’ balasku. Aku masih jalan pelan keluar dari toko itu. Ah, ia begitumemesonaku.

Enok. Nama sapaan yang sangat kusuka itu nyaris melupakan aku dari rangkaian huruf yang cukup panjang yang membentuk nama lengkapnya.

Aku telah melewati 36 musim di negeri ini, yang semula terasa aneh, dan makin lama makin aneh, yang anehnya: seiring dengan meningkatnya keanehannya meningkat pula ’oke’-nya.

Setiap hari aku mesti mondar-mandir menjalankan pekerjaanku. Berangkat pagi hari lalu pulang kembali ke apartementku menggiring senja. Ah, hidupku selalu saja begitu. Selalu di dalam irama yang tidak menentu. Kadang aku merasa sebegitu jemu. Terlebih, manakala rasa sepi menggerus lubuk hati.

’’Enoooook.......!’’ pekikku, ketika mendapati Enok di suatu sore yang indah setelah sekian lama ia menghilang sejak pertemuan kilat yang sangat indah itu. ’’Wah, Nok! Dari mana saja kamu, kok baru muncul?’’

’’Iya, Kak, aku baru saja ambil holiday!!’’ senyum manis membumbui kalimatnya.

’’Holiday ke mana Nok?’’

’’Ya, biasa Kak, ke Kota Buaya.’’

’’Apa kamu berasal dari Kota Buaya Nok?’’

’’Iya. Kalau Kakak dari mana?’’

’’Kota Apel.’’

’’Oooo....’’

’’Iya, Nok! Dingin...dingin empuk!’’

’’Ah, Kakak!’’

’’Ah!’’

’’AAAhhhh....!!’’

’’Oh...’’

’’Ehm....’’

’’Hahahahaha.......!!!’’

Bumi pun serasa bergetar saat tawa kami meledak bersama. Untung saja kepalaku tak meledak pula karena angan-angan yang menggelembung nyaris tak terkendali: mengangankan kedekatan yang sedemikian dekat dengan Enok! Tapi, apakah ini bukan pungguk merindukan bulan?
’’Kak...?’’
’’Oh, ya?’’
’’Kakak kapan pulang?’’
’’Gak tahu ya Nok. Kenapa emang?’’

’’Nggak kena apa-apa, hehe.....!’’ cengengesnya sambil membalikkan badannya. Seseorang telah menariknya keluar dari toko itu. Seseorang yang ingin kumaki.

Baru dua kali pertemuan kami. Waktunya pun singkat-singkat. Enok boleh pergi, ditarik orang lain atau atas kemauannya sendiri. Tetapi, ia kini serasa telah memenuhi seluruh diriku, seluruh jiwaku. Aku selalu mengangankannya ketika jaga, dan selalu memimpikannya jika tidur. Tidak ada lagi ruang di diriku ini bagi yang lain selain Enok. Tetapi, apa ya yang dirasakan Enok sendiri? Terlalu jauh jarak mesti ditempuh. Terlalu dalam jurang...! Bagaimana aku mesti mengabarkan keadaanku ini kepada Enok? Dengan meneriakkannya, atau membisikkannya? Atau menyerahkan semuanya kepada angin yang mendesau? O....!
Aku tak siap ditolak. Rasanya jauh lebih indah menikmati ini semua di dalam mimpi, daripada harus menghadapi kenyataan jika penolakan itu terjadi.

Kubiarkan kegersangan jiwa ini senantiasa melanda, karena aku sadar bahwa aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kadang kularikan hati, sesekali kuhibur diri, dan ada pula saatnya mencoba menepis habis semua hasrat yang semakin kuat menjerat. Ah, mengapa bisa jadi begini! Mengapa?

Bila saja aku dapat gadaikan jiwa? Tapi, kepada siapa....? Pertanyaan-pertanyaan hampa terus mengulur, sampai tibilah di hari Minggu yang cerah itu. Kupercepat langkah kakiku, dengan tergesa kusongsong sosok bayang: Enok! Oh, ia sedang menungguku!

’’Kak....!’’

’’Met pagi manisku.....!’’ begitulah godaku, selalu. Dengan santai kami berdua akhirnya melangkahkan kaki memasuki ruang besar perpustakaan pusat, kebanggaan kota ini. Rasanya aku telah sampai di ujung mimpi, dan mendapati kenyataan yang ternyata begitu indah: kami duduk berdampingan di depan komputer. Dan mengalirlah huruf-huruf membentuk sebuah puisi buat Enok:

dirimu yang selalu penuhi lamunanku
membuatku suntuk dibekuk rindu
mengristal segenap kekagumanku
apakah cinta apakah kasih apakah sayang sedia
tak henti mengalir dan bermuara di kedalaman
samodra: hatiku-hatimu

Lalu kutekan ’send’ dan dalam hitungan detik sampailah puisi itu di layar komputer Enok. Seperti yang aku duga, sebuah cubitan diiring kata, ’’Dasar!’’ mendarat di lenganku. []

Peduli Maret 2007

MONGKOK I’M IN LOVE

Tanti


Udara dingin mulai menyapa Hong Kong, pun malam itu. Meski baru menyapa namun dingin sudah mulai merasup yang membuat pori-poriku berdiri. Entah kenapa perasaanku malam ini menjadi begitu gelisah. Sebentar-sebentar kupandangi laki-laki di sampingku. Laki-laki yang memiliki senyum menggemaskan dan perhatianya kepadaku selama ini. Dan entah kenapa pula justru ketika perpisahan itu semakin dekat rasa aneh ini muncul, takut di tinggal olehnya, takut kehilangan dia, takut kesepian temaniku kembali. Ah, entahlah.

’’Hayo, kenapa dari tadi mandangin terus? Suaramu benar-benar mengejutkanku, andai kau tahu pikiranku sudah tak bisa lepas darimu, matilah aku. Aku hanya melempar senyumku, tanpa jawaban, dan yang pasti merah jambu hadir dipipiku. Aku mempercepat langkahku di Ladies market, Mongkok itu, mengantarmu membeli beberapa souvenir untuk teman-temanmu di Indonesia. Tiba-tiba kurasakan seseorang memegang pergelangan tanganku. Aku menoleh sesaat dan kulihat senyummu mengembang. Ah, andai kau tahu, hatiku begitu berdebar, wajahku pasti kembali berwarna merah jambu, atau malah lebih merah? Yang aku tahu, aku pun tak berusaha melepaskan genggaman itu, aku menikmatinya. Dengan senyuman yang selalu menghiasi bibir ini, kami terus berjalan menyusuri Ladies Market.

’’Mas, apa sih sebenernya yang ingin Mas cari di sini? Kataku mencoba mengalihkan perasaan yang sudah mulai tak karuan ini. Dia memandangku sekilas sambil tersenyum.

’’Gak tahu nih, mo nyari apa,’’ bisikkmu di telingaku.

’’Ah, Mas Indra ah, masak gak tahu, trus ngapain kita ke Mongkok?’’ aku pura-pura cemberut. Dia malah memepererat genggaman tanganya, menarikku pada sebuah tempat penjualan aksesoris, kalung. Terlihat dia memilih beberapa kalung bertali hitam berliontin yang terbuat dari kayu yang di bentuk mungil-mungil tapi indah.

’’Mana yang bagus ya? Sejenak kamu memilih-milih beberapa liontin di depanku. Aku pun ikutan jongkok memperhatikannya, menurutku semunya bagus, sampai-sampai aku sendiri tak bisa memilih.’’

’’Lha, mana yang tadi pertama kali menarik perhatian Mas Indra?’’ aku menggodanya sambil membalikkan semua pertanyaanya.

’’Dasar!’’ senyumnya yang menggemaskan langsung menyungging. Senyum yang selama ini aku suka, senyum yang benar-benar menarik perhatianku.

’’Menurutku semuanya bagus, tetapi menurutku pilihlah yang pertama menarik perhatiaamu, Mas!’’

’’Bagaimana kalau yang ini, bagus gak?’’ Sambil menunjuk sebuah kalung brliontin kapak kecil, melihat laki-laki yang berbadan gagah sepertimu memang pantas kalau memilih liontin itu. Berwarna kuning tua dan memang terlihat gentle.

’’Bagus Mas, iya pilih aja itu,’’ kataku sambil berusaha mengambil satu buah liontin itu dan meletakkan di telapak tanganya.

’’Bagus deh, kayaknya cocok kalau yang makai Mas Indra,’’ godaku. Dan kamu pun malah membawaku ke dalam pelukan mesramu.

’’Iya deh, aku beli yang ini,’’ akhirnya tanpa di tawar terlebih dahulu, kau pun membayar liontin itu.

’’Tar ya, beli anting-anting dulu,’’ katamu sambil senyum-senyum nakal.

’’Lha ternyata mau pulang kelihatan aslinya, pakai anting, kalung trus apalagi hayoo? Aku senyum-senyum saja menggodanya. Entah kenapa aku suka sekali melihat senyum itu. Kamu hanya membalasku dengan senyuman yang aku suka, sambil memilih beberapa anting-anting kecil polos di depanku.

’’Pilihin dunk mana yang bagus buat cowok,’’ aku pun ikutan memperhatikan beberapa anting kecil di depanku, dan akhirnya aku memilih anting mungil yang memang kupikir terlihat cocok untuknya. Terlihat dia tersenyum puas memandang oleh-oleh mungilnya.

’’Kamu mau di beliin apa, Cinta?’’ Pandanganmu beralih kepadaku.

’’Terima kasih, gak usah deh Mas!’’ aku hanya membalasnya dengan tersenyum.

’’Halah mesti, kebiasaan kamu ini, sini deh” kamu menarikku ke tempat souvenir di sebelah.

’’Nah, ini cocok buat kamu, harus memilih, kalau tidak aku marah,’’ akhirnya mau tidak mau aku mengikuti kemauan dia, karena jujur aku pun tak ingin mengecewakanya.

’’Ya udah, ini aja Mas!’’ sambil kutunjuk jepit rambut merah jambu yang mungil itu. Terlihat dia memperhatikan sejenak kembali tersungging senyum itu.

’’Bagus, indah, ya udah ini aja gak mau yang lain,’’ tatap mesramu membuat jantungku seakan berhenti berdetak.

’’Udah Mas, Cinta mau yang ini saja, satu kenangan cukup yang penting spesial,’’ senyumku centil.

’’Iya, iya...’’ lembut dia acak rambutku.

Hanya itu yang kami beli, namun sepanjang perjalanan di Ladies Market membuat hati kami seolah semakin berbunga. Genggaman tangan itu semakin erat, senyum dia pun tak pernah lepas dari bibirnya.

’’Mas Indra, kenapa senyum-senyum?’’ Aku pura-pura bertanya ketika sepatah kata pun tak lagi terucap meski kami hampir sampai di pintu keluar Ladies market, Mongkok itu.

’’Aku hanya membayangkan apa yang bakalan Hendra katakan ketika melihat kita bergandengan tangan,’’ dan ternyata aku pun langsung ikut membayangkan apa yang sedang dia bayangkan.

Hendra, cowok gondrong ketua rombongan itu. Tapi akhirnya aku berpikir, Hendra bukanlah anak kecil, meski dia mengetahui dia laki-laki yang fair, dan setia kawan, itu yang aku ketahui tentangnya setelah kurang lebih 2 minggu hidup di lingkup dia dan kawan-kawanya. Pun mungkin dengan Mas Edy, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Pembawaan mereka bertiga asyik semua. Maka itu aku betah menemaninya selama 2 minggu ini di Hong Kong karena tugas.

’’Iya, ya mas, aku pun bisa membayangkan dia takkan berhenti menggoda kita, tetapi memang kita kenapa Mas? Kembali aku pura-pura sambil menatapnya mesra.

’’Tau, ah!’’ perlahan sambil cemberut dia lepaskan genggaman tanganya. Dan tiba-tiba aku berhenti di pinggir jalan itu, cemberut pula. Merasa aku tak lagi mengikutinya dari belakang, akhirnya dia berhenti, memandangku sekilas, tersenyum, mengulurkan tanganya sebelah. Dan bisa di tebak senyumku pasti merekah.

’’Gitu aja ngambek...!’’ bersamaan kami berucap. Tawa kami kemudian meledak. Dan begitu kami keluar dari Ladies Market, genggaman ini tak pernah terlepas bahkan lebih erat, mungkin seerat hati kami yang akan mulai berbunga. Yah, siapa tahu rencana Tuhan, kita hanya bisa menjalaninya. Membiarkan semua seperti air yang mengalir.[]


Hong Kong, Januari 2007
Selamat Tahun Baru 2007
Special untuk teman-teman dari Surabaya yang kemarin datang ke Hong Kong, sukses selalu ya…..!


cerpen peduli april 2007

Mery

[1]

Kadang aku merasa tak sanggup lagi menikmati indahnya sinar mentari pagi. Maka, jika aku tersenyum, sering itu hanya di bibir saja, bukan senyum yang meletik dari dalam perasaanku yang sesungguhnya. Senyum yang hanya kubuat untukmenunjukkan bahwa aku masih bisa hidup yang sebegini getir. Getir dan pahit. Dan perih!

Rasanya aku juga inginmenutup telinga dari suara-suara ejekan dan cemoohan orang-orang sekitar.

Apakah aku memang sebodoh itu? Apakah salah orang menyinta? Aku menyintai Burhan. Dan sekarang ia telah jadi suamiku. Tetapi ia bukan milikku, melainkan milik kami. Ya, kami berempat memilikinya bersama-sama. Aku istrinya yang keempat itu, yang, telah mendapatkan seorang putri kecil dari perkawinan kami.

[2]

Oh, Mery! Ada apakah dengan matamu? Dengan otakmu? Dengan rasamu? Mengapa kau sebegitu menggebu menikah dengan laki-laki yang lebih pantas jadi kakekmu? Kau masih tujuh belas, sedangkan ia sudah di atas lima puluh. Karena ia memanjakanmu? Tidakkan ada laki-laki yang jauh lebih muda yang bersedia memanjakanmu? Kumbang mana yang tahan tak hinggap di kelopak yang mekar menguarkan keharuman khas putik yang meminta dibuahi?

Karena aku miskin. Dan nyaris tak pernah disayangi. Ibu mati ketika aku masih balita. Adikku masih balita juga saat itu. Ayah lalu menikah lagi, dan tak suka membawa kami. Dua bocah kecil yang masih bau bayi mesti ikut neneknya yang miskin pula. Kakek sudah lama tiada. Rumah kecil itu pun sudah sedemikian rapuh luar dan dalamnya.

[3]

Malam tiba-tiba terkoyak. Angin berkesiut dan makin mengencang. Makin mendesis. Barangkali dari hamparan langit menjulur berjuta lidah raksasa, mendesis bersama, dan siap menyemburkan bisa. Petir pun menyahut. Lalu bersahut-sahut. Dan hujan pun turun. Pada saat seperti itulah rumah rapuh itu kedatangan tamu yang kelak kita kenal bernama Burhan. Yang kelak menjadi suami Mery. Air hujan yang sukses menerobos genting jatuh ke cangkir kopi yang disuguhkan kepada Burhan. Tetapi laki-laki bersarung itu sebegitu menikmatinya, seperti peminum menikmati anggur yang diperam ratusan tahun. Burhan memang datang sebagai kumbang yang tersedot keharuman kelopak yang menyimpan putik menunggu dibuahi.

Lalu mereka menikah. Lalu mereka kawin. Putik pun dibuahi. Dan jadilah buah. Buah hati. Buah cinta, atau buah apalah disebutnya. Tetapi, saat benih itu tumbuh dan menggelembungkan perut Mery, Burhan makin menjauh. Atau mungkin, makin mendekati keempat putik-nya yang lain. Atau, mungkin juga, memburu putik yang lain lagi, jika ia masih sebegitu
bersemangatnya ketika usianya makin dekat dengan angka 60.

Burhan tampaknya hanya mau menikmati ekspresi Mery saat menjeritkan suka-cita, dan tak mau mendengarkan jerit kasakitan saat kelopaknya pecah demi kelahiran manusia baru. Burhan tidak mau hadir pada detik-detik yang sangat ditunggu-tunggu. Juga pada hari-hari, pekan, bulan, dan bahkan tahun-tahun berikutnya. Mery pun makin menderita, jauh lebih menderita daripada saat ia hanya perlu menahan keinginan beli baju baru, tas baru, sepatu baru karena kemiskinan memaksanya untuk membeli rombengan.

[4]

Apakah angin baik, apakah angin jahat, yang melemparkan laki-laki tua itu ke rumah rapuh di bawah naungan rimbun bambu itu? Burhan masih mengenali rumah itu dengan segenap suasananya. Hanya aromanya yang kini berbeda. Tiada lagi keharuman itu. Yang ada hanya pesing dan dan busuk dedaun yang disengatkan udara yang terpompa. Ada seorang bocah kecil, dan ibunya, yang menyambut kedatangan Burhan. Amarah itu menguap tiba-tiba. Gerimis pun turun bagaikan air mata para perempuan yang berharap.

Burhan menangis. Seperti mengiba. Dan Mery, dan bocah kecil itu, tak mau lari ke mana. Mereka mematung, seperti sedang menatap langit yang menggelap tiba-tiba. Dan gulungan tsunami itu, mungkin juga akan segera menerjang mereka.

Malam itu pun tiba-tiba jadi beku. Entah kapan mencairnya. Ketika laki-laki tua itu mendengkur di samping gadis kecil yang terlelap, Mery meraih pena dan selembar kertas yang sudah memudar warna putihnya. Lalu ditulisnya, ’’Kadang aku merasa tak sanggup lagi menikmati indahnya sinar mentari pagi. Maka, jika aku tersenyum, sering itu hanya di bibir saja, bukan senyum yang meletik dari dalam perasaanku yang sesungguhnya…’’

Ngopak, Mei 2007
PEDULI Juni 2007

Kemerdekaan

Yang lebih tinggi nilainya daripada hidup ini adalah kemerdekaan. Yang lebih tinggi nilainya daripada kemerdekaan adalah cinta.

Marilah kini kita lihat, bagaimana wajah kita yang sebenarnya, apakah menyiratkan kepahaman kita mengenai kemerdekaan, dan lebih dari itu: apakah kita masih punya cinta?

Mari becermin di jalan raya, jalan raya kita, jalan raya di kota-kota Indonesia (yang kini sedang mempersiapkan atau tengah larut dalam ingar-bingar pesta ulang tahun). Para pejalan kaki sudah dirampas hak-haknya oleh negara dan bahkan oleh kawan sendiri pula. Apalagi pemakai kursi roda, tampak sering dianggap tidak ada. Para pengendara menjejalkan pemandangan ke mata kita bahwa mereka hanya patuh pada hukum rimba: yang (kendaraan) besar melahap yang kecil. Yang kecil sesuka hati menggasak yang lebih kecil lagi. Dan pembunuhan yang sering diatasnamakan ketidaksengajaan menjadi pemandangan sehari-hari di jalan-jalan raya. Tidak ada kemerdekaan di jalan-jalan raya kita, apalagi cinta.

Beberapa waktu lalu beberapa orang secara interaktif melapor melalui Radio Suara Surabaya bahwa gara-gara kehabisan formulir –bahkan ternyata masih ditenderkan-- pengurusan KTP (Kartu Tanda Penduduk) di wilayah Sidoarjo menjadi terkatung-katung. Padahal, para pelapor itu adalah orang-orang bisnis yang sering terlibat urusan yang memerlukan KTP.

Kadang-kadang, yang lebih menjengkelkan, sudah urusan tidak beres, pegawai yang menanganinya tak sedikit pun menunjukkan sikap sebagai pelayan rakyat.

’’Kenapa sih, ngurus KTP saja sebulan gak selesai?’’

’’Sekarang formulirnya lagi habis, dan masih ditenderkan. Kalau memang sudah ada formulirnya, apa pula kepentingan kita mengulur-ulur pembuatan KTP?’’

Begitulah susahnya jadi rakyat di Zaman Merdeka yang sudah dapat pula gelar Dr (Direformasi) ini. Tak punya KTP bisa ditilang, salah-salah dijebloskan ke dalam sel tahanan. Mau ngurus, enak aja pejabat bilang: formulirnya masih ditenderkan. Nah, jika terlambat membayar tagihan listrik rakyat mesti didenda, apakah pejabat yang teledor sampai hitungan bulan terjadi kekosongan formulir KTP tidak bisa diperkarakan?

Maka, apakah artinya kemerdekaan bagi rakyat jika para pemimpin dan segenap aparaturnya masih bermental pangreh praja, bermental penguasa, dan mengaku melayani rakyat hanya di bibir saja?

Itulah sebabnya, saya selalu sedih ketika berada di kota ini dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan (Agustusan). Banyak gang, dan bahkan jalan ditutup untuk menggelar pesta bernuansa gembira-ria: berpawai, bernyanyi, berjoget, dan bakar-bakar kembang api.

Saya tidak antiperingatan Hari Kemerdekaan. Tetapi, saya kira untuk saat ini diperlukan suasana yang lain. Suasana yang lebih khidmat, bukannya hiruk-pikuk, tentu dengan upacara, dengan mengibarkan Bendera Merah-Putih, Lagu Indonesia Raya, dan jangan lupa: pembacaan Pancasila. Itu tidak mahal, kok. Tidak perlu menarik iuran Rp 25.000 – Rp 100.00/keluarga.

Cobalah itung, berapa biaya Pesta Agustusan di tingkat RT, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kotamadya, Provinsi. Kita akan mendapatkan angka yang sangat besar. Hanya untuk berpesta, menikmati hiruk-pikuk, dan melupakan esensinya. Itulah yang sungguh-sunguh menyedihkan. Bangsa macam apakah kita ini, yang tega bersuka-ria, sementara setiap hari, bahkan setiap detik, media menyorongkan ke depan mata kita pemandangan yang mengenaskan: balita yang kehilangan keluarganya, orang-orang yang kehilangan sanak-saudara, harta-benda, termasuk rumah dan isinya karena banjir, gunung meletus, gempa, semburan lumpur, kecelakaan angkutan darat, sungai, laut, udara. Mereka adalah saudara-saudara kita, saudara sebangsa dan setanah air.

Mestinya kita tidak akan setega itu. Sebab cinta itu nilainya sebegitu tingginya, bahkan lebih tinggi daripada kemerdekaan itu sendiri.[]

Peduli Agustus 2007

Buah Cinta Itu

Retnayu

’’Jeng, kutitipkan, rawat dan peliharalah buah cinta kita. Besarkan, bimbing, dan bentuklah agar dia bisa menjadi sepertimu.’’

Tetesan air mata yang mengalir di pipiku mengiringi kepergian suamiku. Ia sangat menyayangiku.

Saat itu, putri tunggal kami masih berusia 10 tahun, ketika harus kehilangan kasih sayang dari seorang ayah yang begitu didambakannya. Suamiku meninggalkan kami berdua karena penyakit liver yang telah lama dideritanya. Dan anakku masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Sedangkan aku sendiri hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang tidak pernah tahu bagaimana cara mencari dan mendapatkan uang. Aku terbiasa hanya menunggu gaji suami.

Oh, betapa bingungnya aku pada saat itu karena ditinggal mati suamiku. Ibarat si buta yang kehilangan tongkatnya. Bagaimana selanjutnya nasib kami berdua? Kebutuhan hidup meninggi setinggi gedung-gedung yang dibangun para konglomerat saat ini. Biaya sekolah putriku....? Padahal, bisa menyekolahkan putri kami hingga ke jenjang yang setinggi-tingginya adalah cita-cita kami.

Putriku harus bisa tetap sekolah sesuai harapan kami dulu, karena aku tidak ingin dia menjadi seorang wanita lemah yang tidak bisa apa-apa seperti aku.

Akhirnya, dengan hati yang sangat berat aku titipkan buah cinta kami, putriku, putri kami, Rayi Anggraini-ku, kepada kedua orang tuaku untuk diasuh dan dididik karena aku harus berangkat ke Jakarta untuk masuk ke sebuah PT yang kemudian memberangkatkanku ke Hong Kong.

Itulah awal kisahku, mengapa aku sampai menapakkan kakiku di Hong Kong yang sangat menjanjikan ini sebagai seorang buruh migran Indonesia. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun pun berganti tahun, kugeluti pekerjaanku sebagai buruh di negri asing ini, dari satu kontrak sampai ke kontrak berikutnya dengan beraneka macam watak dari setiap majikan yang mempekerjakanku.

Kuteteskan peluhku tuk meraup rezki halalku, kegenggam dolar, kulambungkan setinggi angan tuk jelang hari depan, isi nafas asa seorang wanita biasa yang bercita-cita tempatkan martabat buah hatinya tuk sampai di jenjang keberhasilan yang sesuai dengan tuntutan zman.

’’Bu..!’’ sebuah sapa lembut di gendang telingaku dan aku menolehkan mukaku. Kulihat putriku berdiri tepat di belakangku.

’’Ngger…’’ kulemparkan suatu sebutan kesayangan pada putriku.

’’Ibu nanti duduk di kursi yang nomor tiga itu ya Bu....?’’ begitu pinta putriku.

’’Oooh, itu, iya....ya...!’’ begitu jawabku.

Ya, hari ini aku memang sedang melangkahkan kakiku dengan ringan, menuju auditorium Bulaksumur untuk menghadiri wisuda putri tunggalku. Kebahagiaanku....tiada terkira, karena bisa terpuasi oleh keberhasilan putriku meraih gelar dari bidang yang dipilihnya di Fakultas Psikologi ini. Haru, sangatlah haru rasa hatiku, memupus semua letih dan menghapus jejal langkah tertatih yang kusandang hampir sepanjang umurku dengan menggadaikan hati dan tenaga di negri yang jauh berbentang samudra.

Air mataku menetes membasahi pipi tatkala menyaksikan acara demi acara yang berlangsung. Dan sampai ketika terdengar alunan lagu, ’’Terpurukku di sini, teraniaya sepi, dan kutahu pasti, kau menemani, dalam hidupku, kesendirianku, teringat kuteringat, pada janjimu kuterikat, hanya sekejap ku berdiri, kulakukan sepenuh hati, peduli, ku peduli, siang dan malam yang berganti, sedihku ini tak ada arti, jika kaulah sandaran hati, kaulah sandaran hatiiiiiiiii...........’’

Kusimak dengan seksama alunan lagu yang dilantunkan Letto itu, membuat anganku melayang jauh, membisikkan sebuah nama. Perlahan kusentuhkan tanganmu dan kutarik untuk mendekap dadaku.

’’Mas, telah kutunaikan harapanmu, janjiku, janjuimu, adalah hantarkan ’Rayi’ kita ke dunia yang lebih baik dari masa-masa kita dulu! Terima kasih Tuhan, yang telah menempatkan buah hati kami pada harkat dan martabat yang sesuai dengan harapan seorang janda, yang hanya memiliki rasa cinta dan setia.’’ []

cerpen peduli Sept 2007

Kau Suamiku

Amine Nareswari


Kalimat penutupmu romantis benar.

’’Aku kadang membayangkan ada seorang yang kucintai membangunkan dengan mengecup keningku.’’

Ow, romantis betul. Sama dengan yang kuangankan beberapa waktu. Mendapati kau yang masih pulas ketika akan berangkat. Dan kutinggalkan kecupan di keningmu, di pipimu, sedikit di bibirmu sebelum kepergianku. Indah ya?

Sorenya kau menungguku dengan secangkir kopi, musik mengalun pelan dan entah buku atau koran atau apa pun di genggammu, lalu kaucium aku. Menikmati sore berdua. Menunggu matahari tergelincir dan kita beranjak.

Pagi berikutnya kita habiskan hari bersama. Menikmati udara gunung yang pekat uap airnya. Mendekap satu dengan yang lain dalam dingin pagi yang menggigit. Kucium telingamu yang dingin. Kukulum bibirmu yang kering karena dingin. Hhh...

Dan malam-malam kita akan berada di satu tempat ke tempat lain. Menikmati konser musik klasik, nonton pameran lukisan, pentas teater, diskusi film.

Cantik benar. Memang mimpi selalu indah, cantik. Tetapi begitu tersadar, mimpi ternyata cuma sebagai mimpi. Aku tetap tinggal di sini, dengan keseharianku. Tanpa kau yang masih di negrimu sana dan mungkin memang menunggu hari untuk bisa berdua. Dengan aku. Ehm.

Aku mencintaimu, suamiku. Hari yang akan mengantarku menggapaimu merambat begitu pelan. Bahkan mungkin tak pernah beranjak juga dari tempatnya yang dulu. Sementara kita mati-matian mendayungnya, mengubah arah layar karena tahu angin berubah arah. Tetapi, tak ada yang kita lakukan dengan karang yang mengunci rapat kapal kita.

Tak ada. Tak ada yang akan berubah. Sebelum kapal yang akan kita labuhkan terbebas dari karang yang mengandaskan mimpi ini. Tetapi, tak ada satu dari kita yang mau melepaskan diri. Kita hanya berharap ada angin kencang bertiup, lalu kapal terbawa dan terlepas dengan sendirinya. Sekalipun kita sama tahu itu hampir mustahil terjadi kita masih saja menunggui. Sambil mengubah-ubah layar, mendayung di daratan, dan menghitung waktu yang berjalan.

Sampai kapan? Mungkin sampai kita bosan. Sampai kita kelelahan. Sampai ada hal lain yang lebih menarik dilakukan, lebih menantang. Sampai... yang tak akan pernah sampai.
’’Karena profil dia obsesimu...!’’

Selalu muncul kalimat itu jika aku lamunkan kau. Lamunkan kenapa bisa jadi separah dan sedalam ini yang kurasai. Kalimat d’Eta, perempuan temanku yang sosoknya sering mengilhamiku itu, barangkali memang menjadi jawab dari banyak pertanyaanku. Tetapi tak cukup. Tidak dengan sendirinya aku berhenti berpikir, bertanya, tentang apakah yang tengah terjadi. Apa yang kita lakukan ini.

Suami. Isteri. Kita nikahkan diri. Kita berakad dengan cara kita sendiri. Dan kita merasai sebagai suami-isteri. Kau suamiku, aku isterimu. Tetap. Dalam khayal kita. Dalam angan kita. Dalam mimpi kita. Sementara kita tetap begini. Tak ada kau di sampingku, tak ada aku di sampingmu. Pernikahan yang hanya untuk memuaskan mimpi kita. Pernikahan yang hanya menghibur mimpi agar terus tersenyum dan mendatangi kita. Menebar bunga-bunga, menguarkan aroma yang membuat kita mabuk di dalamnya. Lalu, tak sadarkan diri.

Ketika siuman, kita dapati masing-masing tetap begini. Memendam mimpi. Sampai akhirnya........ mati. []

cerpen peduli okt 2007

Beragam Produk dari Tawon

Tawon, ternyata tidak hanya meghasilkan madu. Sengatnya pun bermanfaat untuk terapi berbagai keluhan, terutama keluhan/penyakit yang tidak mempan diobati secara medis. TS Gunawan yang merintis Peternakan Lebah Rimba Raya menjelaskan secara gamblang satu per satu produk yang didapat daripeternakannya.

MADU. Siapa tak kenal madu? Madu sangat baik bagi kesehatan. Anda kenal pula istilah STMJ kan? Ialah singkatan dari jenis minuman ’kesehatan’: Susu, Telor, Madu, Jahe. Madu bisa dan biasa disukai orang tua, anak-anak, laki, perempuan. Ada kalanya orang tak suka minum ini, minum itu, makan ini, makan itu, tetapi siapa tak doyan madu? Kalau ada yang tidak disukai [perempuan] itu adalah dimadu. O, itu madu yang dihasilkan oleh poligami, bukan madu lebah.

ROYAL JELLY. Tentang royal jelly, TS Gunawan bertutur, ’’Royal jelly adalah cairan/susu yang disuapkan tawon pekerja kepada Sang Ratu [istilah untuk indukan lebah].

Tawon Ratu itu hanya ada seekor di dalam setiap koloni. Ialah yang menghasilkan larva yang kemudian tumbuh menjadi lebah pekerja [pencari madu]. Termasuk menghasilkan penggantinya, menjelang saatnya ia mati. Keistimewaan tawon ratu, ia bisa berumur sampai 4 – 6 tahun. Padahal, menurut TS Gunawan, usia maksimal tawon pekerja berkisar 40 hari. Ternyata sangat pendek ya, usia seekor tawon itu? Hebatnya, di dalam usianya yang pendek itu mereka tak pernah berhenti melakukan kebaikan, mengumpulkan madu untuk dirinya, keluarga besarnya, dan bahkan untuk bangsa manusia.

Bagaimana tawon ratu dipersiapkan? Apakah untuk menjadi ratu tawon harus melalui pemilihan umum? Tentu saja tidak. Untuk mempersiapkan bakal ratunya, para tawon pekerja menyuapi larva dengan royal jelly. Larva yang terus-menerus disuapi dengan royal jelly akan tumbuh menjadi individu yang berbeda dengan yang lain. Secara fisik ia juga lebih besar. Setelah dewasa [setelah jadi ratu] tugasnya hanya satu: bertelur. Lha, telur-telur itulah yang kemudian berkembang menjadi larva, dan kemudian menjadi tawon dewasa jika tak keburu di-bothok!

Lha, ini dia! Peduli lupa bertanya, di manakah raja tawon? Kok yang dikenal hanya ratunya saja? Eh, jangan-jangan semua tawon pekerja sekaligus adalah juga suami Sang Ratu. Jika benar begitu, berarti tawon itu mempraktikkan poliandri. Waladalah!

PROPOLIS. ’’Jika madu adalah ibarat nasi bagi tawon, maka propolis adalah jamunya,’’ demikian penjelasan Ts Gunawan. Karena itu propolis, masih menurut TS Gunawan, sangat efektif untuk mengobati penyakit-penyakit seperti: maag yang menahun, tukak lambung, tukak usus duabelas jari, dan lain-lain. Selain itu, baik juga untuk menyegah alergi. Maka produk propolis yang dihasilkan di Peternakan Lebah Rimba Raya ini juga dipisahkan antara Propolis Infeksi dan Propolis Alergi.

BEE POLLEN. Adalah serbuk sari bunga jantan yang dikumpulkan oleh lebah, dibawa dengan kantong yang ada pada kaki mereka. Bee Pollen sangat bermanfaat untuk meningkatkan fungsi hati, jantung, dan pencernaan. Baik juga untuk mengatasi gangguan lambung, diabetes, insomnia, dan menyegah pendarahan otak, dan lain-lain. Jika madu ibarat nasi dan propolis ibarat jamu, menurut TS Gunawan, bee pollen adalah lauk-pauk bagi tawon.

MADU SUSU RATU. Ini adalah produk unggulan yang merupakan paduan antara madu, royal jelly [susu ratu]. Juga sangat bagus untuk penyembuhan berbagai alergi dan infeksi. Rasanya lebih segar dan lebih enak.

SENGAT. Walau mengandung racun yang bisa menyebabkan bengkak, sengat tawon tidak mematikan. Bahkan dengan cara tertentu [menyengatkannya di titik-titik akupunktur] sengat lebah bisa dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit. Cara kerjanya, efek sengat pada titik-titik akupunktur itu akan membuka kembali syaraf-syaraf yang terjepit. TS Gunawan mengaku tidak membuka praktik terapi dengan sengat lebah ini, tetapi jika ada orang datang memerlukan pertolongan ia akan siap membantu.

LARVA. Larva lebah banyak mengandung protein. Paling cocok diolah dengan cara di-bothok [diberi bumbu tertentu, lalu dibungkus dengan daun pisang dan dikukus]. Sebelum wawancara, Peduli terlebih dulu menjajal seberapa enak makan dengan lauk bothok tawon. Wouw! Memang enaaaakkkk!

LILIN. Sarang lebah bisa dijadikan bahan untuk pembuatan lilin. Orang Jawa memakai istilah ’malam’ atau ’keplak’ untuk menyebut lilin dari sarang lebah ini. Lilin dari sarang lebah ini juga punya segudang keunggulan dibandingkan dengan lilin yang dibuat dari bahan lain. [PUR]